17. Nur

539 56 0
                                    

Mas khalid tiba-tiba turun dari ranjang, duduk bersimpuh sambil menunduk, menghadap padaku yang masih berada di ranjang.

Aku kaget banget dibuatnya. Dan itu bikin aku seketika ikut turun, lalu duduk di sampingnya. "Mas Khalid ngapain? Jangan begini, Mas!"

"Nur ... aku enggak ingin menyakitimu. Aku ... aku merasa sangat berdosa setiap kali melihatmu bersedih. Aku enggak bisa berhenti mengutuk diri sendiri."

Oh, Tuhan ... begitu berat ujian suamiku ini. Dia sudah tersiksa banget dengan yang terjadi sama dia. Bahkan, dia sendiri pun enggak mau menerima takdirnya.

"Mas! Mas Khalid jangan berkata yang enggak-enggak!" Aku langsung memeluknya dari samping. Kepalanya bersandar di dadaku. Kedua tangannya mencengkeram erat lenganku.

Air matanya tumpah malam ini. Pun denganku. Aku enggak bisa lagi menahan rasa sesak di dada. Ikut merasakan perih yang dirasa suamiku ini.

Aku menyeka air mata dari pipinya. Mencium pucuk kepalanya. Hatiku enggak mau melihatnya begini. Seperti Mas Khalid yang enggak mau melihatku menangis, aku pun kesakitan melihatnya menderita begini.

Mas Khalid memutar tubuhnya. Kini dia menghadap kepadaku. Kedua tangannya melingkar di pinggang. Sementara kepalanya berada di pangkuan. Aku masih merasakan tubuhnya yang bergetar.

"Untuk malam ini, lebih baik kita tidur saja, ya? Besok Mas Khalid mau ke pasar, kan? Biar enggak capek." Aku menyugar rambutnya pelan.

Pelan-pelan, Mas Khalid mengangkat kepala. Lalu, duduk menghadap padaku. Dia menatapku lekat-lekat. "Selain ibu, kamu adalah satu-satunya wanita yang membuatku takut kehilangan, Nur. Dengan keadaanku yang seperti ini, kamu mau menerimaku dengan tangan terbuka. Menjaga aibku. Meskipun cintaku mungkin berbeda, tapi, Nur ... jangan tinggalkan aku!"

"Mas Khalid jangan berpikir macam-macam! Allah maha baik, Mas. Selagi kita berdoa dan terus istikamah berikhtiar, Allah pasti mengabulkan." Aku menyeka air mata yang membasahi pipi. Oh, Tuhan ... dadaku masih terasa sesak banget.

Aku berdiri, lalu membimbing suami malangku ini buat naik ke ranjang. "Kita istirahat, yuk, Mas!"

Dia beranjak dengan pandangan yang enggak beralih sedikit pun dariku. Kubantu dia berbaring. Lalu, aku pun naik dan tidur di sebelahnya.

Dan, tiba-tiba tangannya meraih telapak tanganku. "Temani aku, ya, Nur? Aku mohon."

Aku membalas genggaman tangannya. Jujur saja, hatiku deg degan enggak karuan. Rasaku dan rasanya mungkin berbeda. Tapi, getarannya bisa jadi selaras. Getaran cinta.

***

Subuh ini, Mas Khalid yang membangunkanku. Biasanya, aku yang bangun lebih dulu. Tapi, mungkin karena dia sudah bisa tidur lebih dini, bikin dia bisa bangun lebih pagi.

Kejadian semalam, memang diawali oleh sedikit perdebatan karena salah paham. Tapi, hatiku menghangat pas akhirnya kami tertidur dengan berpegangan tangan. Aku merasakan cinta di antara kami.

Aku segera beranjak dan bersuci. Dan, sedikit kaget karena melihat tungku yang menyala dengan dua panci besar di atasnya. Sementara itu, di bale-bale kulihat tumpukan belanjaan. Ternyata, Mas Khalid sudah pulang dari pasar. Aku enggak menyangka kalau dia akan berangkat sepagi ini. Kupikir dia akan berangkat habis Subuh.

Selesai bersuci, aku lanjut ke musala setelah sebelumnya berganti pakaian. Tentu saja, aku lagi-lagi mandi keramas. Meskipun dingin banget dan ... enggak wajib, sih, tapi aku selalu melakukannya. Aku enggak mau ibu curiga dan berpikiran macam-macam.

Ibu sudah siap dengan mukenanya. Memutar tasbih menghadap kiblat. Sementara Mas Khalid masih di kamar mandi. Dia bersuci setelah aku selesai mandi.

Kami melaksanakan salat berjamaah. Dan kali ini, ketika kami bersalaman seusai salat, kurasakan ciuman Mas Khalid di pucuk kepalaku, sedikit berbeda. Dia menciumku sedikit lebih lama. Bahkan, kurasakan embusan napasnya. Dan sepertinya dia juga membaca doa. Padahal biasanya, dia cuma menyentuhkan hidungnya pada pucuk kepalaku. Sebentar banget.

Dari musala, aku langsung ke kamar untuk mempersiapkan segala hal yang harus kubawa ke sekolah. Mas Khalid masuk bersama denganku. Dia hanya membuka kopyahnya, lalu memutar tubuh bermaksud membuka pintu.

"Mas, mau ke mana?" Aku menatapnya heran.

Dia menoleh padaku seraya tersenyum. "Aku masih mau nyiapin dagangan buat nanti, Nur. Tinggal dikit lagi."

"Ehm ... besok, bangunin aku kalau Mas mau ke pasar, ya? Aku juga pingin bantu-bantu."

"Hu'um. Tadi enggak aku bangunin, soalnya kamu tidurnya nyenyak banget. Aku enggak tega."

Aku tersenyum padanya, dan suamiku meneruskan langkah keluar kamar, menuju dapur.

Usai menyiapkan semua. Kami bersiap berangkat mengajar. Aku mencium tangan ibu, berpamitan. Ini hari pertama kami beraktifitas rutin lagi, setelah cuti lebih dari seminggu. Mas Khalid sudah menunggu di depan pintu dapur. Di motor dengan mesin yang sudah dinyalakan.

Ibu mengelus pucuk kepalaku. Bibirnya berkomat-kamit, melantunkan doa. Itulah kebiasaan ibu yang kutahu setiap kali kami pamit keluar rumah. Mungkin ini yang selalu bikin wajahnya kelihatan semringah dan berseri-seri. Kedekatan ibu dengan penciptanya.

Ibu adalah wanita yang sangat religius. Salat selalu di awal waktu. Melaksanakan dzikir rutin dan membaca Al Quran hampir selalu dilakukan tiap selesai salat. Istikamah melaksanakan beberapa salat sunnah, seperti salat Dhuha dan Qiyamul Lail. Bahkan, pas sibuk seperti tadi pun, ibu masih menyempatkan salat malam.

Sejenak, aku bertanya-tanya, orang-orang baik seperti ibu dan Mas Khalid, mengapa harus mengalami ujian yang berat banget? Aku tahu sedikit kisah ibu dan bapak Mas Khalid. Dan sekarang, Mas Khalid malah mengalami hal semacam ini.

Sebenarnya, aku sering mendengar penjelasan bahwa semakin hamba itu disayang Tuhan, maka semakin mudah hidupnya. Dan cara agar disayang adalah dengan menjadi orang baik, hamba yang patuh. Tapi ... kenapa enggak jarang kulihat orang-orang baik yang menderita. Bukankah ibu pasti selalu berdoa untuk kebaikan putranya? Lalu, kenapa kejadiannya begini?

Aku tak bisa merasa puas hanya dengan jawaban "Kesakitan adalah ladang pahala". Aku tahu, sangat-sangat tahu. Tapi, aku tetap ingin tahu alasan yang lebih menangkan hati. Malas banget kalau harus menerima tanpa tahu penjelasannya.

Biarlah, semoga suatu saat nanti kami bisa mendapat jawabannya. Dan ... semoga juga Mas Khalid bisa keluar dari semua ini.

Aku naik ke motor, membonceng pada Mas Khalid. Tanganku melingkar erat di pinggangnya. Bagaimana pun keadaan rumah tangga kami, aku akan selalu berusaha menampakkan yang terbaik. Semoga saja, yang kulakukan ini menjadi perantara dibukanya pengabulan doa untuk suamiku. Terlebih lagi, jika Allah berkenan memberikan kami keturunan suatu hari nanti.

Meniti kasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang