28. Nur

476 54 2
                                    

Mas Khalid menyerahkan dua kantung plastik kecil berisi minuman susu. Dia tersenyum lebar banget, menunjukkan deretan giginya yang rata. Aku cuma tersenyum simpul. Memutar bola mata sekali dan menjatuhkan pandangan ke samping.

Aku paham maksud suamiku ini. Dia enggak mau aku terus menunjukkan ekspresi ngambek. Karena itu, dia merayu dengan es boba biar aku kembali ceria.

Detik kemudian, aku menoleh dan langsung nyengir kuda ke arah suamiku itu, yang langsung sukses membuatnya tergelak.

"Nah ... gitu, dong. Senyum, Sayang! Yuk, kita balik ke sekolah!" Dia melangkah dan naik ke motor setelah menoyor pelan dahiku.

Aku mengaduh dan mengusap-usap dahiku. Meskipun toyorannya sama sekali enggak sakit, sih. "Rese banget."

Aku memutar badan, melangkah untuk kemudian membonceng. Tapi sebelumnya, kucubit dan sedikit kutarik agak keras hidung Mas Khalid. Balas dendam yang setimpal, kan?

Dan kami tergelak bersama. Berboncengan menuju sekolah.

Ah, andai dalam berumah tangga selalu berisi candaan dan perlakuan manis macam itu ... pasti suasana hatiku akan terus stabil. Tapi kenyataannya, rasa cemas dan cemburu tak jelas, masih acap kali menggangguku. Bahkan, tanpa ada pemantik sekali pun. Terkadang, aku masih ingin tahu rasanya dicintai suami seperti yang lain. Atau bahkan melihat suami berhasrat padaku dengan pandangan nakal.

Tapi, semua berusaha kudamaikan. Toh, Mas Khalid sangat bertanggung jawab sebagai suami. Meski aku sadar Mas Khalid kesulitan untuk tertarik padaku secara seksual, tapi aku tahu kalau dia berusaha keras.

Andai Mas Khalid mau mengerti dan mencoba menemui bapak ...

***

Adam datang sekitar jam setengah tiga sore. Pas Mas Khalid lagi memeriksa barang jualan yang bakal dibawanya setelah ini. Aku yang sedang di ruang tengah, cepat-cepat keluar buat mempersilakannya masuk. 

Dan tentu saja, mak deg rasanya. Hatiku mendadak enggak nyaman melihat kedatangan lelaki ini. Padahal, dia enggak tahu menahu tentang perasaan Mas Khalid. Dia benar-benar menganggap Mas Khalid sebagai sahabat lama. Pun, dia itu teman baik yang mau membantu enggak pakai embel-embel ini itu.

Tapi, aku enggak mau memungkiri kalau cemburu banget sama Adam. Menyebalkan banget, rasa sakitnya dobel-dobel ketika harus cemburu sama lelaki. Kenapa aku harus saingan sama pejantan, oh, Tuhan?

Aku mempersilakan lelaki yang memang berwajah simpatik itu untuk duduk di ruang tamu. Sementara aku segera ke dapur untuk memberi tahu Mas Khalid dan membuat kopi.

Aku berpapasan dengan ibu ketika hendak ke dapur. "Tamunya siapa, Nduk?"

Aku mengentikan langkah. "Oh, teman SMA-nya Mas Khalid, Bu. Adam."

"Adam? Oh, yang suka main ke sini dulu itu, ya?" Ibu tersenyum senang.

Rupanya Adam memang akrab banget sama Mas Khalid. Sampai ibu saja langsung paham Adam yang mana.

"Inggih, mungkin." Aku tersenyum kecut.

"Ya, wis. Kamu bikinin kopi! Ibu tak ke depan. Wis lama endak ketemu anak itu." Ibu menepuk halus pundakku. Lalu melangkah, berlalu ke ruang tamu.

Tuh, kan, Adam ini akrab banget bukan cuma sama Mas Khalid, tapi sama ibu juga. Bikin dadaku makin sesak rasanya.

Aku meneruskan langkah ke dapur. Lantas berdiri di ambang pintu, memerhatikan Mas Khalid yang sedang sibuk menata bahan bakso dan mie pada keranjang di bale-bale.

"Mas, temenmu dateng tuh!" Aku bersedekap di ambang pintu. Mencebik dan menyentakkan kepala berisyarat ke ruang depan.

Mas Khalid yang sedari tadi menunduk, seketika mendongak. "Oh, iya. Udah kamu persilakan masuk, kan?"

"Udah." Nada suaraku ketus. Mau bagaimana lagi? Aku cemburu banget. Tapi ... kami memang membutuhkan bantuan Adam untuk saat ini.

Aku melangkah mendekati kompor. Meraih panci susu dan mengisinya dengan air yang kuambil dari ember di bawah meja kompor. Meletakkannya kembali di kompor dan menyalakannya.

Aku memutar tubuh, hendak mengambil cangkir di rak piring. Tapi, mendadak sedikit kaget pas kulihat Mas Khalid tenang-tenag saja melanjutkan pekerjaannya.

"Loh, kok masih di situ? Bukannya langsung ke depan nemuin tamunya." Aku menghentikan langkah sesaat.

Mas Khalid langsung menoleh sambil tersenyum tipis. "Ngelarin ini dulu. Tanggung."

Aku melanjutkan langkah. Mengambil dua cangkir. Lalu langsung menyiapkan kopi. Dan, setelah air mendidih dan menyeduh dua cangkir kopi itu, aku membawanya dengan nampan.

Dan, kulihat Mas Khalid baru menghentikan kegiatannya saat aku berjalan melewatinya. Oh, aku paham. Mas Khalid enggak mau menemui Adam sendirian. Mungkin saja dia enggak mau aku ngambek lagi. Bagus, deh kalau dia mau berusaha.

Aku tambah kaget lagi, pas kulihat ibu masih bertahan ngobrol sama si Adam. Tapi, aku berusaha bersikap normal. Jangan sampai ada yang curiga sama yang kurasakan ini!

Dan ibu seketika beranjak pas mengetahui kedatangan kami. Dia melangkah untuk masuk lagi ke ruang tengah.

Aku meletakkan dua cangkir kopi di meja, mempersilakannya untuk dinikmati. Lalu, cepat-cepat berbalik. Tapi, Mas Khalid menahanku untuk enggak kembali ke dalam. Dia menyuruhku duduk di sebelahnya. Beralasan kalau lebih baik aku paham prosesnya.

Ya ... aku tahu, sih, itu cuma alasan. Dia lagi-lagi, enggak mau aku ngambek.

Dan tentu saja, aku menurutinya. Duduk di sebelah suamiku. Ikutan nimbrung bersama mereka. Meskipun sebal dan gemes banget ngelihatin si Adam. Pingin kuusir rasanya. Aku benar-benar cemburu.

Adam langsung menunjukkan surat pengantar dari puskesmas. Lalu, dia juga membahas beberapa hal mengenai tes ini, yang katanya butuh waktu sekitar tiga harian.

Kami mendengarkannya dengan saksama. Dan aku tentu saja, beberapa kali melirik ke arah Mas Khalid, memperhatikan wajah dan ekspresinya.

Dan seusai membahas masalah tes lab buat bakso, Adam dan Mas Khalid mulai ngobrol santai. Ya ... meski aku cemburu dan agak merasa panas, tapi masak iya aku harus marah-marah dan menghalangi dua teman lama yang mau nostalgia?

Bahkan, Adam ini juga menarikku untuk larut dalam nostalgia mereka. Dia memang teman yang baik banget. Ramah, supel, dan respect sama lawan bicara.

"Khalid itu, ya, Mbak, pemalu banget dulu. Dia cupu. Makanya agak kaget juga dia bisa dapat istri kayak Mbak. Saya pikir, dia itu paling banter dijodohin." Adam tergelak.

"Eits ... rupanya masih dendam, ya, kamu, Dam. Malah buka aib lama sama istriku."

"Lah ... itu kan emang faktanya, Lid. Kalau bukan karena ada aku, kamu udah habis jadi bahan bullyan anak basket yang sok itu."

"Eh ... malah makin parah ..."

Keduanya tergelak dan larut dalam candaan. Dan kulihat mata Mas Khalid berbinar. Tapi ... aku enggak mau terlalu larut dalam cemburu enggak masuk akal ini. Aku malah sedikit berubah fokus sama cerita-cerita Adam.

Rupanya Adam ini sosok teman yang melindungi Mas Khalid. Teman yang dominan. Seperti sosok ayah bagi seorang anak. Oh ... pantes saja Mas Khalid suka.

Dan ... hal ini lagi-lagi membuatku ingin agar Mas Khalid mencoba berdamai dan memaafkan bapak. Sepertinya pangkal semua masalah ini adalah emosi ibu dan Mas Khalid sama bapak.

Meniti kasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang