17|Collapse

1.2K 58 2
                                    

Tubuh Dewa diseka dengan menggunakan air hangat. Ranti terlihat begitu berhati-hati dan juga sedih melihat kondisi majikannya tersebut. Beruntung setelah Dewa benar-benar kehilangan kesadarannya, Dokter Farhan bersikap lebih lembut dan membiarkan Ranti masuk untuk membantu.

"Pak Dokter... apa Mas Dewa sudah boleh saya pakaikan baju?"

Itu karen setelah menyelesaikan pijatan otot, Dokter Farhan masih memberi pijatan-pijatan ringan disepaniang pinggang. "Pakaikan piyama tipis saja. Tubuhnya masih perlu beradaptasi."

Tidak ada yang bisa Ranti lakukan selain menuruti semua yang Dokter Farhan perintahkan. Dewa sedikit merintih saat tubuhnya digeser dan diangkat dan dipakaikan piyama.

"Ngehh... enghh..."

Tubuh Dewa yang terlentang diposisikan miring. Tulang punggungnya yang kaku sedikit diberi pijatan dan gerakan selembut itupun bisa menimbulkan reaksi berupa spasme di kedua tungkai kaki Dewa yang melayu.

"Hanya pijatan ringan dan itupun sudah memicu spasme." Gumam Dokter Farhan. "Apa Luna menyimpan tabung oksigen disini?"

"Saya... tidak tahu," Ranti semakin gugup saja. "Selain masalah makan dan membantu ketika Mas Dewa ke kamar mandi, saya tidak pernah membantu—"

Dokter Farhan lebih dulu mengngguk maklum. "Saya paham. Dokter Irawan juga sudah mengatakan kalau putrinya memang sangat protektiv pada Dewa. Tidak masalah karena saya juga membawa satu yang portable."

"Tapi Dokter..."

"Intravenanya bisa membengkak kalau dipaksakan injeksi lagi." Dokter Farhan mulai mengeluarkan masker oksigen pirtable berikut dengan pemompanya. "Obat anti kejangnya harus segera diberikan atau akibatnya bisa memicu paru-paru dan jantungnya collapse."

Akhirnya Ranti hanya bisa diam dan menyaksikan bagaimana masker portble tersebut dirungkupkan pada wajah Dewa. Dokter Farhan sendiri memompanya dengan tenang. Memastikan dada Dewa mengembang dan mengempis sesuai ritme tekanannya.

Tubuh Dewa menggelegak dan menggelepar pelan. Tekanan gas yang dipompa memsuki paru-parunya membuat tubuhnya perlahan relax. Itu adalah obat penenang dengan dosis yang cukup tinggi. Setidaknya butuh duabelas jam penuh untuk menguraikan efeknya atau Dewa benar-benar kehilangan kontrol akan kesadarannya.

"Segera beri dia oksigen apabila terdapat indikasi kejang atau sesak napas." Dokter Farhan mulai membereskan peralatannya. "Saya ada janji terapi lain."

"Baik, Dokter..."

♡♡♡

"Dimana Dewa?!"

Ranti baru saja membukakan pintu saat Luna menyerukan kalimat tersebut. Ini sudah cukup larut, pukul sepuluh malam dan Luna baru saja pulang. UGD kacau sekali siang ini sampai Luna tertahan begitu lama. Bodohnya dirinya sampai melupakan janjinya untuk segera pulang kepada Dewa.

"Non Luna—"

Tidak mau membuang waktu, Luna berlalu untuk langsung menuju kamar milik Dewa. Perasaannya kacau sejak pagi ditambah bertemu dengan Arjuna dan sekarang dirinya malah melupakan janjinya untuk menemani Dewa terapi.

Dewa pasti kecewa sekali tadi.

"Mas Dewa ada di—" Ranti menunjuk kamar dan belum sempat menyelesaikan kalimatnya Luna sudah lebih dulu menekan hendel pintu untuk masuk.

Pintu kamar dibuka dan Luna langsung bisa menatap Dewa yang berbaring diatas ranjangnya. Luna menahan napasnya saat melihat nasal cannula kembali dipasang melintang di hidung Dewa. Dirinya merasa bersalah sekali.

Luna bergerak mendekat dan sebisa mungkin tidak menimbulkan suara agar tidak mengganggu dan membangunkan Dewa. Lelaki tersebut sepertinya sangat kelelahan. Dan Luna semakin merasa bersalah saja.

BLINDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang