"Parkiran buat guru sebelah mana, Mas?" Pas sampai di depan gerbang sekolah, aku turun dari motor, lalu menoleh ke Mas Khalid.
"Itu, yang ada kanopinya." Mas Khalid yang masih duduk di jok motor dan belum mematikan mesin, menunjuk ke arah kanopi dengan atap fiber biru yang ada di samping sekolah. Sedikit agak ke dalam.
"Oh. Makasih, Mas." Aku melangkah lagi sambil menuntun motor.
"Nur, tungguin!" Panggilan Mas Khalid bikin aku menghentikan langkah dan menoleh lagi ke arahnya. "Barengan."
"Oh ... Ayo!"
Kami jalan lagi. Dan kini barengan, meski nggak bener-bener beriringan. Dan pastinya sedikit basa-basi. Dia menanyakan kabarku dan kedua orangtuaku. Hanya basa-basi biasa saja.
Sebenarnya, aku sempat kaget tadi pas ketemu dia di depan rumah. Bukankab rumahnya itu ada di arah berseberangan sama rumahku? Rumah Mas Khalid itu sekitar satu kilometer meter di barat sekolah. Sementara rumahku sedikit lebih dekat, hanya tujuh ratusan meter, tapi ke arah timur dari MI ini.
Ternyata dia habis beli kartu di toko pulsa depan rumah. Kayaknya, beli kartu perdana, adalah acara penting banget buat dia. Sampai nggak bisa ditunda lagi. Pagi banget ….
Aku memarkir motor sebelahan sama motor bebek Mas Khalid. Lalu jalan bareng lagi ke kantor sekolah.
"Kamu ngajar apa di sini, Nur?" Mas Khalid agak menunduk menatapku sambil berjalan.
"Bahasa Arab, Mas. Soalnya masih sukwan, ya. Nyambi kuliah aku, Mas. Ngajarnya juga kalau pas ada pelajaran aja."
"Kuliah di mana, Nur?"
"Di UT. Ambil beasiswa guru MI. Lumayan, Mas. Daripada lu manyun." Aku hampiir saja ngakak, begitu juga Mas Khalid. Haish … aku, kan, guru di sini. Sebelum banyak siswa jadi saksi sikapku yang rada slengean ini, aku harus anteng dan kalem lagi.
"Kamu itu masih sama, ya, Nur. Kocak." Mas Khalid masih dengan senyumnya yang manis banget.
Eh, apaan, sih aku? Sadar, Nur! Sadar! Mas Khalid memang cakep. Tapi jangan mikir macam-macam, deh! Cewek itu harus kalem, jangan barbar! Cukuplah barbar sikap sehari-hari. Bukannya nyosor sama laki. Lagian, perempuan kok enggak ghadul bashar, sih?
Eh, ngomong-ngomong masalah Mas Khalid yang cakep. Dia tuh, emang good looking, dan cakepnya, tuh, smooth. Mirip susu cokelat gurih.
Gimana, sih, menjelaskannya, ya? Kulitnya cerah, tapi bukan yang putih banget. Plus bersih juga. Lalu, dia tuh tinggi juga. Aku yang tingginya 160 cm, hanya sebahunya pas jejeran tadi. Penampilannya rapi. Wangi juga. Jarang-jarang ada cowok yang kayak begini di kampung ini. Biasanya, kan, cowok itu cuek banget sama penampilan. Bahkan, kebanyakan cenderung rada jorok. Tapi, Mas Khalid beda.
Selain penampilan yang rapi dan wangi. Mas Khalid juga cakep meski enggak punya garis-garis wajah tegas. Hidungnya enggak mancung-mancung amat. Biasa saja. Bibirnya sedang. Matanya juga biasa saja. Enggak tajam, ya enggak sipit. Tapi, ketika dipadukan, semua jadinya pas banget. Betah aja menikmatinya..
Plak!
Toyor imajiner buat otak nakal, nih.
Dan penampilan oke itu, ditambah dengan sikapnya yang baik. Baik banget malah. Sejak SD, cuma dia anak cowok yang enggak pernah menganggu anak-anak cewek. Dia baik banget. Pinter juga. Bahkan, suka nolong teman-teman cewek.
Tapi, aku enggak termasuk anak cewek yang ditolongin. Memang nggak ada anak cowok yang berani gangguin aku, sih. Selain karena tukang ngadu, aku juga nggak segan-segan menantang mereka berantem. Nur, gitu, loh.
Kami berbelok, masuk ruang guru. Mas Khalid seketika mengucap salam yang segera dijawab sama beberapa orang yang ada di ruangan. Beberapa menoleh ke arah kami. Tentu saja, mereka kayak rada heran dengan kedatanganku. Wajah baru yang mungkin saja asing banget bagi mereka.
Sontak saja, aku mengangguk. Memberi tanda hormat sama beberapa orang yang ... ternyata umurnya kebanyakan jauh lebih tua dibanding aku. Kayaknya rata-rata sudah di atas tiga puluhan. Bahkan mungkin empat puluh. Aku jadi paling bontot di sini.
Sebagai junior, tanpa dikomando, aku segera saja melangkah ke meja para pengajar itu satu per satu. Mengenalkan diri sebagai Nur Rohimah. Guru sukwan baru yang butuh perhatian. Eh ... bimbingan maksudnya. Sementara itu, kulihat Mas Khalid lanjut melangkah ke mejanya.
Dan seusai acara perkenalan serta ramah-tamah yang pastinya penuh basa-basi, aku segera mendekati meja Mas Khalid.
"Aku nitip tas di mejanya, boleh?" Aku berdiri di sebelah meja Mas Khalid.
Tentu saja, Mas Khalid yang lagi sibuk membongkar HP, mendongak seketika, sambil sedikit bengong menatapku aku.
"Oh? Iya. Boleh, boleh. kamu belum ada meja, ya?"
"Iya. Sebentar aja. Soalnya mau ke kantor kepala sekolah."
Karena kayaknya udah diizini, tanpa babibu lagi, segera kutaruh tas di meja Mas Khalid. Sembarangan saja. Lalu, segera ngacir ke kantor kepala sekolah. Meski sejenak lalu aku melihat ekspresi kaget dari Mas Khalid karena naruh tas seenaknya aja.
Setelah selesai menyapa Bu Kepsek di kantornya, aku segera ke ruang TU buat mengurus segala administrasi. Minta jadwal mengajar dan segala tetek bengek yang harus kulakukan.
Setelah menyelesaikan semua urusan, aku segera balik ke kantor guru. Dan ternyata, setelah bertahun-tahun kenal sama Mas Khalid, baru kali ini aku benar-benar mendapat pertolongan darinya. Merasakan kebaikannya.
"Nur, tas kamu udah kutaruh di meja itu." Mas Khalid menunjuk ke arah meja yang berjarak dua meja dari mejanya. Meja yang berada di sebelah guru muda cantik yang seketika tersenyum pas aku menoleh ke arah meja yang ditunjuk Mas Khalid.
"Eh? Aku udah ada meja?" Aku rada bengong setelah menoleh lagi ke arah Mas Khalid.
"Iya. Tadi kusiapkan. Kuambil di gudang. Biar kamu bisa segera duduk." Mas Khalid menaikkan kedua alis.
"Wah, makasih banget, Mas." Aku tersenyum sok manis sama Mas Khalid. Dan tentu saja pria baik ini membalas dengan senyum tipis yang tak kalah manis.
Aku segera berbalik, melangkah ke meja yang sudah disiapkan buatku. Tak lupa berkenalan dan beramah-tamah sama Bu Guru cantik yang mejanya bersebelahan denganku. Soalnya, tadi pas aku datang, Bu Guru Cantik ini belum datang.
Hanya selang tak sampai lima menit, bel masuk berbunyi. Aku yang harus masuk ke kelas tiga, segera saja berdiri dari kursi. Lalu jalan rada cepat buat segera masuk kelas.
Ah, permulaan yang menyenangkan banget buat aku. Rekan-rekan sesama pengajar yang cukup ramah. Senior cakep dan baik seperti Mas Khalid. Semuanya almost perfect.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meniti kasih
RomanceKhalid, lelaki penyuka sesama jenis yang ingin menjauhi maksiat dengan memutuskan untuk sendiri. Hingga, suatu kejadian membuatnya menikahi Nur, rekan kerjanya. Awalnya, Khalid bertekad menyembunyikan orientasi seksualnya, ingin membahagiakan Nur. T...