"Ini harus darimana dulu, dah!" Gumam Arjuna yang menatap tubuh Dewa. "Ais... goblog banget! Kenapa nggak suruh pembantunya Luna aja tadi."
Dan gerutuan-gerutuan Arjuna tidak hanya berhenti sampai disitu. Meski tetap lembut dan hati-hati, ada satu sisi disudut hati Arjuna yang terus menololkan diri sendiri.
"Kita ini saingan padahal, ck!"
Arjuna selesai mewashlap tubuh Dewa dan kini sudah digantikannya dengan pakaian baru yang bersih dan lebih hangat. Tidak lupa Arjuna pakaikan kaus kaki agar kedua kaki Dewa yang melayu itu tidak sampai kedinginan.
Sebagai laki-laki, Arjuna saja sampai bergidig melihat begitu banyak bekas luka maupun jahitan benang operasi ditubuh sahabatnya ini. Dirinya ngilu sendiri membayangkan rasa sakitnya. Kuat sekali Dewa menahannya. Memang benar yang dikatakan Luna kalau Dewa hebat sudah bertahan dan berjuang sampai sejauh ini.
"Pastesan Luna protektif banget sama lo," gumam Arjuna lalu menarikkan selimut. Ingat kalau tubuh ringkih Dewa tidak boleh sampai kedinginan.
Ada hal lain yang membuat Arjuna merasa begitu jahat karena masih keras kepala bertahan disini, tidak lain adalah kedua kaki Dewa. Dua tungkai layu yang mengecil yang terus saja menjadi objek tatapan lekatnya terutama ketika diperhatiakan lebih dekat. Arjuna menolak membayangkan separah apa cedera yang ditanggung kedua kaki Dewa sampai luka sayatan operasinya sepanjang paha hingga betis tersebut masih saja terlihat jelas. Padahal sudah lima tahun berlalu sejak kecelakaan tersebut.
"Sori Wa, gue benar-benar berharap kita bisa bersaing secara sehat."
Arjuna hampir terlonjak karena terkejut saat melihat jari kurus Dewa perlahan bergerak. Amat lemah tapi Arjuna yakin tadi sempat melihatnya.
"Wa... lo sadar?"
Ragu-ragu Arjuna menyentuh tangan Dewa dan ketika tidak mendapati pergerakan apapun dari jemari kurus tersebut, dirinya meyakinkan diri kalau mungkin hanya terlalu lelah sampai melihat tangan Dewa bergerak. Itu hanya halusinasi saja.
"Gue serius waktu bilang mau menunggu dan memperjuangkan Luna lagi. Jadi gue harap lo cepat sehat biar kita bisa sama-sama berjuang. Gue nggak suka lawan lo yang nggak berdaya begini." Dasarnya gengsi. Padahal Arjuna juga sama khawatirnya. Tentu saja dirinya peduli karena bagaimanapun, Dewa tetaplah sahabatnya.
Arjuna mengusap tangan Dewa dan hati-hati memasukannya kembali kedalam selimut. Membereskan bekas wadah air dan membawanya keluar. Saat pintu sepenuhnya tertutup kelopak Dewa kembali bergetar sebelum akhirnya benar-benar terbuka. Air mata mengaliri sudutnya sementara dada Dewa naik turun dengan gerakan sedikit cepat.
Sesak dan sakit bercampur menjadi satu.
Samar-samar meski tidak seluruhnya, Dewa mendengar apa yang Arjuna katakan. Tidak secara jelas tapi Dewa paham kalau Arjuna mencoba memberitahunya kalau kali ini sahabatnya tersebut tidak akan mundur lagi seperti lima tahun lalu.
"Lun-aakkh..." rintih Dewa. Dadanya sesak sekali tetapi kedua matanya perih untuk membuka.
Dewa merepih lirih dan itu langsung membuat napasnya kian sesak saja. Dalam kondisi normal saja dirinya tidak bisa menang apalagi dalam kondisi menyedihkan seperti ini? Dewa memejamkan mata saat rasa sesak dan sakit tersebut menyerangnya secara bersamaan.
Tuhan! Kenapa dirinya tidak mati saja?
Suara kuncian pintu terdengar dan telinga Dewa yang cukup sensitif menemukan Ranti datang dengan nampan obatnya. Bibirnya yang mendesis mulai melirih dengan suara yang begitu lemah.
"Mm... mhh-mbak..." rintih Dewa. Keningnya berkerut-kerut dalam. "Ssahh... kit..."
Tatapan dan sikap Ranti berbeda dari biasanya. Tidak ada raut panik atau kekhawatiran apapun padahal jelas-jelas melihat Dewa sadarkan diri dan merintih kesakitan. Justru nampan obat yang dibawanya diletakan begitu saja diatas nakas.
KAMU SEDANG MEMBACA
BLIND
ChickLitLuna mencintai Dewa. Itu yang selama ini dirinya yakini dengan terus berada disisi sahabatnya yang tidak lagi memiliki keadaan fisik seperti dulu. Dewa sakit, dan Luna selalu mengusahakan yang terbaik sampai saat masa lalu kelam keduanya terungkap. ...