Pagi basah, aku pulang dari pasar membawa satu timba tanggung berisi adonan bakso dan tas besar berisi belanjaan pelengkap lain. Aku mengendarai motor bebek empat tak kesayangan, membelah hari yang masih temaram. Udara dingin menusuk tulang.
Kegiatan harian yang selalu kulakukan sepagi mungkin, jauh sebelum Subuh datang. Menggarap semua adonan dan menyiapkan beberapa pelengkap. Karena, setelah mentari menyingsing, aku harus segera menyiapkan hal lain lagi. Bersiap untuk mengajar di Madrasah Ibtidaiyah, tak jauh dari rumah. Sebagai guru honorer.
Aku membelokkan motor. Memasuki halaman rumah yang tak terlalu luas. Memarkir motor di samping rumah dan mengarahkannya ke pintu dapur.
Lampu motor menyorot ke arah pintu kayu hijau. Tanpa mematikan mesin, kuturunkan standar tengah motor. Memarkirkannya dengan baik. Lantas, melangkah dan membuka pintu.
Dapur kami adalah dapur permanen dengan dinding bata di bagian bawah, dan setengah bagian atas hingga atap berdinding anyaman bambu. Dapur yang telah kami renovasi setahun lalu, bersamaan dengan renovasi rumah. Pencapaian yang begitu besar, setelah sekian lama hidup pas-pasan.
Selama ini, aku hanya hidup dengan Ibu. Sebagai anak tunggal. Tanpa sosok ayah, Ibuku begitu hebat. Dia mampu menyekolahkanku ke perguruan tinggi. Meskipun, sebagian biaya kuliah kudapat dari beasiswa. Tapi, tetap saja, tak mengurangi sedikit pun kehebatan Ibu.
Dulu, Ibu bekerja sebagai penjual sayur dan bumbu dapur di pasar, dan baru berhenti tiga tahun lalu. Itu pun karena aku memaksa terus menerus. Kalau tidak, mungkin hingga detik ini beliau tetap bekerja.
Sementara rumah kami ini, dulunya hanya rumah berukuran 5x7 meter persegi dengan dinding full tembok di bagian ruang tamu saja. Sementara pada bagian belakang, berdinding bata hanya di bagian bawah. Sementara dapur, full berdinding anyaman bambu.
Dan kini, rumah kami sudah lebih besar. Berukuran 60 meter persegi dan kesemuanya berdinding bata. Rumah sederhana tapi nyaman. Berkah dari tabungan Ibu dan hasil usahaku berjualan bakso dan mie ayam selama ini.
Aku membuka pintu dapur perlahan. Bunyi kayu berderit, membuat Ibu, yang sedang menjerang air di tungku, menoleh. Seperti biasa, jika aku ke pasar, Ibu akan menyiapkan air panas untuk adonan baksoku nanti.
Aku yang telah mengganjal pintu dengan baik agar tetap terbuka, segera berbalik. Melangkah ke motor untuk menurunkan timba berisi adonan. Membawanya ke dapur. Lalu, meletakkannya di bale-bale. Selanjutnya, kembali lagi untuk mengangkut sisa bahan yang lain.
Seperti biasa, jika aku telah sampai di rumah, Ibu akan beranjak dari depan tungku. "Ibu sholat dulu, ya, Le?"
Ibu melangkah, meninggalkanku yang sedang sibuk menata belanjaan. Sementara itu, air panas sudah mulai berasap di atas tungku.
Subuh masih beberapa puluh menit lagi. Aku menyiapkan semua sendiri, sementara Ibu melaksanakan salat malam di mushola kecil kami.
Beberapa waktu setelah salat Subuh, Ibu kembali lagi ke dapur. "Le, sholat dulu! Sisanya biar Ibu yang kerjakan."
Aku yang sedang memeriksa bakso yang sudah kucetak di atas tungku, menoleh dan seketika mengangguk. "Inggih, Bu."
Aku melaksanakan sholat Subuh dan membaca beberapa dzikir rutin. Lantas, bergegas kembali ke dapur untuk meniriskan bakso dari panci dan so'un yang tadi kurendam.
Ibu duduk di bale-bale sembari menggulung mie basah yang telah dibagi-bagi. Aku melangkah ke arah tungku, meniriskan bakso yang telah matang. Lantas, meletakkannya pada tampah besar untuk dikeringkan di bale-bale. Aku berjualan bakso pada sore hari, beberapa waktu sebelum Maghrib.
Ibu melangkah ke arahku. Rupanya Ibu telah selesai menggulung mie. Kulihat dua kotak plastik wadah mie telah tertata rapi di tempat biasa.
Aku mendongak sembari tangan ini tetap sibuk memindahkan bulatan-bulatan bakso dari panci ke tampah. "Ibu istirahat saja! Ini sudah hampir selesai." Suaraku begitu lembut. Aku selalu begitu terhadap Ibuku. Wanita yang sangat kusayangi.
"Biar cepat selesai, Le. Biar kamu segera mandi dan siap-siap ke sekolah." Ibu ikut meniriskan bakso dari panci.
"Istirahat saja, Bu! Ini tugas saya sebagai tulang punggung keluarga. Kalau Ibu tetap kerja keras begini, nggak ada bedanya antara Ibu yang sekarang sama yang masih jualan di pasar." Aku menghentikan kegiatan dan mencoba meminta serok dari tangan Ibu.
"Lah, emang kamu pikir Ibu itu seneng diem-dieman bengong kayak orang bodo? Orang tua itu, kalau mau kerja, endak melulu perkara duit. Ibu ini wis tua. Tapi, ndak mau merasa tua. Kalau Ibu meneng-menengan dan bengong, Ibu jadi inget kalau sudah tua. Bisa cepet mati. Pokoknya, Ibu emoh mati selama kamu belum ngasih cucu." Ibu tetap mengomel seraya meraih salah satu tampah yang telah terisi penuh dengan bakso. Lantas, segera membawa dan meletakkannya di bale-bale
Ibu kembali membahas masalah jodoh. Bagaimana aku akan memberi Ibu cucu, jika aku memutuskan sendiri saja dan tidak menikah? Tapi, aku tetap diam. Mana mungkin aku melawan atau menjawab perkataan Ibu. Beliau bisa kecewa dengan kenyataan ini. Tak mungkin aku memberitahukan tentang orientasi seksualku kepada Ibu?
"Andai kamu itu punya istri, Ibu rela diem-dieman, bengong. Meski harus jadi orang bodo pun Ibu mau. Ngeliatin kamu kerja dibantu istrimu, adalah kebahagiaan tersendiri buat Ibu. Ibu ndak tenang selama kamu sik ngebujang terus. Mau sampai kapan, Le?" Ibu kembali lagi mendekatiku.
Aku tetap membisu. Memangnya aku harus menjawab apa?
"Lid! Diomongin wong tuo kok ndak ngreken." Nada suara Ibu meninggi. Membuatku tersentak kaget. Menghentikan pekerjaanku seketika.
"I-injih, Bu." Suaraku terbata dan sedikit serak..
"Injih opo?" Ibu masih berdiri di depanku. Berkacak pinggang menatapku tajam.
Aku hanya berani mendongak sesekali. Menunduk saja seperti siswa yang ketahuan bolos.
"Opo?" Lagi. Ibu membentakku.
"I-injih. Kulo akan menikah secepatnya." Kalimat itu keluar begitu saja. Dan ini adalah kebohongan kesekian kalinya.
"Pokoknya, tahun ini kamu harus sudah ada calon. Ibu kasih waktu lima bulan. Kalau ndak, biar Ibu yang nyariin. Perempuan di kampung ini banyak, Muhammad Khalid. Dan penghasilanmu dari jualan juga sudah cukup untuk menghidupi istrimu. Bahkan, jika kamu punya anak pun masih lebih dari cukup. Lalu apa yang kamu tunggu? Kamu mau mateni Ibumu ini, ya?" Ibu telah memanggil dengan nama lengkapku. Itu artinya beliau benar-benar marah.
"Bo-boten, Bu. Sanes ngoten. Bukan begitu." Aku masih berdiri sembari menunduk.
"Pokoknya, Ibu sudah ndak mau tahu. Umur Ibu wes lebih dari lima puluh tahun. Setiap saat dihantui kematian. Ibu ndak mau ninggalin kamu sendirian. Paling tidak, ada wanita baik yang mendampingi kamu. Titik."
Ibu berbalik. Melangkah dengan mengentak, meninggalkanku. Duh, aku harus bagaimana? Sungguh, permintaan Ibu ini sangat mustahil. Bagaimana mungkin aku akan menikah jika sama sekali tak mempunyai ketertarikan pada wanita?
KAMU SEDANG MEMBACA
Meniti kasih
RomanceKhalid, lelaki penyuka sesama jenis yang ingin menjauhi maksiat dengan memutuskan untuk sendiri. Hingga, suatu kejadian membuatnya menikahi Nur, rekan kerjanya. Awalnya, Khalid bertekad menyembunyikan orientasi seksualnya, ingin membahagiakan Nur. T...