7. Khalid

470 53 1
                                    

"Kalau ... aku yang ... ehm ... ngelamar kamu, gimana, Nur? Kamu enggak keberatan dengan pekerjaanku, kan?" Akhirnya, aku memberanikan diri mengucapkan kalimat-kalimat ini. Pertanyaan-pertanyaan yang sudah kupikirkan dan kupersiapkan sejak dua hari lalu.

Nur terdiam tak menjawab. Hanya terdengar suara berisik yang entah apa di seberang sana. Sepertinya itu suara Bu Muchtar, ibu Nur.

Aku berdeham sekali, khawatir terlampau lama menunggu. Atau malah Nur menutup teleponnya.

"Eh? Ehm ... anu ..." Nur masih tak menjawab.

"Kalau kamu diam dan enggak ngasih penolakan, aku anggap iya, Nur." Nada suaraku merendah dan cukup lembut.

"Aku bilang ke bapak dulu, ya, Mas. Nanti biar Mas Khalid ngomong sendiri. Eh, anu ... aku dipanggil emak. Sudah dulu, ya? Assalamualaikum."

Tanpa menunggu jawaban dariku, Nur menutup sambungan teleponnya. Ya ... kemungkinannya hanya dua, dia malu atau marah. Entahlah, keputusannya akan kuketahui nanti atau jika bertemu Nur di sekolah besok.

Sekarang, aku akan bersiap-siap untuk berangkat ke warung. Karena, sudah jam empat sore.

Bukan mudah memutuskan untuk melamar Nur. Butuh perjuangan dan persiapan mental yang lebih dari biasanya. Dan keputusanku ini, bukan tanpa alasan dan pemikiran panjang.

Sejak pertama kali Nur bercerita tentang masalahnya, aku sudah merasa kasihan padanya. Ketakutannya akan nafkah tak halal, sungguh membuatku bersimpati dan kagum padanya. Kuanggap, niatnya sama denganku. Sama-sama ingin menghindar dari perbuatan dosa. Sama-sama ingin menggapai keridhaan Allah.

Karenanya, aku melakukan konseling lagi dengan para pembimbingku. Bermusyawarah tentang semua ini. Dan mereka mendukungku untuk menikah. Mereka memberi motivasi yang membuatku cukup bersemangat dan merasa memiliki pegangan yang cukup kuat untuk melakukan ini.

Aku masih ingat penggalan percakapanku tiga hari lalu dengan salah satu konselor melalui sambungan telepon.

"Mas Khalid, menikah itu bukan hanya karena cinta menggebu-gebu dan nafsu berhubungan badan. Lebih dari itu. Menikah itu ibadah. Terlebih lagi, Mas Khalid memiliki keistimewaan seperti saat ini. Seperti yang kita ketahui, ibadah yang paling banyak pahalanya adalah ibadah yang paling sulit dilakukan."

Aku terdiam sebentar. Memikirkan tiap kalimat yang baru saja kudengar. Karena ... memang cukup banyak kebaikan yang kudapat dari pernikahan ini. Kebahagiaan ibu, niat beribadah dan memperbanyak ummat Rasulullah, ditambah lagi membantu seorang gadis untuk bersama menghindar dari dosa. Pun aku akan sangat terbantu dalam proses pertaubatanku. Kembali ke fitrahku sebagai lelaki.

"Iya, Pak. Insyaallah akan saya lakukan."

"Lagi pula, dengan menikah, Mas Khalid akan sangat terbantu. Ada istri yang bisa membantu Mas untuk terus berbenah. Menumbuhkan rasa nyaman dengan jalan halal. Insyaallah, dengan niatan baik, semua akan dimudahkan."

Kami mengobrol beberapa saat, sebelum akhirnya panggilan terputus.

Dan kemarin, setelah melakukan istikharah dengan hasil yang sangat baik, aku segera memberi tahu ibu tentang niatku ini. Dan sungguh, tak pernah kulihat ibu lebih bahagia dari pada kemarin. Bahkan, ketika rumah kami direnovasi pun, ibu masih tak sebahagia kemarin.

"Alhamdulillah, Nak. Akhirnya doa ibu selama ini dikabulkan Gusti Allah." Mata ibu berkaca-kaca. Dan, leherku tersekat melihatnya.

Ada rasa bahagia dan haru yang membuncah di dadaku. Dan aku pun menangis di pangkuan ibu. Sungguh, rasa yang belum pernah kualami sebelumnya. Aku tak mampu menjelaskan.

***
Suasana jalan raya cukup ramai. Banyak mobil dan motor berlalu-lalang. Malam baru saja tiba. Baru sekitar satu jam lalu aku melaksanakan salat Maghrib.

Sementara warung sedikit lebih lengang, setelah barusan cukup ramai. Ada sekitar dua atau tiga kursi kosong. Padahal tadi, tak ada kursi kosong sama sekali, ditambah beberapa pembeli mengantre untuk membeli bakso atau mie ayam yang dibawa pulang.

Karena sedikit lebih lengang, aku beristirahat sesaat, duduk di kursi yang terletak di sebelah gerobak bakso. Sementara yang kali ini melayani para pembeli adalah dua orang asistenku. Mereka ini adalah suami istri yang baru menikah setahun lalu. Sengaja, aku memilih yang sudah menikah. Aku tak mau membuka celah sedikit pun terhadap kecenderunganku menyukai lelaki. Karena terkadang bisa sangat random.

Warung bakso dan mie ayamku ini memang cukup laris. Dulu, aku hanya berjualan memakai gerobak bakso dengan beberapa bangku dan sebuah meja. Sementara lokasinya, menyewa emperan toko. Hanya sendiri, tanpa asisten yang membantu.

Dan seiring waktu, akhirnya aku bisa menyewa bangunan kecil ini. Ukurannya tak terlalu besar, hanya berukuran 5x5 meter persegi saja. Dilengkapi satu toilet kecil dan tempat cuci piring yang kubuat sendiri.

Sembari beristirahat, aku mengambil ponsel dari kantong celana. Memeriksa, kalau-kalau ada pesan penting. Dan, ketika kubuka layar, memang sudah ada beberapa notifikasi pesan. Salah satunya dari Nur.

Jantungku berdegup cukup kencang. Mencoba menerka apa gerangan jawaban dari Nur. Sejatinya, aku tak terlalu berharap Nur mau menerimaku. Pun tak terlalu khawatir jika ditolak. Tapi, tetap saja, aku sedikit gugup. Karena, ini menyangkut bagaimana masa depanku setelah ini. Terlebih lagi, jika mengingat kembali bagaimana bahagianya ibu mendengar niatku ini. Karena jika Nur menolakku, mungkin aku tak akan berusaha untuk mencari gadis lain.

[Assalamualaikum, Mas. Salam dari bapak. Beliau menunggu kedatangan Mas Khalid di rumah.]

Pesan yang cukup singkat. Bahkan, bahasanya berbeda. Lebih resmi. Tak seperti Nur biasanya. Dan, setelah membaca pesan dari Nur, seketika muncul rasa bahagia di hati. Bayangan tentang masa depan yang bahagia dan lebih cerah, begitu jelas di pikiranku. Bagaimana ibu akan sangat bahagia. Lalu, bagaimana nanti jika kami diamanahi keturunan yang sholih dan sholiha. Dan berbagai hal menyenangkan lain.

Tanpa menunggu lama, segera saja kubalas pesan itu. Karena setelah ini, mungkin saja warung akan kembali ramai. Dan aku mingkin tak bisa membalas pesan Nur lagi.

[Waalaikumsalam. Alhamdulillah. Terima kasih, ya, Nur. Aku akan ngomong sama ibu. Nanti kalau sudah jelas waktunya, aku akan segera ngabarin kamu.]

Dan karena terlampau bahagia, tanpa sadar, aku tersenyum sembari memandangi layar ponsel. Hingga, suara salah satu asisten mengejutkanku.

"Hayo! Mas Khalid kok senyum-senyum sambil ngeliatin HP? Tumbenan?"

Tentu saja, aku segera mendongak, memandang ke arah lelaki yang ternyata sudah berdiri di depanku.

"Oh? Ora. Enggak ada apa-apa. Aku cuma ngeliatin video lucu." Aku mencoba berkelit.

"Halah, bohong. Wong jelas-jelas baca chat, kok."

"Sok tahu." Aku segera mematikan layar ponsel dan mengantonginya kembali.

"Dek, Mas Khalid ternyata punya cewek, loh." Asistenku menoleh kepada istrinya. Dan dijawab dengan ledekan oleh sang istri dan tawa yang lepas.

Suasana warung cukup ramai kali ini. Kedua asistenku semakin sibuk. Kini, mereka tak hanya sibuk melayani pembeli saja, tapi juga tak henti meledekku.

Aku dibuat salah tingkah. Tak mampu membalas ledekan mereka. Dan tentu saja, hal ini membuat mereka merasa seolah-olah di atas kemenangan dan semakin menjadi-jadi saja.

Meniti kasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang