24. Nur

502 58 1
                                    

Kuusapkan kedua telapak tangan ke wajah. Menyeka air mata yang barusan cukup deras mengalir dengan punggung tangan berbalut mukenah. Beberapa santri putri tampak sedikit menunduk pas berjalan di sekitarku. Jamaah salat Dzuhur baru saja usai dilaksanakan. Mas Khalid tadi pamit pas adzan Dzuhur berkumandang. Dia bilang mau salat di Masjid dekat pesantren.

Aku membuka mukenah perlahan. Terus, segera memakai hijabku lagi. Memang penghuni asrama ini semua adalah perempuan. Karena pesantren ini khusus perempuan saja. Aku cuma berusaha menjaga muru'ah. Soalnya pasti ada saja adik-adik muridku yang masih nyantri di sini. Baru setahunan lebih aku boyongan dari pesantren ini, setelah dua tahun menjadi guru bantu.

Kulipat mukenah. Dan, sekonyong-konyong agak tersentak kaget pas kurasakan ada yang menjulurkan tangan, hendak bersalaman denganku. Aku menoleh gegas. Dua santriwati tersenyum kepadaku. Mereka agak menunduk. "Assalamualaikum, Ustadzah."

"Waalaikumsalam," aku menyambut uluran tangan mereka dan bersalaman. "Kaifa Halukuma?" aku berbasa-basi sedikit.

"Alhamdulillah, Khair." mereka menjawab hampir bersamaan.

"Ustadzah sampun ke ndalem?" salah satu dari mereka bertanya.

"Belum. Saya baru saja masuk asrama. Sejak tadi di balai tamu depan. Bu Nyai ada, ya?"

"Ada. Jam dua mau ada undangan. Jadi, mungkin sebelumnya bisa ditunggu di depan ruang tamu perempuan."

"Oh, terima kasih informasinya."

Keduanya berpamitan, lalu meninggalkanku yang sekarang melipat mukenah lebih cepat dan memasukkannya ke ransel yang kusandarkan pada tembok di sebelahku.

Kuusap layar HP dan membuka kuncinya. Masih jam dua belas lewat beberapa menit. Bisa kupakai buat mengaji di Maqbarah Masyayikh--kompleks pemakaman husus keluarga pengasuh--yang ada di belakang musalla ini.

Aku beranjak gegas dari tempatku. Melangkah ke kamar guru, di mana masih ada beberapa rekan pendidik yang kukenal. Menitipkan tas dan menyapa mereka sebentar. Lalu, cepat-cepat menuju Maqbarah untuk mengaji.

Untuk beberapa puluh menit, aku larut dalam bacaan Al Quran. Selanjutnya, kulangitkan doa, ber-tawasul kepada guru-guruku. Orangtua dalam keilmuan. Berharap Allah memberikan jalan terbaik bagi rumah tangga kami ini. Terutama calon bayi yang kini berada di rahimku.

Ah ... calon bayi. Kemarin, saat aku melakukan tes. Hatiku bahagia banget. Akhirnya penantian kami membuahkan hasil. Dan waktu itu, yang kuingat pertama kali adalah ibu. Tapi, memang aku sengaja enggak mengabari Mas Khalid dan ibu soal ini. Aku ingin bikin kejutan sama suamiku minggu depan, pas hari kelahirannya. Tapi ... malah kejadiannya begini.

Terdengar suara para santri yang sedang menghadiri kelas siang. Mereka membaca Nadham sambil menunggu pengajar tiba. Maqbarah Masyayikh ini memang berada di belakang musala, di sebelah  ruang kelas diniyah.

Aku enggak terlalu menghiraukan suara-suara itu. Karena kini aku sibuk dengan tasbih dan untaian dzikir yang terus kubaca buat mengisi waktu hingga setengah dua nanti. Tapi, entah mengapa, pas kudengar suara pengajar yang menjelaskan sebuah hadits, bikin aku enggak bisa berkonsentrasi sama dzikirku. Aku malah teralihkan fokus ke suara ustadzah itu.

"Nah ... Jelas, kan, kita itu tak boleh mencela dosa orang lain. Dan mencela itu, bukan hanya dengan ucapan gamblang. Bahkan, bergumam dalam hati dengan penuh kebencian pun, bisa membuat kita melakukan hal yang serupa ...."

Ustadzah itu terus saja menerangkan. Sekarang pikiranku teringat sama artikel yang sempat kubaca tentang kebencian. Bagaimana orang yang membenci sesuatu dianggap mencintai. Dan antara benci dan cinta, memiliki frekuensi getaran yang sama. Yaitu getaran menarik. Berdoa. Meminta. Dan getaran itu cuma bisa dinetralkan dengan keikhlasan. Menerima.

Oh, Tuhan ... aku tambah resah saja. Bagaimana dengan calon bayiku? Aku jijik banget sama kejadian yang menimpa Mas Khalid kemarin. Kedatangan Adam seketika membuat perasaanku berubah. Ini getaran serupa kebencian. Aku enggak mau buah hati kami mengalami hal yang sama. Tapi ... aku enggak tahu harus bagaimana. Karena sejujurnya, aku masih belum bisa menerima. Aku masih sakit kalau mengingat hal itu.

Apakah aku harus menjauh saja dari Mas Khalid sebelum memutuskan apakah harus mempertahankan rumah tangga ini atau harus menyerah demi buah hati kami? Tapi ke mana? Kalau ke rumah, jelas kedua orangtuaku akan curiga. Apalagi kami mengajar di tempat yang sama. Aku masih bisa bertemu dengannya.

Atau ... aku bermukim di sini saja, ya? Khidmah kepada Bu Nyai untuk beberapa bulan hingga masa persalinanku dekat atau keputusan telah kuambil. Tapi, aku, kan, masih harus mengajar. Untuk kuliah, aku bisa mengajukan cuti. Ah ... aku bakal mengajukan pengunduran diri saja ke pihak yayasan. Demi calon bayiku, apa saja bisa kulakukan.

Untuk beberapa saat, alih-alih berdzikir, aku malah mematung. Pikiranku sibuk bermonolog. Dan, pas terdengar bel pergantian jam belajar, aku tersentak kaget.

Kurogoh kantong gamis katun cokelatku. Mengambil HP untuk memeriksa jam. Sudah jam satu lewat lima belas menit.

Segera saja, aku menyudahi kegiatan di maqbarah. Beranjak untuk selanjutnya menunggu sampai pintu ndalem terbuka. Dan sowan kepada Bu Nyai.

***

Meniti kasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang