Bukan hanya sekali ini saja Ibu memintaku untuk segera menikah. Sudah berulang kali sejak dua tahun lalu, sejak aku masih dua puluh delapan tahun. Tapi, tak kugubris sama sekali. Ibaratnya, masuk kuping kanan dan keluar kuping kiri. Karena, setiap kali dia meminta, bahkan hingga marah sekali pun, tak akan bertahan lama. Ibu akan melunak setelah beberapa waktu. Kadang hanya beberapa jam atau hari. Tapi, tak terlalu lama. Paling lama hanya tiga hari.
Karenanya, untuk kejadian kali ini pun akan kulakukan hal yang sama. Aku sudah terbiasa mengalaminya. Karena, selain urusan menikah, aku hampir tak pernah tak menuruti keinginan Ibu.
Sembari menyampirkan tas kerja ke pundak, aku melangkah, keluar kamar. Ibu sedang menyiapkan sarapan pagi pada meja makan, di sebelah pintu dapur bagian dalam.
"Bu, kulo berangkat dulu." Aku berdiri di belakang Ibu yang sedang menata meja makan.
"Loh? Opo ndak sarapan dulu, Le?" Ibu menghentikan kegiatan, menoleh kepadaku. Nada suara Ibu datar dan cenderung lembut. Alhamdulillah, rupanya, amarah Ibu sudah reda.
"Kulo masih mau beli nomor perdana baru. Jadi, biar boten telat ke sekolahnya."
"Sarapan dulu! Wis rampung ini. Tinggal makan saja. Ndak bakal lama." Aku diam sesaat. Tadi Ibu sudah marah besar, kalau sekarang aku menolak, apa tak akan membuatnya kembali marah?
"Oh, injih." Sarapan sebentar saja tak akan jadi masalah.
Aku pamit, mencium punggung tangan Ibu. Beliau membelai pucuk kepala. Kurasakan bibir Ibu berucap doa. Ibu yang begitu tulus. Dia selalu mendoakan yang terbaik untukku.
Mungkin karena doa-doanya ini yang membuatku selalu terselamatkan dari dosa. Aku ingat bagaimana dulu pernah bergaul dengan komunitas pelangi. Selanjutnya, menjadi sangat dekat dengan seorang teman. Pacaran ... mungkin bisa disebut begitu.
Ah ... masa-masa penuh dosa. Memang, aku tak sampai melakukan hubungan badan. Karena tiap kali hendak terjadi, bayangan wajah Ibu selalu datang. Mana mungkin aku mengecewakan Ibu berkali-kali. Aku yang tak mungkin menikah ini saja sudah cukup membebani. Jika aku bertingkah, ini akan memberatkan Ibu dengan dosa.
Semalam, aku malah mendapat chat dari salah satu teman lama. Entah dari mana dia mendapat nomorku. Inilah yang membuatku harus segera mengganti nomor ponsel. Meskipun, pasti akan sangat merepotkan tentunya. Tapi, aku benar-benar telah memutus hubungan dengan komunitas pelangi itu. Jangan sampai kembali terjerumus pergaulan semacam itu.
Seusai sarapan, aku segera beranjak. Membawa motor menuju rumah salah satu temanku yang kebetulan menjual berbagai voucher, kartu perdana, dan aksesoris ponsel.
Sengaja kupilih tempatnya, karena hari masih sangat pagi. Tak ada satu pun konter pulsa yang buka. Dan gerai ini adalah satu-satunya yang bisa dibuka paksa. Karena, berada tepat di depan rumah pemiliknya.
***
Aku melangkah menuju motor dari pintu belakang konter pulsa. Dengan senyum semringah, kukantongi kartu perdana sembari melangkah menuju motor yang terparkir di sebelah gerai. Tapi, tiba-tiba sesosok gadis yang sangat familier tampak di hadapan. Gadis itu berusaha menghidupkan mesin motor matic di seberang jalan. Dan yang menarik perhatian, dia memakai seragam serupa denganku.
"Loh, kamu Nur? Nur Rohimah, kan?" Aku menenglengkan kepala, sembari menatap gadis itu penuh tanya.
"Loh, Mas Khalid. Iya, aku Nur, Mas." Nur tersenyum kepadaku.
"Kamu pakai seragam pengajar? Ngajar di MI? Kok aku nggak tahu?" Aku mengernyit mandang Nur.
"Baru masuk hari ini, Mas." Nur masih berusaha menghidupkan mesin motor.
"Oalah. Ya sudah. Ayo, kita barengan ke sekolah!" Aku duduk pada jok motor dan menghidupkan mesin.
Nur hanya mengangguk dan tersenyum. Mesin motornya telah menyala.
Kupersilakan dia berangkat terlebih dahulu. Sementara aku, berkendara di belakangnya.
Tak kusangka, ternyata Nur mengajar di tempat yang sama denganku. Dia adalah salah satu adik kelasku ketika masih di Sekolah Dasar. Kami bersekolah di SD negeri yang jaraknya sekitar delapan ratus meter dari rumahku.
Dulu, kami berjalan kaki beramai-ramai ke sekolah. Kalau tak keliru ingat, aku sudah kelas enam ketika Nur baru masuk sekolah. Dia gadis ceria dan cenderung tomboi. Setelah lulus SD, Nur meneruskan pendidikan di pesantren. Kala itu, aku masih duduk di bangku SMA.
Dan, baru kali ini aku bertemu lagi dengannya. Bertemu dalam artian, Nur sudah keluar dari pesantren. Sebelumnya, aku sempat bertemu beberapa kali dengannya ketika liburan Ramadhan. Mungkin sekitar satu atau dua kali saja sejak dia nyantri. Entahlah, aku tak terlalu memperhatikan.
Dan apa yang sudah kulihat tadi? Nur yang tomboi, berubah menjadi Nur yang feminim. Dengan rok panjang dan seragam bermodel semi kebaya, Nur tampak sangat perempuan.
Aku tersenyum geli memperhatikan perempuan yang mengendarai motor di depanku itu. Karena, sejenak lalu, teringat beberapa kejadian menggelikan dan lucu ketika Nur masih kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meniti kasih
RomanceKhalid, lelaki penyuka sesama jenis yang ingin menjauhi maksiat dengan memutuskan untuk sendiri. Hingga, suatu kejadian membuatnya menikahi Nur, rekan kerjanya. Awalnya, Khalid bertekad menyembunyikan orientasi seksualnya, ingin membahagiakan Nur. T...