29. Nur

460 57 1
                                    

Aku sedang menyapu halaman, ketika kulihat Mas Khalid datang dari arah warung. Hendak berbelok, masuk halaman. Aku hanya mendongak sebentar kemudian melanjutkan pekerjaanku yang tinggal sedikit lagi.

"Loh? Bukannya siap-siap, kok malah nyapu, Nur?" Mas Khalid masih duduk di motor. Belum mematikan mesinnya.

Aku mendongak, mengernyit memandangnya. Kuhentikan kegiatan. Lalu berdiri tegak menghadap suamiku. "Wong cuma ke bidan aja, kan? Gini aja aku udah siap, kok. Tinggal ambil tas terus berangkat."

"Kita ke dokter kandungan aja. Jangan ke bidan, Nur! Aku pingin lihat calon bayi kita. Ke bidannya pas posyandu aja, deh." Mas Khalid memarkirkan motor di samping rumah setelah mematikan mesinnya. Dia melangkah ke arahku.

"Lah ... Mas enggak ngomong dari tadi. Bentar, deh, tanggung."

Aku hendak meneruskan pekerjaanku, tapi ternyata Mas Khalid sudah merampas sapu lidi dari tanganku. "Kamu siap-siap, gih! Biar aku yang ngelarin ini."

Aku hanya mengangkat kedua bahu sambil menenglengkan kepala. Lalu berlalu ke dalam rumah untuk segera bersiap.

Enggak butuh waktu lama, aku sudah keluar lagi. Karena, aku memang bukan perempuan yang suka dandan. Hanya merapikan riasan dengan sedikit sapuan bedak tabur dan liptint pada bibir. Ini pun kupakai sebagai pembeda saja, antara Nur single dan Nur yang sudah menikah. Lalu mengganti daster rayonku dengan gamis katun hijau agar lebih resmi saja.

Aku berdiri di teras, dengan sling bag cokelat tersampir di pundak. Menghadap pada suamiku yang sekarang lagi memasukkan sampah daun-daun kering ke keranjang bambu di sampingnya. "Aku udah, Mas. Ayok, pamit sama ibu barengan!"

Mas Khalid menoleh. Dia tersenyum dan menatapku hangat. Mengangguk, mengiyakan ucapanku.

Ah, sikap Mas Khalid yang semacam ini terkadang bikin aku sejenak lupa sama keresahanku. Tapi, tetap saja, enggak menghilangkannya. Sampai kapan, sih, aku harus kesiksa dengan rasa ini?

Melihat kami, orang-orang pasti akan menilai kalau kami pasangan yang ideal banget. Mas Khalid enggak neko-neko dan bertanggung jawab. Andai aku enggak tahu orientasi seksualnya, pasti enggak bakal dihantui overthingking kayak gini. Kenapa Mas Khalid harus jujur sama aku?

Kami bersama menuju ruang tengah, untuk pamit pada ibu. Karena, kulihat tadi ibu sedang nonton televisi di sana.

"Bu, kami mau ke dokter kandungan dulu, ya? Mau mengecek kandungan Nur." Mas Khalid dan aku berdiri di samping sofa, menghadap pada ibu.

Seketika ibu menoleh, mendongak melihat kami. Beliau berdiri lalu memutar badan menghadap kepada kami. "Ke dokter? Ke kota? Pake motor?"

"Injih," Mas Khalid menjawab dengan nada sopan.

Ibu menghela napas dalam kemudian mengembuskannya perlahan. "Ya udah. Ati-ati, ya! Tapi, habis ini jangan sering-sering motoran lagi! Soalnya kasihan kamu dan bayimu itu, Nduk."

"Injih, Bu." Aku menunduk dan mencium punggung tangan ibu. Diikuti Mas Khalid setelahnya.

"Pelan-pelan, loh, Le! Ati-ati! Istrimu ini masih hamil muda. Rawan. Kok ya endak pinjam mobilnya Pak Lekmu, loh, Le ...? Ibu kok jadi khawatir malem-malem gini kalian motoran. Kamu jangan lupa pake jaket, Nduk! Biar endak masuk angin." Ibu mengernyit ketika menasehati kami.

Enggak kusangka, ibu bakalan sekhawatir ini cuma persoalan naik motor ke kota. Padahal sebelum ini, kami cukup sering melakukannya, dan ibu enggak mempermasalahkannya sama sekali.

Tapi, semua enggak terlalu kami hiraukan. Toh, akhirnya kami berangkat juga.

Sesampainya di tempat praktek dokter, kulihat pasien yang menunggu sudah banyak. Aku segera mendaftar buat antrian diperiksa. Dan ternyata, list antrian sudah panjang. Petugasnya berkata kalau kemungkinan kami bakal mendapat giliran sekitar jam setengah tujuh malam.

Aku melirik jam dinding yang menempel pas di atas pintu ruang periksa. Masih jam lima sore lebih beberapa menit. Tapi, mau bagaimana lagi? Wong kami juga baru pertama kali datang ke dokter kandungan. Kami juga enggak begitu paham cara mendaftar yang ternyata bisa via panggilan telepon.

"Ya sudah, kita keluar dulu, yuk! Ke alun-alun cari makan sekalian nanti salat Magrib." Mas Khalid menepuk pelan pundakku. Membuatku menoleh dan mengangguk.

***
Kami pulang sekitar jam tujuh malam lebih. Kupikir, Mas Khalid bawa motor pelan pas kami berangkat, cuma mau menikmati suasana sore. Tapi, pas kami pulang pun, ternyata dia sama saja, bawa motor pelan banget. Enggak kayak biasanya.

Mungkin dia cuma mikirin pesan ibu yang tadi. Tapi, ini membuat perjalanan yang harusnya enggak sampai tiga puluh menit, malah jadi empat puluh lima menitan.

Dan tadi, Mas Khalid kelihatan senang banget pas melihat monitor di ruang dokter. Dia senyum-senyum sendiri. Padahal, cuma kelihatan gambar hitam putih dengan lingkaran enggak teratur yang berdenyut-denyut. Bahkan, kulihat dia antusias banget-banget pas dokter bilang kalau yang berdenyut-denyut itu jantungnya.

Sebenarnya, enggak cuma Mas Khalid yang senang, aku pun sama, sih. Tapi sayang, kebahagiaan ini masih enggak sesempurna kelihatannya. Masih ... saja ada yang mengganjal di hatiku. Mempertanyakan cinta Mas Khalid. Lagi.

Dan entah kenapa, aku jadi lebih perasa setelah tahu hamil. Jadi lebih pingin barengan sama Mas Khalid terus. Tapi ... pas barengan, eh, hatiku ngilu. Karena, ingat bagaimana perasaan Mas Khalid padaku.

***

Kami sampai di rumah sekitar jam delapan malam, tadi. Mas Khalid segera ke warung setelah memastikan aku meminum suplemen yang kami dapat dari dokter tadi. Bahkan, dia menyuruhku untuk segera beristirahat setelah salat Isya, dan enggak perlu menunggunya pulang.

Tapi, karena sudah terbiasa, aku yang berusaha tidur, malah terbangun pas mendengar bunyi mesin motor Mas Khalid. Tentu saja, aku segera melesat keluar untu menyambut dan membantunya membereskan wadah-wadah kosong yang biasa dia bawa.

Segera saja kubuka pintu dapur. Menghampiri suamiku dan mencium punggung tangannya. Tapi, seketika agak kaget pas melihat ada sisa bakso dan beberapa bahan di keranjang yang dia bawa.

"Tumben nyisa, Mas?"

"Iya, agak sepi dari biasanya, Nur. Namanya rejeki, kan? Udah, yuk, kita beresin. Sisa bakso kita masukin freezer. Besok mungkin aku bakal mengurangi bahan mentahnya aja. Kamu bawa yang ringan! Sisanya, taruh di situ aja! Biar aku yang bawa." Mas Khalid menuntun motor dan memasukkannya ke ruang belakang. Sementara aku mengekorinya dengan membawa sebagian wadah berisi mie yang tersisa.

Memang, tak banyak yang tersisa. Tapi, karena biasanya selalu habis, maka kejadian macam ini bisa jadi pikiran.

Ah, ada-ada saja. Ini pasti efek video yang kemarin. Tapi, kami masih harus menunggu beberapa hari untuk hasil lab-nya.

Dan tentu saja, aku tiba-tiba merasa kasihan banget sama suamiku. Untungnya aku enggak jadi meneruskan rencana khidmah di pesantren. Atau ... memang ini jawaban dari istikharahku? Masih harus membersamai Mas Khalid dan buah hati kami.

Meniti kasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang