15. Khalid

532 57 2
                                    

Nur tiba-tiba menarik tangannya yang barusan kugenggam, karena terlampau bahagianya hatiku. Tentu saja, aku terlejut dibuatnya. Apakah dia tak suka aku melakukannya?

"M-maaf, Nur. Aku terlampau bahagia mendengar keputusanmu."

"I-iya. Enggak apa-apa." Nur melemparkan pandangannya ke arah berseberangan denganku, dan segera menunduk. Lantas segera beranjak. "A-aku mau ngambil jamu dulu. Tadi dipesenin ibu kalau Mas Khalid disuruh minum juga."

"Nur, tung--" Ah, Nur tak mendengarkanku. Dia melangkah begitu cepat keluar kamar. Padahal, aku ingin melarangnya ke sana. Biar aku minum sendiri saja.

Aku menghela napas dalam. Beranjak dari bibir ranjang, lantas keluar kamar menuju ruang belakang. Menghampiri Nur yang ternyata sudah menuang jamu ke dua gelas di meja makan.

"Nur, biar aku minum di sini saja. Jangan semua dibawa ke kamar. Nanti aku jadi manja dan tergantung terus sama kamu." Aku duduk di kursi sembari menunggu Nur selesai menuang jamu.

Nur menoleh padaku. Sejenak menghentikan kegiatannya. Dia tersenyum tipis. "Aku hanya berusaha menjadi hamba yang patuh."

Hamba yang Patuh.

Aku tersenyum sedikit. Mendongak memandangi perempuan yang telah memutuskan untuk tetap menemaniku dengan kekuranganku ini. Dan hamdalah terus menerus kuucap dalam hati.

***

"Sudah, Nur! Dandannya jangan lama-lama. Nanti malah jadi cantik." Aku mengintip dari balik pintu. Sementara Nur sedang sibuk memasang beberapa aksesoris pada hijabnya.

Nur menoleh padaku seraya tersenyum geli. "Wah ... latihannya pake gombalan, nih? Wong cuma pake tuspin doang, kok, Mas. Biar hijabnya enggak terbang-terbang."

Aku melangkah masuk kamar. Berdiri di samping Nur sembari memandang ke arah cermin. Kedua tanganku mendarat di pundak Nur. "Nur, kamu itu cantik. Aku aja yang enggak beres. Kamu harus camkan itu."

Dan kulihat, sejenak, Nur mematung. Menatap nyalang ke depan. Entah apa yang dipikirkannya. Lantas, hanya senyum tipis yang muncul dari bibirnya.

"Aku memang masih begini, Nur. Tapi, bukannya aku buta. Dah, ya, kutunggu di depan. Aku sudah pamit sama ibu. Kamu pamit sendiri saja, ya!" Kutepuk kedua pundak Nur, lantas segera berbalik dan keluar kamar.

Nur masih mematung ketika kutinggalkan. Entahlah, aku hanya ingin mengatakan kalimat-kalimat itu. Aku bukan lelaki romantis yang pandai memuji. Hanya saja, aku tak ingin Nur berkecil hati dan terus kecewa dengan keadaanku.

Aku menunggu Nur di ruang depan. Duduk sembari mengutak-atik ponsel. Berselancar di dunia maya. Mencari ide jalan-jalan hari ini.

Sengaja, sore ini aku ingin mengajak Nur jalan-jalan lagi. Aku ingin menyenangkannya meski dengan cara begini saja. Aku harus bisa berterima kasih pada istriku itu. Kalau bukan Nur, mungkin saja, hari ini akan menjadi hari terburuk dalam hidupku.

Beberapa menit mencari, membuatku memiliki ide untuk membelikan istriku itu hadiah. Tapi, hadiah macam apa? Sebelumnya, aku tak terlalu dekat dengan Nur. Pun tak pernah juga memerhatikannya. Yang paling mencolok hanya kegemaran Nur akan jajanan. Dan hal itu jelas akan kulakukan hari ini. Aku akan mengajak Nur untuk menikmati kudapan di sekitar alun-alun. Tapi, aku ingin memberinya lebih dari itu.

Dan, belum juga berhasil menemukan ide, Nur sudah mengejutkanku dengan suaranya. "Ayo, Mas."

Sontak aku menoleh. Beranjak gegas dari kursi. "Sudah pamit sama ibu?"

Nur hanya mengangguk. Dan kami berjalan hampir beriringan.

Dengan motor bebek empat tak yang kubeli second tiga tahun lalu, kami menyusuri jalanan sore kampung. Matahari masih bersinar cerah kekuningan. Belum satu jam lalu kami melaksanakan salat Ashar bersama. Sengaja aku berangkat lebih siang, agar nanti bisa lebih lama berkeliling kota.

***

Nur duduk di ranjang, membuka bungkusan berisi hadiah yang kubelikan tadi. Dengan wajah semringah, dia mengeluarkan sepatu flip on abu-abu dari kotak karton.

Aku masih duduk di depan meja. Memeriksa beberapa pekerjaan. Meskipun sedikit capek, tapi aku menyempatkan untuk memeriksanya, karena besok kami harus mulai kembali mengajar, setelah lebih dari seminggu cuti.

"Kamu suka, Nur?" Aku menoleh, setelah memastikan semua persiapan untuk pekerjaanku sudah beres.

Nur mendongak, memandangku dengan senyum semringah. "Tentu saja suka. Aku suka banget sepatu begini. Selama ini cuma beli yang KW dan kurang enak dipakai. Dan sekarang bisa beli yang empuk begini. Pasti enak dipakai buat kuliah dan mengajar."

Sungguh, melihat Nur tersenyum semringah, membuatku juga merasa sangat senang. Ah, Nur begitu mudah berbahagia. Meski dia tahu aku seperti ini, tapi dia tetap bisa berbahagia macam ini. Entah bagaimana bahagianya dia andai aku benar-benar bisa menjadi suami seutuhnya? Kuharap aku akan mampu melakukannya.

Aku memutar badan, menghadap Nur dengan sempurna. Kami bercakap-cakap beberapa saat. Membahas kesukaan Nur tentang sepatu, film, dan semua.

"Bagaimana kalau kita nonton kapan-kapan?" Lagi-lagi aku berinisiatif. Bukan hanya ingin menyenangkan istriku ini, tapi sebagai sebentuk usaha mendekatkan dirk dan menyamankan perasaanku. Siapa tahu dengan jalan ini, aku bisa menumbuhkan perasaanku sedikit demi sedikit kepada Nur.

"Wah, boleh-boleh. Aku belum pernah sama sekali nonton di bioskop." Nur terkekeh. Membuatku kegelian dibuatnya.

Meskipun sebenarnya menonton di bioskop seolah-olah hal yang sangat biasa, tapi bagi kami yang orang kampung, menonton itu adalah hal mewah. Terlebih lagi perempuan seperti Nur. Jelas tak akan mungkin menonton film sembarangan. Mana mungkin bapak akan memperbolehkannya keluar sembarangan.

Dan tiba-tiba, dengungan ponsel menjeda sejenak percakapan kami.
Segera saja aku meraih ponsel yang bertengger di meja. Karena, aku memang sedang menunggu jawaban pertantaanku dari seseorang. Sebuah pesan obrolan dari pendamping, mendarat di aplikasi obrolan.

Tentu saja, dengan sangat antusias aku membuka pesan itu.

[Tak cukup hanya pendekatan hati saja, Mas. Sedikit banyak, Mas Khalid juga kami sarankan mencoba secara fisik. Karena sentuhan fisik juga menimbulkan kesan yang mendalam. Bahkan berpengaruh juga terhadap psikis.]

Aku membacanya dengan perlahan. Terdiam beberapa saat. Lantas, pandanganku beralih melirik kepada Nur tanpa mendongak. Dari mimik wajahnya, sepertinya Nur sedikit penasaran.

"Pesan dari konselor," tanpa ditanya, aku memberitahukannya kepada Nur.

"Oh." Nur hanya menjawab singkat. Tapi masih tersirat rasa ingin tahu dari mimik wajahnya.

"Mau baca?" Aku ingin menumbuhkan rasa percaya dan saling terbuka kepada Nur.

Nur hanya menggeleng. "Enggak."

"Enggak apa-apa, kok. Siapa tahu bisa membuat prosesnya makin mudah."

Nur kembali menggeleng. "Enggak perlu, Mas. Kecuali jika dirasa penting untuk disampaikan, ya aku akan membantu."

Aku hanya tersenyum dan mengangguk menanggapi ucapan istriku ini. Lantas, melirik jam dinding yang sudah menunjukkan waktu hampir jam sepuluh malam. Aku masih memikirkan pesan barusan. Dan memang, jika dipikirkan lagi, tak cukup rasanya jika hanya pendekatan batin saja. Kami butuh sentuhan fisik. Meskipun jika aku membayangkan, rasanya cukup tak nyaman.

Aku beranjak dari kursi. "Aku ke kamar mandi dulu, ya? Sudah malam."

Nur kembali mengangguk. Dan kulihat dia mulai membereskan belanjaan kami. Aku meninggalkannya ke kamar mandi.

Sejatinya, aku tak benar-benar ada hajat. Hanya saja, aku ingin memikirkan tentang apa yang harus kulakukan kali ini. Aku harus mencobanya.

Meniti kasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang