10. Nur

469 52 2
                                    

Suara lantunan selawat masih terdengar dari sound system yang terpasang di halaman. Prosesi sebelum akad nikah sedang dilaksanakan. Bapak pasti sudah di bawah tenda bersama para tamu dan rombongan keluarga Mas Khalid. Sementara emak menemui tamu perempuan dari pihak pengantin lelaki. Tadi, aku sempat bersalaman sama ibu, dan setelahnya masuk lamar lagi menunggu prosesi akad nikah.

Riuh suara ibu-ibu yang membantu di dapur, terdengar sampai kamarku. Ah, para Sinomania Squad kalau aku menjulukinya. Mereka ibu-ibu yang dengan suka rela membantu segala kegiatan hajatan.

Bukan cuma ibu-ibu, bapak-bapak pun enggak kalah rajin membantu untuk ini. Mereka membantu menata dekorasi dan menjaga keamanan. Sementara para pemuda membantu membawa suguhan dari dapur untuk para tamu laki-laki. Beginilah kehidupan kampung, gotong royong dan kekeluargaan masih kental terasa. Dan hal yang patut disyukuri, aku menikah dengan lelaki kampung yang baik seperti Mas Khalid.

Aku duduk di kamar, bersama seorang perias dan asistennya yang sedang sibuk mengobrol. Sementara aku begitu gugup menunggu setiap prosesinya. Tissue yang kupegang sejak tadi pun, kini sudah sangat leccek karena enggak henti-hentinya kuremas. Pun tanganku basah oleh keringat.

Selama proses persiapan, Mas Khalid benar-benar selalu melibatkanku. Pemilihan perias pun aku dimintai persetujuan. Saat ke rumah perias ini, aku barengan sama emak dan ibu. Tak hanya itu, model dekorasi pengantin, aku juga ikut andil.

Dan, ada yang aku suka banget dari pernikahan ini. Mas Khalid membeli cincin couple custom untuk kami. Dia memesankan emas putih untukku dan perak untuk dia sendiri.

Sebagai orang kampung, cincin pasangan itu hal yang jarang, loh. Di kampung kami enggak ada yang pakai hal macam begitu. Paling juga pihak lelaki membelikan cincin emas untuk pihak perempuan. Tapi, enggak couple custom dengan ukiran nama. Makanya, bagiku ini romantis banget.

Sehabis nikah, aku akan pulang ke rumah Mas Khalid. Kalau kuliah pun, kata Mas Khalid, dia bakal antar jemput aku. Kecuali kalau bentrok sama jam mengajarnya. Aku juga diperbolehkan untuk ikut bantu-bantu di warungnya nanti. Semua aku tanyakan, karena enggak mau ada hal-hal mengganjal di kemudian hari.

Pagi ini, akad nikah dilangsungkan di rumah dengan pesta sederhana di siang hari saja. Lalu, nanti malam, kami bakalan mengadakan hajatan di rumah Mas Khalid.

Dan, suara lantunan selawat yang terhenti, membuyarkan lamunanku. Tiba-tiba jiwaku seolah-olah tersentak kaget. Prosesi akad akan segera dilaksanakan. Duh, aku gugup banget.

Aku mencoba menyembunyikan rasa gugup ini. Berusaha tampak biasa. Meski mungkin tetap bakal kelihatan jelas.

Aku menahan napas untuk beberapa saat, ketika kudengar sighat akad nikah sudah diucapkan. Dan, baru setelah Mas Khalid menyelesaikannya, aku bisa mengembuskan napas lega.

Rasa haru tiba-tiba memenuhi hatiku. Jadi pingin menangis rasanya. Aku sudah jadi istri seorang Mas Khalid.

Butuh beberapa menit menyelesaikan prosesinya, hingga tiba-tiba kudengar suara cukup riuh. Suara beberapa lelaki yang berbicara. Rupanya, Mas Khalid sudah dibimbing untuk menemuiku.

Kulihat Mbak perias berdiri dan mendekatiku. Lalu, beberapa saat kemudian, ibu masuk yang tak lama kemudian kulihat Mas Khalid di ambang pintu kamar. Diapit oleh bapak dan pamannya. Sementara itu, Zein berdiri di belakang Mas Khalid dengan senyum tengilnya. Adikku yang baru enam belas tahun itu rese banget. Dia memanfaatkan ini karena aku enggak bisa menjewer kupingnya.

Terlepas dari Zein yang ngeledekin, aku malah lebih fokus sama Mas Khalid dengan sennyumnya yang melting. Dia melangkah pelan ke arahku. Aku, sih, nunduk sambil sedikit-sedikit mengintip. Habisnya, dada ini rasanya mau jebol, euy ....

Perias membimbingku untuk bersalaman dengan suamiku. Eh? Apa namanya? Suami? Duh, aku udah punya suami. Hihihi ....

Dan ketika kucium tangan Mas Khalid yang ternyata sama aja dengan tanganku yang dingin ini, kurasakan sebelah tangannya mendarat di punggung kepalaku. Lalu ... Hidungnya pun mendarat di sana. Sayup-sayup kudengar lantunan doa yang cukup panjang terucap dari bibir suamiku ini.

Rasanya itu, nyeeessss ... banget di hati. Berkahilah pernikahan kami, Ya Tuhan.

***

Hajatan sudah kelar. Para tamu pun sudah pulang. Aku sudah berganti pakaian dengan pakaian santai. Cuma pakai set rayon biru dan hijab kaos instant.

Aku duduk menjuntai di ranjang kamar Mas Khalid. Kamar yang masih dihiasi dekorasi kamar pengantin. Dekorasi cukup indah dan elegan. Kamar yang berda di bagian paling depan. Sementara kamar ibu ada di bagian paling belakang. Di sebelah musalla.

Selain dekorasi pengantin yang bagus banget, kamar ini juga wangi. Soalnya ada seikat besar bunga sedap malam yang ditaruh di pojok kamar. Kipas angin dinyalakan, biar aku enggak kepanasan. Kulihat koper pakaianku masih bertengger di pojokan kamar. Belum diapa-apain kecuali barusan aku mengambil set ini saja. Biar kutata perlahan besok atau lusa.

Aku sendirian saja. Mas Khalid masih di luar. Soalnya, meski tamu sudah pulang, tapi beberapa orang masih stay. Mereka para penjaga sound system, tukang dekorasi, para Sinomania Squad, dan orang-orang yang membantu lainnya.

Jujur saja, aku sedikit kebingungan dengan semua ini. Gugup lagi. Mikir apa yang bakal terjadi setelah ini.

Duh, pikiranku rada nakal lagi, nih ...

Tapi, hingga beberapa lama, Mas Khalid kok enggak datang-datang, sih? Sedangkan kalau aku keluar lalu mencari dia, kan, jadi malu.

Aku diam saja menunggu, hingga bunyi kenop pintu yang terbuka, benar-benar mengejutkanku. Mas Khalid muncul dari balik pintu.

"Nur ..." Hanya itu suara yang keluar. Tapi, cukup membuatku merasa tak karuan.

"Mas ... Sudah urusannya?" Aku berbasa-basi. Meski enggak pingin tahu sama sekali sama urusan Mas Khalid. Enggak penting banget.

Mas Khalid mengangguk, "Udah, kok."

Dia mendekati lemarinya. Membukanya dan mengambil kaos. Dan, momen yang cukup membuat jantungku rasanya mencelat dari dada ini terjadi. Dia dengan santainya membuka kemeja lalu menggantungnya di gantungan di belakang pintu. Lalu menggantinya dengan kaos tadi.

Aku jadi salting, dong ... Tapi, masak iya aku akan protes. Ini bukan hal yang enggak wajar, kan.

Pleas, deh, Nur? Tenang! Tenang!

Sehabis mengganti pakaiannya, Mas Khalid menghampiriku. Lalu, duduk di sebelahku.

Duh, dia mau ngapain, dah?

"Kamu pasti capek. Aku masih mau menemani beberapa orang di luar. Kamu kalau ngantuk, tidur aja, ya! Enggak perlu nungguin aku!"

Oh, syukurlah ... Masih aman. Lagian, aku mikirnya apaan, sih? Wong di luar masih banyak orang. Dasar pikiranku nakal aja.

Aku hanya mengangguk saja sambil senyum-senyum tipis dan manis. Senyum berpahala kalau sekarang. Terus kalaupun mau memandang wajah Mas Khalid lama-lama pun enggak dosa lagi.

Mas Khalid tersenyum tipis. Berdiri, terus melangkah keluar kamar. Sementara aku, mengembuskan napas beberapa kali berusaha mengembalikan degupan jantung biar normal lagi.

Meniti kasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang