Ponsel di saku kemejaku berdengung panjang, tanda panggilan masuk. Setelah sebelumnya beberapa kali kurasakan dengungan-dengungan pendek yang kuperkirakan merupakan notifikasi chat. Terpaksa, obrolanku dengan Adam harus terputus karena panggilan ini.
Segera kuraih ponsel dan memeriksa siapa gerangan yang telah menghubungi. Oh, Tuhan, ternyata istriku yang menelepon. Mengapa dia harus menelepon? Bukankah dia ada di ruang tengah bersama istri Adam?
Karena agak aneh jika ketahuan kalau yang menelepon adalah istriku, terpaksa kutolak panggilan itu, lalu segera memeriksa aplikasi obrolan. Dan benar saja, ternyata istriku telah mengirim beberapa chat yang isinya ajakan untuk pulang.
Sejenak, kulirik penunjuk jam di layar. Dan, oh, benar saja sudah lewat tengah hari. Aku terlalu asyik bercakap-cakap dengan Adam. Obrolan kami tentang usaha yang akan kami rintis ini, sungguh menjadi penggugah semangat bagiku. Berbagai bayangan indah kehidupanku dan keluarga kecilku, terpampang jelas dalam benak.
Bahkan, kini, kurasakan hal yang sedikit berbeda ketika bersama Adam. Rasa nyaman dan antusias itu memang masih ada, tak seluruhnya menghilang. Tapi, setiap kali membahas masalah bisnis kami, bayanganku tentang Nur dan calon buah hati kami, jauh lebih kuat daripada sekadar rasa senang ketika bersama Adam. Sepertinya, aku memang benar-benar mulai mencintai istriku dengan cara semestinya.
Tak hanya masalah warung baru yang rencananya akan kami buka di sekitar tengah kota, kami juga membicarakan pertemuanku dengan bapak. Dan hal itu menimbulkan sebuah ide baru dari Adam. Dia menyarankanku untuk mencoba mencari lokasi untuk membuka warung di daerah Jember. Dengan begitu, aku akan memiliki alasan kuat untuk bisa lebih sering mengunjungi bapak nantinya.
Dan kupikir, ide Adam sangat bagus. Tak hanya menjadi solusi masalah pribadiku saja, tapi juga menjadi peluang bisnis yang cemerlang. Aku akan mengabarkan ini kepada istriku. Dia pasti senang mendengar semua ini.
Aku kembali meletakkan ponsel ke saku kemeja, setelah sebelumnya membalas chat dari istriku dengan emotikon jempol. Masih ada beberapa hal yang harus bahas sebenarnya. Karena itu, aku akan menyelesaikannya sebentar, lalu setelahnya pamit pulang.
"Kok ditolak, Lid?" Adam meletakkan gelas berisi es sirup ke meja. Tadi, ketika aku sibuk dengan ponsel, Adam meminum sirup dari gelas itu. Mungkin saja karena kami keasyikan mengobrol hingga membuat dia kehausan.
"Oh, enggak apa-apa. Enggak terlalu penting. Sampe di mana tadi obrolan kita?"
"Oh, tentang warung di Jember. Nanti kita cari pewaralaba di sana. Aku akan cari beberapa teman dan kerabatku. Kau juga coba melobi beberapa kerabatmu di sana. Kalau enggak ada, kita bisa mencari investor untuk membuka warung baru yang kemudian hari bisa kita jual mereknya--" Adam belum menyelesaikan pembicaraannya, ponselku kembali berdengung.
Aku mengangkat sebelah tangan untuk membuat Adam menghentikan percakapan kami sesaat. Kembali kuraih ponsel, dan ternyata Nur kembali menelepon.
Aku kembali menolak panggilan itu. Lantas meletakkan ponsel ke saku. Lalu, meraih gelas berisi sirup dan meminumnya hingga tandas. "Istriku kayaknya ngajak pulang. Nanti kita lanjut lagi obrolan kita. Atau kita rencanakan pertemuan tanpa mengajak istriku, cuma kamu, aku, dan beberapa orang yang berkepentingan. Kita khususkan buat ngobrolin kerjaan."
"Oh, oke kalau begitu."
Aku beranjak, lalu mengulurkan tangan kepada Adam. Adam menerimanya dan kami bersalaman. Dan setelah itu, dia segera berbalik, masuk untuk memberitahu istriku.
Menit kemudian, Nur keluar bersama Adam dan istrinya. Dia masih sempat bercakap-cakap. Sepertinya mereka cukup akrab. Tapi, kenapa malah Nur mengajak pulang cepat-cepat?
***
Aku mengenyakkan pantat di sofa ruang tengah. Sementara istriku terus berlalu ke kamar. Aku mengistirahatkan punggung, bersandar pada sofa, sembari menikmati udara sejuk kipas angin yang tadi sempat kunyalakan sebelum duduk. Tengah hari bermotor, lumayan membuatku sedikit kegerahan.
Suara kenop pintu kamar yang terbuka, membuatku menoleh. Kulihat Nur keluar kamar. Dia sudah berganti pakaian dengan daster batik berlengan pendek.
Nur melangkah. Kupikir dia akan duduk di sampingku untuk bercakap-cakap sejenak. Tapi ternyata, dia terus saja berjalan melewatiku.
"Nur," sebelum lebih jauh melangkah, aku segera saja memanggil istriku.
Dia menghentikan langkah, lantas berbalik menghadap padaku. Kulihat dia mendengkus. Memutar mata sembari mencebik. Dia pun memandangku malas-malasan.
"Apa, Mas?" Ah, jawabannya pun terdengar malas. Mungkin Nur kecapekan saja.
"Kamu mau ke mana? Duduk sini, sebentar! Kita mengobrol." Sebenarnya, tadi aku ingin memintanya membuat seteko es teh. Tapi melihat ekspresi wajahnya seperti itu, aku jadi urung memintanya.
"Udah jam satu ini, loh. Aku mau salat Dzuhur." Nur kembali mendengkus, lalu berbalik dan meneruskan langkah. Bahkan, dia tak menungguku berbicara. Padahal, aku mau menanyakan kenapa dia tak mengajakku? Bukankah kami biasanya salat berjemaah?
Karena kupikir Nur hanya kecapekan, maka aku tak memperpanjang hal ini dengan bertanya macam-macam. Toh, aku juga merasa capek di siang hari musim kemarau begini.
Aku beranjak dari kursi. Melangkah ke kamar untuk berganti pakaian. Aku juga akan bersuci dan melaksanakan salat Dzuhur.
Aku mengganti pakaianku dengan sarung dan kaos oblong biru. Mengambil kopyah dan keluar kamar untuk bersuci ke kamar mandi.
Biasanya, aku akan meletakkan kopyah di musala, lalu akan meneruskan langkah ke kamar mandi. Tapi, aku sedikit terkejut ketika melihat istriku sudah melaksanakan salat sendiri.
Ah, mungkin dia salat sunnah Qabliyah Dzuhur saja. Jadi, aku tak terlalu menghiraukan. Hanya sedikit berdeham agar dia tahu kalau aku barusan ada di belakangnya.
Aku meneruskan langkah ke kamar mandi. Bersuci sebentar. Lalu, lanjut ke musala.
"Ayo, Nur, kita salat!" Aku berdiri dengan tubuh menghadap kiblat, sementara kepalaku menoleh sedikit kepada istriku.
"Aku udah salat. Udah kelihatan, kan, tadi." Suara Nur cukup ketus.
Aku mengernyit. Berbalik menghadap sempurna kepada istriku. Tapi, tetap dalam keadaan berdiri. "Kok enggak nungguin aku, sih, Nur? Wong aku langsung ke kamar buat ganti baju."
Nur hanya diam. Dia mendongak dan menatapku tajam. Lalu, mendengkus kasar. Mencebik, kemudian meneruskan bacaan dzikirnya.
"Kamu kenapa, sih, Nur?" Aku bersedekap.
"Salat, Mas! Udah jam setengah dua, loh." Lagi. Nada suara Nur cukup ketus.
Sebenarnya, aku ingin meminta kejelasan dari sikap istriku ini. Tapi, karena perkataannya benar, jadi aku mengurungkannya. Lebih baik aku segera salat saja. Urusan Nur yang sedang merajuk, kupikir itu hanya karena dia terlalu capek atau karena efek hamil muda saja.
Dan, setelah menunaikan salat Dzuhur, baru kutahu kalau ternyata Nur sudah keluar terlebih dahulu dari musala.
Setelah aku kembali ke kamar, kulihat Nur sudah tidur. Benar dugaanku, ternyata sikap ketus dan ekspresi merajuknya itu hanya karena Nur merasa cukup lelah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meniti kasih
RomanceKhalid, lelaki penyuka sesama jenis yang ingin menjauhi maksiat dengan memutuskan untuk sendiri. Hingga, suatu kejadian membuatnya menikahi Nur, rekan kerjanya. Awalnya, Khalid bertekad menyembunyikan orientasi seksualnya, ingin membahagiakan Nur. T...