"Gimana, Nduk? Masih teratur datang bulannya?" tiba-tiba saja ibu bertanya seusai sarapan, sembari meletakkan gelas berisi air yang baru saja dia minum pada meja.
Aku dan Nur yang sedang sibuk membereskan piring dan sisa makanan, seketika menghentikan kegiatan beberapa saat, lantas saling bertatapan. Aku mengangkat kedua alis, sementara Nur mengangkat dua bahunya perlahan sembari sedikit melirik ke arah ibu.
"Masih belum, Bu. Pendungane." Nur menoleh ke arah ibu sembari tersenyum tipis.
Aku mengulum senyum, lantas memalingkan muka ke arah yang berlawanan dari ibu. Menutup bibir dengan sebelah tangan. Aku yakin, Nur pun mungkin sedang menahan tawa. Bagaimana akan ada perubahan menstruasi pada istriku, jika kami baru bisa melakukannya dua minggu lalu. Dan itu pun hanya tiga kali hingga hari ini.
Memang agak aneh, sih. Kami sebagai pengantin baru, jarang melakukan hubungan suami-istri. Semua butuh proses. Yang sudah kami lakukan saja, sangat aku syukuri. Jadi, untuk mengusahakannya lagi, sepertinya butuh persiapan lebih dari biasanya. Dan hari minggu ini, sudah lebih dari dua minggu sejak kejadian malam itu. Kejadian aku bisa menunaikan salah satu kewajibanku sebagai seorang suami.
Aku tak ingin membebani istriku. Pasalnya tiap kali melakukannya, Nur harus benar-benar dalam suasana hati yang sangat baik. Karena jika tidak, dia pasti kelelahan. Aku masih begitu membutuhkan peran aktifnya. Butuh banyak bantuan. Ternyata, aku masih belum benar-benar normal. Tapi, untungnya, Nur mengerti keadaanku. Dia cukup stabil dalam menjaga suasana hatinya.
"Iya, ibu enggak berhenti berdoa, semoga kalian berdua dikaruniai banyak anak. Endak kayak Khalid yang sendirian. Dan semoga rumah tangga kalian langgeng. Biarlah, cukup ibu saja yang jadi ibu tunggal. Kalau ingat masa kecil Khalid, ibu selalu pingin nangis, endak tega." Ibu duduk terdiam. Pandangannya menatap lurus ke depan.
Sementara itu, kami kembali menghentikan kegiatan sesaat, saling bertatapan lagi selama beberapa waktu. Hingga, ibu menghela napas cukup dalam.
"Lah ... kok malah suasanamya jadi sedih begini. Sudah! Sudah! Terusin pekerjaannya. Ibu tak ke dapur dulu, mau mindahin jamu."
Ibu beranjak dari kursi, tanpa melihat pada kami. Dia melangkah ke dapur dengan kepala sedikit menunduk. Dan kulihat dia kembali menghela napas dalam.
Kami meneruskan kegiatan. Nur membawa piring kotor yang sudah ditumpuk ke tempat cuci piring. Sementara aku membantu membereskan meja. Beberapa saat kemudian, Nur kembali lagi ke meja makan untuk membantuku membereskan sisa lauk.
"Mas, anterin aku ke kota habis ini, ya?" Nur mengelap meja dengan kain.
"Mau beli sesuatu?" Aku memasukkan sisa lauk ke lemari makan yang berada di samping meja.
"Iya. Buat kenang-kenangannya Pak Ghofar. Minggu ini kan minggu terakhir dia ngajar di sekolah. Sebelum pindah ke Tiris." Nur menghentikan kegiatannya sesaat. Matanya menatap kosong. Menghela napas dalam kemudian mengembuskannya seketika. Lantas, meneruskan kegiatannya kembali.
"Kalau begitu, kamu siap-siap sekarang! Biar aku yang cuci piringnya."
"Enggak enak sama ibu, toh, Mas."
"Kok, bisa enggak enak, toh? Ya biar cepat, lah, Nur. Enggak apa-apa. Ibu bukan mertua jahat kayak di tivi-tivi." Aku terkekeh. Pun dengan istriku.
"Oke, kalau gitu." Nur meletakkan kain lap di gantungan. Lalu, segera melangkah ke kamar untuk bersiap.
***
Aku mengenyakkan pantat di sofa ruang tengah. Mengistirahatkan punggung. Melepas lelah dan gerah setelah seharian berkeliling kota. Musim kemarau di Probolinggo mencapai puncaknya. Membuat udara terasa cukup panas.
Nur datang dari arah pintu ruang belakang, membawa seteko es teh dan dua gelas di tangannya. Es teh di tengah hari, benar-benar pas.
Nur meletakkan es di meja. Menuangnya ke masing-masing gelas. Lalu duduk di sampingku. Aku segera meminum es dari salah satunya hingga hampir tandas.
"Heran ya, Mas. Masih saja ada pemaksaan berkedok mutasi ASN begini? Pantes saja Mas Khalid enggak mau jadi ASN. Orang sebaik Pak Ghofar saja harus mengalami mutasi enggak masuk akal macam ini. Padahal cuma karena ada hubungan saudara sama rival penguasa." Nur meraih segelas es, lantas meminumnya.
"Ya begitu itu, Nur. Politik penuh intrik. Mau bagaimana lagi? Rakyat kecil seperti kita ya enggak bisa ngapa-ngapain. Ditunggu saja bagaimana ke depannya. Bertahan berapa lama hal semacam ini. Memang kalau hawa-hawa panas Pilkada ya begini, ini, Nur."
"Aku enggak bisa bayangin, Mas. Gimana nanti Pak Ghofar ngajarnya nanti. Rumahnya kan dekat pasar, ya? Dari Leces ke Tiris itu enggak deket, loh. Tiris itu daerah gunung, loh, Mas. Sedangkan Pak Ghofar cuma motoran. Apalagi katanya tempatnya lumayan masuk. Kasihan. Beliau sudah sepuh."
"Allah mboten sare, Nur. Allah tidak tidur. Di kemudian hari, pasti akan ada ganjaran bagi yang dzalim."
Kulihat Nur terdiam. Matanya menatap kosong ke depan dengan posisi kepala sedikit miring. Sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu. Aku memerhatikannya beberapa saat, lalu menepuk pelan pundaknya. "Mikirin apa sampai bengong begitu?"
"Mikirin kalimat Mas barusan. Kalau orang yang melakukan keburukan pasti akan mendapat ganjaran cepat atau lambat. Jadi ... kebaikan harusnya begitu juga, kan?"
"Pastinya." Aku kembali meraih gelas dan meminum isinya. Kali ini hingga benar-benar tandas. Lantas meletakkan gelas kembali ke meja.
Nur kembali terbengong-bengong. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Tapi, memang akhir-akhir ini, kuperhatikan Nur sedikit lebih sibuk dari biasanya. Bukan fisiknya yang sibuk, tapi lebih ke pikirannya.
Sejak mengatakan kalau telah menemukan sebuah blog yang seolah-olah bak peti harta karun, dia kelihatan lebih sering mengutak-atik ponsel. Sepertinya sibuk membaca artikel dari blog itu. Bahkan, sekarang setiap ada pembicaraan yang dianggapnya menarik, selalu membuatnya makin banyak berpikir. Biasanya selalu dihubungkan dengan falsafah kehidupan.
Tapi, biar saja. Toh, apa yang dibacanya sepertinya membawa kebaikan. Buktinya hal itu mampu membuatnya hampir selalu berada pada suasana hati yang baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meniti kasih
RomanceKhalid, lelaki penyuka sesama jenis yang ingin menjauhi maksiat dengan memutuskan untuk sendiri. Hingga, suatu kejadian membuatnya menikahi Nur, rekan kerjanya. Awalnya, Khalid bertekad menyembunyikan orientasi seksualnya, ingin membahagiakan Nur. T...