33. Nur

441 56 1
                                    

Meskipun aku berusaha bersikap biasa, tapi tetap saja enggak bisa menyembunyikan kecemburuanku pada Adam. Sepanjang perjalanan pulang, aku diam saja. Padahal tadi pas berangkat, aku cukup ceriwis, soalnya senang banget mendengar Mas Khalid setuju buat ketemu bapak.

Aku pulang dari warung, pas tamu-tamu kami pulang. Dan usai mengantarku pulang dan memastikan masuk rumah, Mas Khalid segera kembali ke Warung. Kulihat jam dinding di ruang depan. Masih jam delapan malam lebih lima belas menit. Masih sekitar hampir dua jam lagi Mas Khalid pulang.

Aku melangkah ke kamar, setelah sebelumnya mengabari ibu yang sedang asyik membaca selawat di kamarnya. Masa tua ibu asyik banget menurutku. Ibu punya cara buat bersenang-senang mengisi waktu. Kalau enggak menonton, ibu pasti salat, mengaji, atau membaca barzanji. Semoga masa tuaku bisa meneladani ibu. Asyik sendiri, dan enggak merepotkan yang muda.

Setelah berganti pakaian dengan pakaian rumahan yang lebih santai, dan melaksanakan salat Isya, aku memeriksa beberapa pekerjaanku untuk besok. Kebetulan, ada beberapa tugas siswa yang harus kukoreksi.

Dan entah sudah berapa lama aku berkutat dengan pekerjaanku, tiba-tiba kudengar bunyi motor Mas Khalid di sebelah rumah. Seperti biasa, aku segera melesat keluar melalui pintu dapur untuk menyambut. Membantunya membereskan wadah-wadah dan sisa dagangan yang mungkin belum terjual. Karena memang kondisi belum stabil.

Setelah membantu Mas Khalid dan membuatkannya kopi, aku segera ke kamar mandi untuk buang air kecil. Dan setelahnya, segera ke kamar. Naik ke ranjang. Berbaring miring sembari memeluk guling.

Tapi, belum juga terlelap, kudengar bunyi kenop pintu. Aku hanya menoleh beberapa saat, lalu kembali ke posisiku lagi, menghadap tembok. Enggak terlalu menghiraukan suamiku, karena sebenarnya aku berniat buat tidur.

Mas Khalid masuk kamar. Dia membuka pintu seraya melepas kopyah dan meletakkannya di meja. Setelah sebelumnya menutup pintu dengan baik.

Sejak kehamilanku ini, aku memang bertekad untuk hidup lebih sehat. Tidur lebih cepat, makan sehat, dan menjaga kestabilan emosi. Meskipun yang terakhir sulit banget buat kuusahakan.

"Kamu belum tidur, kan, Nur?"

Mendengar pertanyaan Mas Khalid, aku berbalik. Kulihat Mas Khalid berganti pakaian dengan kaos oblong putih tipis dan celana katun batik.

"Belum. Ada apa, Mas?" Aku membuka mata dengan malas-malasan.

Suamiku melangkah mendekati ranjang, lantas duduk di bibir ranjang dengan posisi sedikit miring. "Hari Minggu, Adam mau datang lagi sama istri dan anaknya. Dia akan berangkat jam sembilan pagi, katanya. Mau nanyain soal kerja sama yang kemarin dia tawarkan."

"Hmmm ..." Aku hanya menjawab sekenanya. Tak beranjak sedikit pun. Tetap dengan posisi berbaring miring.

"Aku udah bersedia memenuhi keinginanmu. Apa kamu tetap enggak setuju dengan rencana ini?" Mas Khalid menenglengkan kepala, berusaha menangkap wajahku yang sedikit tersembunyi di balik guling.

"Kita tidur aja, yuk, Mas! Besok aja jawabannya setelah aku melakukan istikharah. Aku mulai ragu antara menolak tawaran ini atau menyetujuinya, setelah Mas Khalid bersedia memenuhi keinginanku." Aku kembali memejam.

"Alhamdulillah ... aku benar-benar melakukan ini demi kita, kok, Nur." Suara Mas Khalid begitu lirih. Dia sedikit menunduk. Aku mengintip dengan sedikit membuka mata setelah mendengar suaranya.

Ah, aku jadi enggak tega melihat suamiku begini.

"Mas, apa bener Mas Khalid sayang sama aku?" Aku membuka penuh mataku. Beranjak dari posisiku, dan mencoba duduk. Aku benar-benar ingin hatiku ini tenang dan berhenti cemburu tak jelas.

Mas Khalid menghela napas dalam, lantas mengembuskannya sembari mendongak dan menoleh padaku. "Aku enggak ingin kehilangan kamu, Nur. Meskipun kamu suka ngambek enggak jelas. Tapi ... yang jelas perasaanku masih berbeda."

"Apa karena bayi ini atau memang karena aku?"

"Kalau memang hanya karena bayi, mungkin kita sudah berpisah sejak aku mengakui aibku kala itu." Mas Khalid menatap mataku dalam banget. Aku membalas tatapannya, mencoba mencari sesuatu di sana. Sesuatu yang bisa membuatku yakin dan tetap teguh bersabar membersamai suamiku ini.

***

Hal yang kusyukuri. Mas Khalid benar-benar berusaha memenuhi keinginanku. Sore ini, bakda Ashar, kami berdua berkunjung ke rumah Lek Narto, Kakak lelaki ibu. Sengaja mau menanyakan tentang bapak. Dan kami pamit sama ibu dengan alasan ingin meminjam mobil buat kontrol ke dokter kandungan Minggu depan.

Lek Narto mempersilakan kami untuk duduk di ruang tamu. Kami berbasa-basi sebentar, lalu mulai mengutarakan maksud kedatangan kami padanya. Bisa dipastikan, Lek Narto sedikit kaget. Dia enggak mengira bahwa setelah sekian lama, Mas Khalid bakal menanyakan kembali tentang bapak.

Lek Narto menghela napas dalam. Melemparkan pandangannya ke lantai. "Ya, memang endak seharusnya kamu melupakan tentang bapakmu, Le. Mau seperti apa pun dia itu bapakmu. Hanya saja, Aminah yang terlalu keras kepala. Sama sekali endak mau menjalin silaturahmi sama dia."

"Maksud Pak Lek pripun?"

"Mungkin ibumu memang terluka. Pak Lek, ya, endak menyalahkan. Tapi, ya endak membenarkan. Toh, Darmono, bapakmu itu, tetap masih berusaha bertemu kalian setelah perpisahan mereka. Dia juga masih berkirim uang. Tapi, ibumu menolak. Jadi, Pak Lek endak berani lagi ngasih uang itu. Lalu segera ngomong sama Darmono biar endak ngirim lagi. Ibumu memang keras kepala kalau soal ini."

Lek Narto terus saja bercerita tentang bapak yang ternyata tak benar-benar meninggalkan Mas Khalid dan ibu. Bapak masih bertanggung jawab. Hanya saja, ibu terluka banget dan merasa tertipu sama pernikahan mereka.

Ibu menikah sama bapak di usia yang menurut orang kampung, zaman dulu, sudah matang banget. Dua puluh empat tahun. Ibu menikah sama bapak dengan pernikahan sirri. Mereka juga menikah atas hasil perjodohan. Seminggu setelah menikah, bapak pamit dengan alasan bekerja di Jember. Bapak pulang beberapa minggu sekali. Dan itu berlangsung selama beberapa tahun.

Dan setelah ibu hamil, keluarga ibu mulai menuntut bapak untuk segera mengurus surat nikah ke KUA. Tapi, bapak enggak kunjung mengurusnya. Hingga Mas Khalid lahir, bapak tetap enggak mengurusnya.

Dan, akhirnya, suatu kebenaran terungkap. Ternyata bapak sudah memiliki istri. Hanya saja, istri bapak enggak bisa memberikan keturunan. Ibu ternyata adalah istri kedua bapak.

Ibu sangat terpukul dengan kenyataan ini. Bahkan, sempat hampir gila, menurut istilah Lek Narto. Kalau menurutku, sih, mungkin saja ibu mengalami depresi berat kala itu.

Dan sejak saat itu, ibu enggak mau sama sekali untuk ketemu sama bapak. Selalu menangis dan bahkan mengamuk parah kalau melihat bapak datang.

Kami mendengar cerita Lek Narto dengan saksama. Dan akhirnya Lek Narto memberikan sebuah alamat. Yang meskipun enggak lengkap, tapi masih mungkin kami cari. Toh, bapak merupakan putra salah seorang saudagar di kampungnya. Jadi, kemungkinan bakal lebih mudah dicari.

Mas Khalid tampak sedikit shock dan tertekan mendengar cerita Lek Narto. Aku yakin, kini perasaannya sudah bukan dendam lagi. Tapi, berganti dengan rasa lain. Entah apa. Aku enggak bisa menebaknya.

Meniti kasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang