"Luna..." bola mata Dewa bergulir sementara bibirnya mendesis.
Ini adalah jenis disorientasi kesadaran yang sudah cukup lama tidak lagi kambuh. Sebelumnya selama mendapatkan perawatan di Jerman, Dewa memang kerap kali mengalami hal serupa dan baru akan mereda setelah diberi tretment khusus oleh Irawan.
"Mas Dewa, sadar Mas..." Ranti mengguncang pelan lengan Dewa. "Dibuka matanya."
Butuh beberapa kali usaha sampai akhirnya Dewa bisa tersadar sepenuhnya. Ranti masih menjadi satu-satunya orang yang menungguinya sementara Dewa mengumpulkan kesadarannya.
"Mbak..." lirih Dewa.
"Iya, ini saya Mas." Lalu Ranti menatap bibir Dewa yang pucat. "Mau minum?"
Dewa mengangguk. Kali ini Ranti tidak lagi bertindak gegabah dengan memberi Dewa minum tanpa menggunakan sedotan. Hanya beberapa sesap tapi itu sudah cukup melegakan kerongkongan Dewa yang kering.
"Sudah..."
Ranti menjauhkan gelas. "Mimpi buruk lagi, Mas?"
Karena beberapa kali mendapati Dewa merintih atau berbicara dalam tidurnya, Ranti sudah mulai hafal. Biasanya Dewa selalu membutuhkan tekanan gas yang lebih tinggi setiap kali serangannya datang. Hanya bedanya kali ini suara napasnya yang lebih teratur menunjukkan bahwa kondisi paru-parunya memang sudah jauh membaik.
"Loh, suster? Bukannya ini bukan jadwal visit?"
Perawat yang datang dengan troli menunjukkan anggukan kecil. "Benar, tapi ada pemeriksaan yang harus dilakukan. Saya akan menyiapkan pasien sebelum Dokter Farhan datang."
"Menyiapkan... apa?" Dewa mengernyit dalam. "Periksa apalagi?"
"Hanya pemeriksaan biasa." Perawat mulai menyiapkan tabung dengan selang dan beberapa kabel yang terhubung dengan monitor vital. "Mari, saya bantu untuk mengoleskan gel khususnya."
Dewa tidak langsung menurut dan juga masih menunjukkan tatapan penuh waspada. Akhirnya, Ranti yang mendekat dan hati-hati mengelus lengan kurus Dewa. "Mas Dewa?"
Sementara yang dipanggil menggeleng kecil. "Nanti saja tunggu Luna pulang baru periksa."
"Tidak bisa, Dokter Farhan mengatakan ini harus dilakukan sekarang."
Perawat yang datang tidak pada jadwal visit tersebut terlihat bersikeras meski Dewa menolak. Ingatan Dewa saat terakhir kali mendapatkan terapi dari Dokter Farhan masih sangat membekas dan membuatnya sedikit trauma. Apalagi tanpa keberadaan Luna disisinya.
Ranti sendiri yang ditugaskan untuk menjaga Dewa oleh Luna sebelum berpamitan pergi terlihat tidak bisa menolak. Bisanya hanya memasang wajah khawatir sementara jelas tidak bisa melakukan apapun untuk membela Dewa.
"Saya tidak mau. Saya-ugh!" Dua sikut Dewa yang menumpu untuk menopang tubuhnya beranjak langsung terkulai lemas. Tenaganya memang belum sepenuhnya pulih, apalagi dengan luka bekas operasi di dadanya.
"Mas Dewa jangan banyak bergerak dulu!" Ranti panik mendekat tetapi dengan cepat dihalangi oleh perawat.
"Sebaiknya keluarga pasien menunggu diluar saja."
Dewa meringis-ringis kesakitan diatas bed pasiennya. Sementara perawat membawa Ranti keluar. Stau gerakan kecil saja yang tiba-tiba dilakukan oleh Dewa sebelumnya langsung meninggalkan rasa nyeri luar biasa hingga Dewa kembali kepayahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
BLIND
ChickLitLuna mencintai Dewa. Itu yang selama ini dirinya yakini dengan terus berada disisi sahabatnya yang tidak lagi memiliki keadaan fisik seperti dulu. Dewa sakit, dan Luna selalu mengusahakan yang terbaik sampai saat masa lalu kelam keduanya terungkap. ...