8. Nur

482 46 4
                                    

Aku mematut diri di depan cermin. Memperhatikan tiap detil yang tampak di hadapanku. Wajah, hijab, seragam batik hijauku, dan semua. Berkali-kali kubenahi hijab. Lalu, memutar badan ke kiri dan ke kanan. Enggak mau ada secuil pun hal yang enggak beres dari penampilanku.

Ah, dadaku rasanya mau meledak. Perutku kayak dipenuhi kupu-kupu berterbangan. Bahkan, aku sampai senyam-senyum sendiri. Mengigit bibir bawah, mengingat kejadian kemarin. Mas Khalid melamarku. Apalagi, bapak langsung menyetujuinya. Bahkan, bapak sangat senang mendengarnya.

Padahal sebelum itu, aku khawatir banget. Soalnya, besok bapak harus memberi jawaban tentang tawaran perjodohan temannya itu. Kupikir, aku akan berakhir menjadi istri pegawai perusahaan rentenir. Lalu, makan dari hasil riba yang sangat mengerikan.

Aku begidik ngeri setelah sejenak ingat kembali dengan bayangan dosa mengerikan itu. Tapi, setelahnya, kembali tersenyum pas ingat lagi kalau aku akan berangkat mengajar dan bertemu lagi sama Mas Khalid.

Setelah benar-benar yakin kalau penampilanku sudah perfect banget, aku langsung menyambar tote bag hitam yang kugantung di gantungan sebelah lemari pakaian. Lalu, segera keluar kamar untuk pamit sama bapak dan emak buat berangkat mengajar.

Jujur saja, aku gugup banget loh. Enggak bisa membayangkan bagaimana nanti kalau bertemu Mas Khalid. Jangan sampai salting!

Aku membawa motor pelan-pelan. Soalnya rada khawatir. Aku sadar diri banget kalau fokusku kali ini rada terganggu karena gugup. Aku beneran enggak menyangka kalau akhirnya Mas Khalid melamarku. Sebelumnya, dia enggak pernah memberi tanda. Setiap hari, selama lebih dari sebulan ini, sikapnya biasa saja di sekolah. Dia tetap Mas Khalid yang lebih banyak sibuk sendiri.

Sejak kapan, sih, dia memperhatikan aku? Aku kok enggak tahu, ya?

Aku menghentikan motor di depan gerbang, lalu turun dan menuntunnya seperti biasa. Tapi, belum juga melewati gerbang, bunyi motor bebek Mas Khalid, membuatku menoleh ke belakang. Aku hafal banget bunyi motornya.

Dan, sekonyong-konyong, mataku dan matanya berserobok. Rasanya aku mau mati. Seolah-olah semua sudah berubah mendadak. Aku sudah enggak di dunia ini. Mungkin sudah di surga kali, ya? Apalagi, dia tersenyum manis banget. Duh ... aku benar-benar melted dibuatnya.

"Nur ... " Satu sapaan saja, sudah bikin nyawaku keluar dari badan ini. Kayaknya aku udah jadi bidadari paling cantik.

Duh, jangan-jangan memang sudah keluar sayap dari punggungku. Bahkan, hanya sepersekian menit saja, sudah berhasil membuat pipiku panas. Dadaku mau meledak.

Blushing ... Blushing ...

"Eh, Mas Khalid." Aku sudah kehilangan jati diriku. Nur yang barbar dan slengean mendadak kalem pas udah ketemu pawangnya.

Aku mematung, lupa kalau seharusnya terus berjalan dan enggak berdiri saja di depan gerbang sekolah.

"Kamu mau berdiri di situ aja, kah?" Mas Khalid menahan senyum geli.

Duh, Nur ... kamu malu-maluin banget, sih.

"I-iya, Mas." Tuh, kan aku jadi gagap. Hadeuh ... Dan, tanpa babibu lagi, demi menyembunyikan malu dan grogi, aku segera ngacir dan menuntun sepeda dengan kecepatan yang lebih dari biasanya.

Tapi di parkiran, lagi-lagi aku malu-maluin. Karena parkiranku bersebelahan lagi sama Mas Khalid, eh ... bisa-bisanya aku kejepit di antara motor dan enggak bisa keluar.

Duh! Mukaku udah hilang rasanya. Malu banget.

Dan Mas Khalid malah senyum-senyum kegelian, sebelum akhirnya bantuin aku biar bisa bebas.

Meniti kasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang