Butuh usaha keras untuk Luna sampai di parkiran basement Central Hospital dalam keadaan sadar. Sejak meninggalkan pelataran panti asuhan, tubuhnya terus saja gemetar tidak terkendali. Akhirnya Luna menyerah dan memilih membuka penutup tabung obat penenang miliknya dan menelan satu pil, tanpa air.
Butuh beberapa saat sampai tubuhnya berangsur tenang dan tidak lagi gemetar. Masih jelas dalam ingatannya bagaimana dirinya beberapa kali hampir saja menyerempet trotoar jalan tadi. Tangannya meremas tabung obat ditangannya sedikit kuat. Padrenya tidak akan senang melihatnya masih ketergantungan dengan obat penenang. Meski nyatanya diam-diam dirinya masih selalu menyimpannya dan membawanya kemana-mana.
Luna meyakinkan dirinya sudah benar-benar tenang sebelum bergerak keluar dari mobil. Beberapa peralatan pemeriksaan masih berada di bagasi mobil dan Luna berpikir untuk mengembalikannya besok pagi sekalian shift pagi. Kalau tidak diminta untuk mengantarkan sampel ke Lab, Luna jelas memilih untuk pulang.
Setelah membersihkan diri dan mengenakan tanda pengenalnya, Luna menuju gedung Lab di lantai tiga. Mengurus data dan menyerahkan sampel darah anak-anak untuk diperiksa. Setidaknya dirinya harus menyelesaikan yang satu ini sebelum menyelesaikan tugasnya.
"Anda bisa mengambil hasilnya dalam dua hari." Perawat yang berjaga sebagai petugas Lab memberi keterangan pengambilan hasil serta menyerahkan kartu akses kepada Luna.
"Baik. Terima kasih."
Padre: Luna sayang, apa paket gitarnya sudah sampai?
Luna: Sudah Padre. Terima kasih sudah hati-hati mengemasnya.
Padre: Padre akan pulang minggu depan, sekalian bawakan pesanan cincin kamu dan Dewa. Sudah pilih desainnya?
Cincin? Ah, Luna sampai melupakan hal sepenting itu. Sebelum pergi, Padrenya sempat memberikan katalog cincin untuk pertunangannya dengan Dewa. Luna sendiri bahkan belum sempat membahasnya bersama Dewa saking sibuknya diminggu-minggu awal kepindahan mereka.
Luna memang sengaja kembali ke Indonesia. Keinginan mengunjungi makam madre nya sebelum menikah sudah ada sejak lama. Keadaan Dewa juga sudah memungkinkan untuk dibawa menggunakan jalur udara hingga Prof. Armando mengizinkan.
Luna: Luna belum sempat lihat lagi Padre. Nanti sepulang dari rumah sakit Luna akan minta Dewa juga untuk pilihkan.
Irawan tidak lagi menbalas dan Luna yakin jawabannya tadi tidak membuat Padrenya puas. Benar, tidak lama ponselnya berkedip tanda panggilan masuk. Dari padrenya.
"Halo Padre..."
Terdengar helaan napas sebelum padrenya menjawab, "Padre tahu kamu mulai sibuk tapi masalah ini juga penting. Prof. Armando baru saja menelpon Padre kalau-kalau keadaan Dewa menurun, kita diminta segera membawanya kembali. Kamu mengerti kan, bagaimana rentannya kondisi Dewa?"
Luna tahu itu. Dan untuk alasan yang sama, dirinya tetap meminta Ranti agar terus melaporkan kondisi Dewa setiap dua jam sekali. Dewa itu kadang masih suka bandel kalau tidak diawasi olehnya. Itu juga yang seringnya membuat Luna tidak bisa tenang.
"Maafkan Luna Padre. Luna janji ini nggak akan terulang. Dewa aman, dan karena itu Luna berani ambil shift siang. Lagipula Luna juga sudah minta Mbak Ranti buat selalu update perkembangan kondisi Dewa di rumah.""
"Padre hanya nggak mau kalau ada apa-apanya nanti dan kamu malah salahkan diri kamu lagi. Kalau begitu tunggu hasil pemeriksaan orang Padre ya. Hari ini kan? Padre sudah minta tadi sekalian cek kondisi Dewa."
"Iya Padre, Luna mengerti."
Saat panggilan diakhiri, tidak berselang lama Luna menerima panggilan dari bagian UGD dan sepertinya memang hari ini masih panjang baginya. Luna menuju mess khusus para residen. Memilih berganti pakaian dengan cepat dan mengenakan sneli beserta maskernya. Saat tiba di UGD suasana sibuknya langsung bisa mengalihkan dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BLIND
ChickLitLuna mencintai Dewa. Itu yang selama ini dirinya yakini dengan terus berada disisi sahabatnya yang tidak lagi memiliki keadaan fisik seperti dulu. Dewa sakit, dan Luna selalu mengusahakan yang terbaik sampai saat masa lalu kelam keduanya terungkap. ...