45. Nur

506 79 4
                                    

Aku tiba-tiba tersentak kaget. Bangun dari tidurku di tengah malam. Entahlah, aku enggak terlalu ingat jelas tentang mimpiku. Cuma, perasaanku jadi enggak enak. Aku kepikiran sama suamiku.

Kuraih HP yang sengaja kutaruh di dekat bantal, tempatku tidur. Kuhidupkan layar dan membuka kuncinya. Masih jam setengah dua belas malam. Kupikir sudah dini hari. Tapi, perasaanku tentang Mas Khalid, kok, tetap saja enggak enak, ya?

Aku beranjak dari ranjang. Duduk sebentar. Berusaha mengumpulkan kesadaran yang mungkin saja masih tercecer di mana-mana. Dan setelah beberapa menit, baru melangkah keluar kamar setalh menghidupkan lampu tidur. Berniat untuk minum.

Aku minum segelas tanggung air putih. Dan alhamdulillah, cukup membuatku sedikit segar. Kupikir, mungkin ini bisa menenangkan pikiranku. Tapi nyatanya, pikiran tak nyaman masih saja bercokol.

Kulihat sekilas kamar ibu ketika berjalan kembali ke kamar. Sepertinya ibu tidur nyenyak. Ah, hanya pikiranku saja mungkin. Karena, udah lama terbiasa selalu ditemani suamiku. Dan kali ini pertamakalinya aku tidur sendiri. Apalagi, aku hamil dan selalu ingin ditemani.

Sesampainya di kamar dan menutup pintu dengan baik, aku kembali naik ke ranjang setelah kembali mematikan lampu tidur. Berniat tidur lagi. Tapi, berat banget rasanya. Aku kangen banget sama Mas Khalid. Karenanya, kuberanikan diri buat sekadar mengirim pesan chat. Siapa tahu perasaanku bisa tenang lagi dan bisa tidur nyenyak.

[Mas Khalid mungkin sudah tidur. Aku di sini baik-baik saja. Aku cuma pingin ngomong kalau aku kangen. Salam sayang dari istrimu.]

Segera saja kukirimkan pesan chat itu. Dan pas kuperiksa lagi, oh, Tuhan ... kenapa pesanku jadi lebay banget, ya?

Alah, biar, deh. Toh, lebay juga sama suami sendiri.

Dan memang benar, rasanya sedikit lega. Dadaku yang sejak tadi gemuruh, jadi sedikit lebih tenang.

Aku menghela napas dalam, lalu mengembuskannya pelan. Kembali rebah dan memeluk guling. Menghitung satu sampai sepuluh. Lalu, berselawat. Berharap bisa tertidur lagi.

Tapi, tiba-tiba HP berdengung. Kubuka mata dan benar saja, layarnya menyala. Kuraih HP dan memeriksanya. Ada notifikasi chat dari Mas Khalid. Segera saja kubaca.

[Aku belum tidur, Sayang. Enggak bisa tidur. Mungkin kangen sama kamu. Maukah kamu menemaniku tidur? Telepon aku, ya? Kalau iya, balas dulu chat ini! Aku segera pindah ke sofa ruang tamu. Soalnya Adam lagi ngorok di sampingku.]

Dan pesan itu sukses bikin aku sedikit senang. Tapi, kalimat Mas Khalid tentang Adam, seketika menimbulkan rasa enggak nyaman di dada. Tentunya, segera saja kutepis. Bagaimama mungkin aku bisa punya pikiran sepicik ini?

[Ok. Pindah, gih! Aku juga enggak bisa tidur, Mas.]

Pesan langsung terbaca. Kutunggu beberapa menit, dan Mas Khalid mengirim pesan balasannya.

[Aku udah di ruang tamu. Telepon, gih!]

Segera saja, tanpa babibu, aku menelepon suamiku. Dia mengucap salam dengan nada suara yang sangat antusias. Seolah-olah mendengar suaraku itu memang lagi dia butuhkan banget.

"Syukurlah kamu telepon. Kita ngobrol sampai lama, ya, Nur?"

Aku mengernyit mendengar permintaan Mas Khalid ini. Kenapa sekarang malah dia yang kayak orang hamil, sih?

"Iya. Udah kayak anak muda pacaran aja, nih." Aku sedikit terkekeh. "Tapi, jangan sampe begadang. Aku kan hamil, Mas."

"Iya. Sampe aku ngantuk, ya?"

Dan kami pun mengobrol. Entah apa saja yang kami obrolkan. Hal-hal random yang sama sekali enggak penting. Tentang salah satu rekan mengajar yang pingsan karena ketemu cicak mati--padahal hal ini Mas Khalid tahu. Tentang video viral berujung rejeki, dan entah apalagi. Hingga sekitar satu jam lebih, ketika Mas Khalid bilang sudah merasa cukup tenang dan sedikit mengantuk, akhirnya kami memutuskan panggilan. Dan aku kembali bisa tertidur lagi.

Ah, suamiku ini ada-ada saja.

***

"Le, kamu kayaknya sibuk sekali akhir-akhir ini. Kandungan istrimu sudah gede, loh. Bulan kemarin tingkepan, kan? Jadi, bulan ini sudah delapan bulan. Ada baiknya, kamu mulai atur pekerjaan kamu. Jangan sampai istrimu melahirkan, tapi kamu enggak di sini." Ibu berdiri di ambang pintu kamar, menghadap pada Mas Khalid yang sejak tadi sibuk di depan meja.

Aku hanya duduk saja di sofa ruang tengah buat nonton TV. Barusan, aku nonton bareng sama ibu. Tapi, pas ibu sadar kalau Mas Khalid kelihatan sibuk banget, ibu segera beranjak buat menasehatinya. Seperti sekarang ini.

Akhir-akhir ini, Mas Khalid memang makin sibuk. Kupikir, dengan mamajemen warung yang lebih baik ini, bakal bikin Mas Khalid sering di rumah. Tapi nyatanya, malah sebaliknya. Mas Khalid masih sama, hampir tiap malam mengecek warung. Malah, dia berangkatnya lebih siang, sebelum Ashar. Cuma, pulangnya lebih cepat, sih, bakda Maghrib sudah di rumah. Tapi, dia langsung sibuk telponan sama temannya atau mengecek pekerjaannya lagi.

Apalagi, sekarang hampir setiap weekend pasti ke Jember. Pembukaan warung yang di Jember akan dilaksanakan dua minggu lagi. Dia memang beberapa kali mengajakku. Tapi, pas sekarang-sekarang ini, dengan alasan mepet HPL, dia enggak mau mengajakku sama sekali.

Sebenarnya, aku cukup sebal sama kesibukan Mas Khalid ini. Soalnya, umur kandunganku udah hampir cukup bulan buat lahiran. Tapi, kami belum menyiapkan sekadar baju buat bayi kami. Mas Khalid benar-benar enggak ada waktu.

Aku enggak terlalu memperhatikan percakapan ibu dan anak itu. Toh, aku juga sudah bosan mengomel sama Mas Khalid tentang persiapan kelahiran. Tapi, dia bilang sedikit lagi, sedikit lagi terus. Ya sudah, aku pasrah. Kalau pun dia cuek, paling juga nanti aku akan ke pasar sendiri buat sekadar beli perlengkapan bayi.

"Kamu itu, harusnya lebih perhatian sama istrimu. Melahirkan tanpa ditemani suami itu rasanya ngenes, loh, Le. Jangan sampe anakmu kayak kamu pas bayi dulu. Yang ngadzanin malah si Narto. Kamu mau anakmu nanti diadzanin iparmu itu?" Ibu masih saja meneruskan omelannya sama Mas Khalid. Sementara aku menahan tawa. Syukurin aja! Salah sendiri sibuknya kebangetan.

***

Meniti kasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang