36. Nur

435 53 3
                                    

Aku duduk di bibir ranjang, memandangi travel bag yang berisi bajuku dan Mas Khalid. Kuletakkan tas itu di depan lemari. Kuhela napas dalam lalu kuembuskan lewat mulut.

Hari ini tiba juga. Hari yang memang kuharap kedatangannya sejak beberapa bulan lalu. Apalagi, sejak tahu kalau aku mengandung. Ibu memang benar, seorang ibu itu selalu mengutamakan anaknya. Dia belum lahir pun, selalu menjadi hal utama yang kupikirkan. Bahkan, perjuangan ini juga demi masa depan dan kebahagiaan janin di rahimku ini kelak.

Kulirik jam dinding. Sudah hampir jam dua siang. Mas Khalid baru berangkat beberapa menit lalu. Mengambil mobil di rumah Lek Narto.

Beberapa hari lalu, kami meminta izin sama ibu buat ke Jember. Dan karena memakai alasan reuni, ibu memberi izin dengan mudah. Bahkan, meski kami harus menginap pun, ibu enggak khawatir sama sekali.

Aku beranjak, lalu melangkah dan meraih travel bag kami. Sementara sling bag kecil sudah tersampir di pundak. Aku berinisiatif buat menunggu Mas Khalid di ruang depan saja. Biar nanti kalau dia datang, kami bisa segera berangkat.

Aku membuka pintu perlahan. Dan, seketika kaget banget pas sekonyong-konyong ibu sudah berdiri di depan pintu.

"Dalem, Bu?"

"Oh, ini, Nduk. Kalau nanti ketemu Bu Nyai, sampaikan salam ini juga, ya?" Ibu menyerahkan amplop putih kepadaku.

"Oh, injih, Bu." Aku menerimanya. Memasukkan amplop, yang sudah kutahu pasti berisi uang yang ingin disampaikan ibu, ke sling bag.

"Kamu wis mau berangkat?"

"Dereng. Belum, Bu. Mas Khalid, kan, belum datang. Kulo cuma mau nunggu di depan."

"Oh, ya, wis. Ibu mau istirahat siang, ya. Kamu endak usah pamit lagi. Jangan lupa tutup pintunya!"

"Injih, Bu." Aku meraih dan mencium punggung tangan ibu. Setelah ibu berlalu dan kembali ke kamar, aku meneruskan langkah.

Aku duduk setelah mepetakkan tas di lantai, enggak jauh dari kakiku. Lagi. Aku menghela napas dalam. Memikirkan uang yang sejatinya ingin ibu sampaikan kepada Bu Nyai.

Harus aku apakan uang itu?

Aku masih saja tercenung memikirkan banyak hal, hingga, bunyi klakson mobil menarikku dari lamunan. Membuatku tersentak dan segera melongok untuk melihat apakah itu Mas Khalid.

Kulihat mobil LCGC hatch back putih berhenti di halaman. Enggak lama kemudian, Mas Khalid turun dan menutup pintu. Dia berjalan ke arah teras.

Seketika aku beranjak dari kursi. Meraih tas perjalanan dan melangkah ke teras.

"Aku udah pamit ke ibu. Katanya enggak usah pamit lagi. Ibu sedang istirahat siang." Aku menghentikan langkah di depan pintu setelah menutupnya dengan baik.

***

Sepanjang perjalanan, aku dan Mas Khalid lebih banyak diam. Aku yang biasanya cerewet, sekarang malah sibuk bermonolog dengan pikiranku sendiri. Sesekali kulirik Mas Khalid yang sedang mengemudi. Ekspresinya sedikit tegang.

Ya, bagaimana dia enggak tegang dengan hal ini. Setelah seumur hidup hanya tahu nama bapak, sekarang dia mungkin akan menemuinya.

"Mas ..." Aku bermaksud memecah keheningan.

"Hmm ..."

"Tadi ibu nitip amplop. Katanya salam ke Bu Nyai. Gimana enaknya, ya?" Aku memandang wajah Mas Khalid dari samping.

"Ya ... mau bagaimana lagi, Nur. Ya, amanah itu harus kita sampaikan. Biar beberapa hari lagi kuantar kamu ke pesantren. Sekalian kita bertamu ke rumah Adam, ya? Rumahnya enggak jauh dari pesantren kamu. Aku mau membahas masalah bakso lagi."

"Oh, oke, deh, kalau begitu. Aku lebih tenang. Sejak tadi aku kebingungan sendiri soalnya."

Aku bisa sedikit bernapas lega dengan solusi yang ditawarkan Mas Khalid. Ah, mengapa aku enggak sampai ke sana mikirnya, ya? Mungkin hanya karena efek tegang dan deg degan karena menghadapi momen ini.

Kulihat jam digital pada dashboard mobil menunjukkan angka 16.07 ketika kami sampai di Kota Jember. Kami memutuskan untuk berhenti sejenak di Masjid Agung, sebelah utara alun-alun kota. Menunaikan salat Ashar.

Mas Khalid menelepon pas aku melipat mukena usai salat. Dia memberitahu kalau sudah menunaikan salat dan menungguku di mobil.

Aku bergegas keluar Masjid dan berjalan ke parkiran. Kulihat Mas Khalid duduk di kursi kemudi dan sedang sibuk dengan HP-nya.

Dia seketika mendongak dan menoleh pas sadar kalau aku datang. Aku membuka pintu penumpang depan lalu duduk di kursi sebelah Mas Khalid. Sementara mukenah sudah kulemparkan ke kursi penumpang belakang.

"Kalau dari petunjuk Gmaps, kita masih harus jalan dua puluhan kilometer lagi. Kira-kira empat puluh lima menit atau satu jam lagi. Jadi gimana, Nur? Kita nerusin atau menginap di sekitaran sini? Besok subuh kita berangkat."

Aku melirik jam di dashboard. Sudah hampir jam lima. Itu artinya kalau perjalanan lancar, sebelum jam enam petang, kami bisa sampai ke desa Seputih.

"Kalau Mas Khalid sendiri gimana? Yakin bisa ketemu cepat atau enggak dengan alamat itu? Kalau yakin, kita terusin saja. Kalau enggak yakin, kita istirahat. Karena kalau cepet ketemu, paling lambat jam tujuh atau jam delapan kita sudah ketemu bapak."

Mas Khalid terdiam sebentar. Dia melempar pandangan lurus ke depan. "Terus aja, kali, ya? Kalau sampai jam delapan enggak ketemu, kita balik ke sini. Lalu cari penginapan.

"Nice Idea."

Mas Khalid meletakkan HP di dasboard. Lalu, menghidupkan mesin mobil dan melanjutkan perjalanan.

Meniti kasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang