Dewa tersentak dalam tidurnya. Kedua matanya membelalak ke sekeliling ruangan. Ketakutan membuat napasnya menjadi sedikit sesak. Pandangannya masih sedikit mengabur dengan deru napas yang berkejaran ketika mencoba menumpu sikut untuk bangun.
"Luna..." suara Dewa memanggil lirih. Tenggorokannya kering dan panas.
Luna tidak pernah meninggalkannya pergi sekalipun dirinya terlelap. Karena itu, selirih apapun suara Dewa maka Luna akan datang. Dewa butuh Luna.
"L—lun... Lunaa..." Dewa mencoba menaikan suaranya hingga membuat tenggorokannya semakin terasa perih. Setelahnya Dewa langsung terbatuk-batuk.
Dewa hampir saja merasa putus asa saat akhirnya pintu kamarnya yang memang tidak pernah tertutup rapat terbuka. Bukan Luna yang datang melainkan seorang wanita yang sekarang memandangnya khawatir.
"Yaampun, maaf Mas tadi saya tinggal buang sampah sebentar ke depan. Butuh apa Mas biar saya bantu." Ranti mendekat dengan cemas.
Sebelah tangan Dewa memegangi dadanya yang berdenyut nyeri sementara bibirnya menggumamkan air. Biasanya Luna akan membantunya duduk terlebih dahulu baru membantunya minum menggunakan sedotan. Sayangnya ini bukan Luna, jadi Dewa harus terima ketika dibantu minum dalam posisi berbaring. Ranti hanya membantu mengangkat sedikit kepala Dewa dan langsung mendekatkan bibir gelas.
"Minum dulu, Mas..."
Dewa meminumnya terlalu cepat dan beruntung tidak sampai tersedak. Tenggorokannya sakit dan benar-benar membutuhkan air saat ini.
"Maaf ya Mas... sebentar saya bantu bersihkan," Ranti meraih dua lembar tisu untuk membersihkan sekitaran bibir dan leher Dewa yang basah. Terlihat begitu menyesal.
Dewa mencoba menormalkan napasnya sebelum menggerakan lehernya, "biar saya sendiri."
Ranti mundur dan membiarkan Dewa mengusap bagian leher dan dadanya menggunakan tisu. Pakaiannya sedikit basah karena air yang sempat menetes tadi. Dewa memang belum terbisa kalau harus meminum langsung dari gelas.
"Terima kasih." Dewa berusaha mengulas senyum tipis saat Ranti membantu membuangkan bekas tisu sisanya ke kotak sampah.
"Ah iya, nama saya Ranti Mas dan Mas Dewa boleh panggil saya Mbak Ranti. Saya yang akan bantu-bantu disini sekaligus menemani Mas Dewa selama Non Luna pergi untuk bekerja."
Luna memang sudah mengatakan kalau akan meminta seseorang untuk membantu membersihkan rumah dan menjaganya. Dokter Irawan sendiri yang meminta Luna untuk mulai melanjutkan stase residennya yang hanya sebentar lagi selesai. Kalau saja tidak menunda, Luna pasti sudah bisa ambil spesialis tahun lalu.
Lagi-lagi, Dewa adalah alasan kenapa sampai Luna menunda pendidiknnya.
Meskipun awalnya Luna menolak meninggalkan dirinya, tapi Dewa cukup tahu diri dan menjadi yang paling vocal memaksanya. Ini demi masa depan Luna dan rasanya sangat egois kalau sekali lagi Dewa menjadi penghalangnya.
Waktu lima tahun ini sudah cukup untuk dirinya menjadi beban Luna. Sekarang saatnya Dewa berlajar lebih tegar.
"Iya, Luna sudah bilang juga sebelumnya. Nggak perlu kaku-kaku begitu Mbak kalau sama saya. Terus panggilnya Dewa saja." Dewa menumpu sikut untuk menyeret tubuhnya setengah duduk.
"Takut kalau nggak sopan Mas,"
Dewa menggeleng kelelahan. Setelah dirasa usahanya tidak juga berhasil barulah Dewa menyengir canggung. "Mbak, bisa tolong bantu saya duduk?"
"Ah... oh! tentu Mas, yaampun saya memang kurang peka." Ranti bergegas membantu hingga punggung Dewa bersandar nyaman di headboard ranjangnya.
"Ada lagi yang perlu saya bantu Mas?"
KAMU SEDANG MEMBACA
BLIND
ChickLitLuna mencintai Dewa. Itu yang selama ini dirinya yakini dengan terus berada disisi sahabatnya yang tidak lagi memiliki keadaan fisik seperti dulu. Dewa sakit, dan Luna selalu mengusahakan yang terbaik sampai saat masa lalu kelam keduanya terungkap. ...