16. Khalid

545 56 5
                                    

Aku hanya diam beberapa saat di kamar mandi. Lantas bersuci dan segera menuju musalla untuk melakukan salat sunnah mutlak.

Aku berdoa setelahnya, meminta kemantapan hati dan diberi kemampuan melakukannya malam ini. Aku terisak, benar-benar memohon dengan sangat.

"Tuhan, izinkanlah aku menempuh jalan taubatmu. Permudahlah jalan bagiku. Biarkan aku kembali pada fitrahku sebagai lelaki sejati."

Aku menyeka air mata yang sempat mengalir deras di kedua pipi. Berucap hamdalah dan kembali melantunkan selawat dalam hati. Terus memohon sembari beranjak dari musala. Melangkah dengan penuh niat berbenah, kembali lagi ke kamar.

Ketika kubuka pintu, kulihat Nur sudah berbaring sembari mengutak-atik ponsel. Jantungku berdegup kencang. Aku benar-benar gugup dan takut. Tapi, aku telah memutuskan untuk mencobanya.

Aku menutup pintu kamar, lantas mematikan lampu utama dan menyisakan lampu tidur dengan cahaya temaram. Nur pun sudah meletakkan ponsel dan bersiap tidur.

Dia memeluk guling dan mulai mengubah posisi. Miring menghadap tembok.

Aku melangkah mendekati ranjang. Duduk beberapa saat sembari kepalaku terus berpikir tentang apa yang harus kulakukan.

"Nur ... Sudah tidur?"

"Belum. Ada apa, Mas?"

Kurasakan Nur sepertinya bangun dan duduk. Aku memutar badan sedikit. Menoleh dan memandang padanya. Cahaya lampu tidur masih bisa membuatku melihat sangat jelas wajah istriku.

"Maukah kamu melakukannya kali ini denganku, Nur?" Suaraku bergetar karena sangat gugup.

Nur terdiam. Tapi, kulihat dia mengangguk pelan. Sangat-sangat pelan. Dan dia menggigit bibir bawahnya.

Aku menghela napas dalam. Kemudian mengembuskannya perlahan melalui mulut. Jantungku masih berdegup tak beraturan. Bahkan, kini perutku pun ikut-ikutan tak nyaman.

Perlahan kudekatkan posisi pada Nur. Aku bisa melihat ekspresi wajahnya yang juga cukup tegang. Kuraih pipinya. Membelainya perlahan dengan ibu jari.

Kucoba menyamankan diri. Hingga bibirku menyentuh bibirnya. Nur menuruti yang kulakukan. Tapi, dia hanya diam saja. Tak melakukan apa pun.

Dan tentu saja sikapnya yang semacam ini tak banyak membantu. Aku masih tak merasakan apa pun. Jujur saja, aku membutuhkan bantuan lebih dari Nur. Tapi, aku tahu kalau Nur tak pernah melakukannya. Reaksi macam apa yang kuharap dari perempuan yang baru pertama melakukan ini?

Aku tetap mencoba, meski masih saja tak nyaman. Benar-benar tak nyaman. Hingga, kulihat kening Nur berkerut. Matanya terpejam begitu rapat. Dan ... oh, Tuhan, setitik bening hadir di sudut mata istriku.

Apakah aku telah menyakitinya?

Tentu saja, hatiku makin tak nyaman. Nur diam dan sangat pasif. Ditambah ekspresinya yang seolah menyimpan keterpaksaan. Aku makin kesulitan karena ini. Tentu saja, seketika kuhentikan semua. Menarik diri, menjauhkan posisi sedikit mundur.

Nur terkejut. Kini dari matanya tersirat jelas kekecewaan. Membuat hatiku terasa sangat ngilu. Mengapa aku tak mampu melakukannya, Tuhan?

"Maaf, Nur." Aku menunduk.

"Kenapa berhenti, Mas?"

"Aku ... aku melihatmu sepertinya tak nyaman. Aku tak ingin kau merasa begitu. Aku tak mau makin menyakitimu."

"Mas hanya menebak-nebak saja, kan?" Suara Nur meninggi. Membuatku sedikit terkejut dan mendongak seketika.

"Aku melihatmu menangis. Aku tak ingin kamu terpaksa melakukannya."

"Lalu, kalau aku tak boleh terpaksa, maka Mas boleh? Begitu?" Nur menatap tajam tepat membidik mataku.

"Bukan begitu, Nur. Aku hanya ingin membuatmu bahagia."

"Bahagia? Apa gunanya aku bahagia jika Mas tersiksa? Apakah ini namanya pernikahan? Kebahagiaan yang dibangun di atas penderitaan yang lain?" Nur masih tak mengalihkan tatapannya. Masih sangat tajam.

"Nur! Aku sudah terbiasa dengan keterpaksaan ini. Sudah menjadi makananku setiap hari sejak aku tahu kalau aku berbeda. Aku sudah terbiasa, Nur. Tapi jangan kamu."

"Begitu? Lalu kalau aku terpaksa, Mas enggak mau melakukan dan mencoba, begitu?"

"Bukan begitu. Aku ingin kamu bahagia. Hanya itu. Karena, kebahagiaanmu itu membuatku merasa berguna."

"Mas ingin aku bahagia dengan menyakiti diri Mas sendiri? Begitu? Baik. Kalau Mas ingin aku bahagia, maka Mas harus mencintaiku. Apa Mas bisa melakukannya?"

"Nur! Kau tahu sendiri keadaanku. Bagaimana mungkin aku bisa mengabulkannya secepat itu? Aku masih butuh proses, Nur."

"Sama saja, Mas. Kalau Mas butuh proses. Aku pun sama. Apakah keliru jika aku melakukannya dengan keterpaksaan juga, Mas? Aku rasa tak masalah jika kita berproses bersama, kan?" Mata Nur mulai berkaca-kaca.

"Aku tak ingin melihatmu bersedih." Aku kembali menunduk.

"Tapi kamu enggak mencintaiku, Mas. Apa mungkin aku tak merasa sedih?" Nur mulai terisak.

"Cinta? Aku sudah enggak mengerti makna cinta seperti itu lagi, Nur. Aku hanya tahu jika kamu layak diperjuangkan dan kubahagiakan. Layaknya beribadah. Aku tak pernah mengatakan mencintai Tuhan, karena aku tak tahu pasti. Yang kutahu hanya Tuhan layak dicintai. Caranya? Aku hanya berusaha menjadi hamba yang patuh. Itu saja." Aku menunduk dengan tangan terjuntai di antara dua lutut.

Hening ... hanya isakan tangis istriku yang kudengar sesekali.

"Nur, yang kutahu saat ini hanyalah kamu satu-satunya wanita yang ingin kulihat senyumnya. Bahkan, ketika kau menangis seperti ini, aku sangat tersiksa. Terserah kau menganggapnya apa. Apakah ini yang namanya cinta atau bukan? Aku tak tahu, Nur. Atau cinta adalah keinginan menyatukan tubuh saja? Aku tak tahu. Saat ini, aku hanya tak ingin kau bersedih, apalagi menangis. Hanya itu."

Sejenak, isakan itu terhenti. Nur mendongak, lantas menoleh padaku. Pun aku melakukan hal yang sama ketika merasakan pandangan Nur mengarah padaku.

Mata kami saling bertatap. Tanpa kata. Yang kutahu hanyalah jika aku mati dan dibangkitkan lagi, aku ingin kembali bersama wanita ini.

Meniti kasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang