40. Nur

520 65 0
                                    

Aku enggak bisa menahan kantuk. Hari ini benar-benar melelahkan. Meski berusaha terus terjaga, tapi beberapa kali aku tertidur. Ini membuat kepalaku terantuk-antuk. Dan tiap kali terantuk, aku bakal kaget lalu berusaha berkedip-kedip dan kembali menahan kantuk. Aku menguap beberapa kali, tapi tetap berusaha kutahan. Biar enggak kelihatan ngantuk.

Kulirik jam digital pada dashboard, sudah jam sepuluh malam lewat. Mungkin karena memang hampir dua hari ini adalah hari yang cukup padat, membuatku sengantuk ini.

Kami meninggalkan rumah bapak sekitar lebih dari satu jam yang lalu. Sebenarnya, berat rasa hati ini untuk pulang. Dan pastinya Mas Khalid juga. Kentara banget kalau dia enggak pingin pulang. Bahkan sebenarnya, bapak meminta agar kami mau menginap barang semalam. Tapi, karena besok kami mengajar, dan takut membuat ibu curiga, maka mau tak mau, kami harus tetap pulang.

Mas Khalid berjanji, akan datang lagi secepatnya. Bahkan, dia akan rajin mengunjungi bapak, entah bagaimana caranya, dia akan berusaha untuk bisa datang kembali ke Jember.

"Tidurlah, Nur!" Suara Mas Khalid mengangetkanku. Apalagi, tiba-tiba saja tangan kirinya meraih telapak tanganku. Lalu mengusapnya dengan ibu jari beberapa kali.

Deg ...

Untuk sepersekian menit, ngantukku tiba-tiba hilang. Aneh saja. Mas Khalid bersikap enggak biasa. Bahkan menurutku, nada suaranya berbeda. Aku jadi deg degan. Kayak pertama kali mendengar suaranya pas mau melamarku dulu.

Aku menoleh, menatapnya dari samping. Dia tetap fokus mengemudi. Tapi, tangannya dibiarkan berlama-lama memegang tanganku.

Duh, kenapa aku jadi salting sama suami sendiri? Kami juga bukan pengantin baru, kan.

"A-aku enggak ng-ngantuk Mas." Tuh, kan, aku malah gagap begini. Plus, pakai acara bohong enggak ngantuk. Hadduh, kenapa jadi kayak orang bego begini?

Mas Khalid mengulum senyum. Lewat penerangan jalan yang tak seberapa, aku masih bisa melihat wajahnya cukup jelas. "Kamu itu udah terantuk-antuk bolak-balik, tauk. Masih ngeles dan ngomong enggak ngantuk."

Mas Khalid melepas genggamannya, lantas menghidupkan pendingin mobil. Sekarang, tangan kirinya berganti memegang kemudi. Sementara tangan kanannya menutup jendela mobil yang tadi terbuka.

Sebenarnya, aku yang kurang suka pakai pendingin mobil. Soalnya, aku suka banget memperhatikan jalanan lewat jendela yang terbuka.

"Aku mau nemenin Mas mengemudi." Aku beralasan agar Mas Khalid enggak menyuruhku tidur lagi.

"Istirahat saja, Nur! Ingat kandunganmu! Kamu sudah enggak hidup sendirian, apa-apa kini berdua."

Oh ... kenapa aku jadi lupa kalau aku harus menjaga kesehatanku dengan baik demi janin di rahimku ini?Saking khawatirnya sama suamiku.

"I-iya, deh."

Aku membenahi posisi kursi. Sedikit menurunkan sandarannya. Lalu, menyamankan posisi dudukku. Dan karena udara sejuk dari pendingin ruangan, membuatku semakin mengantuk dan akhirnya terlelap.

***

"Nur ... Bangun, Sayang!" Belaian halus di pipi dan suara lembut suamiku, membawaku kembali terbangun perlahan.

Apa-apaan suamiku ini? Kenapa sejak pulang dari rumah bapak, dia jadi bertingkah begini? Suaranya berbeda, pun caranya membangunkanku juga beda. Tapi, apa karena aku saja yang Ge Er, ya? Ah, mungkin cuma pengaruh hormon kehamilan.

Aku menguap, menutup mulut dengan sebelah tangan. Menggeliat perlahan. Lalu, berusaha duduk tegak, dan menoleh ke arah suami yang masih menatapku.

"Turun, yuk! Udah nyampe." Mas Khalid Khalid masih duduk di kursi kemudi. Mesin belum dimatikan. Tapi, lampu mobil sudah mati.

Aku memutar tubuh sedikit ke belakang, mengintip kursi penumpang belakang. Melihat tas perjalanan kami.

"Kamu turun aja! Tasnya biar aku yang bawa."

Aku menoleh kepada Mas Khalid. Mengangguk dan memutar tubuh. Membuka pintu mobil.

Aku turun dari mobil, melangkah menuju teras setelah menutupnya dengan baik. Mengetuk pintu pelan. Dan, enggak perlu menunggu lama, ternyata ibu sudah membukakan pintu untukku.

Segera saja kuraih punggung tangan ibu dan menciumnya.

Ibu membelai punggung kepalaku. Melantunkan selawat. Lalu, aku kembali berdiri tegak.

"Alhamdulillah. Kalian sampai dengan selamat. Sudah malam, kamu cepat istirahat, gih!" Ibu mundur selangkah, memberiku jalan.

Aku berjalan melewati ibu, menuju kamar. Sementara itu, ibu meneruskan langkah keluar rumah, menyambut suamiku yang sepertinya masih sibuk menurunkan barang-barang.

***

Hari ini, aku kembali dibangunkan Mas Khalid. Aku membuka mata dan melihat suamiku duduk di ujung ranjang, di sebelah kakiku.

Dan betapa terkejutnya aku, pas mengetahui bahwa Subuh sudah tiba. Aku, semalam, tidur nyenyak banget.

"Loh, Mas. Kok enggak bangunin aku pas ke pasar?" Aku seketika terduduk.

"Ke pasar ngapain? Apa enggak capek? Biar saja! Aku libur lagi buat nanti. Aku pingin istirahat untuk hari ini."

"Oh ... kupikir Mas Khalid langsung ke pasar." Aku nyengir kuda. Dan, kulihat suamiku mengulum senyum.

"Sudah, segera mandi, sana! Kutunggu di musala, ya?" Mas Khalid berdiri. Dan aku cuma mengangguk.

Suamiku melangkah, keluar kamar meninggalkanku yang mulai beringsut dari ranjang.

Meniti kasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang