Aku berdiri mengamati refleksi diri pada cermin. Berputar ke kiri dan kanan beberapa kali. Mengamati biar enggak ada sedikit pun yang enggak beres dari penampilanku. Pagi ini, Mas Khalid mengajakku keluar. Kami bakal sowan ke Pesantren buat menyampaikan amanah titipan ibu.
Seminggu sudah sejak kami berkunjung ke Jember. Beberapa kali, Mas Khalid melakukan panggilan video sama bapak. Aku senang banget sama perkembangan hubungan mereka. Dan memang, sejak kunjungan kami itu, sikap Mas Khalid sedikit berubah, jadi lebih manis. Dan satu lagi, kalau aku bermanja padanya, dia jadi lebih hangat. Padahal dulu, buat menunggu reaksinya, aku harus berusaha keras. Harus ekstra sabar. Atau ... harus ngambek dulu, baru Mas Khalid bisa melunak. Dan hal itu membuatku capek.
Untuk kali ini, besar banget harapanku, semoga saja ini adalah titik balik kehidupan asmara kami. Aku bakal senang banget kalau akhirnya Mas Khalid bisa benar-benar mencintaiku layaknya suami terhadap istrinya.
Setelah memastikan penampilanku sudah oke, aku keluar kamar. Enggak lupa, menyambar slingbag dan menyampirkannya ke pundak. Aku izin sama ibu, beralasan keluar biasa saja. Enggak mungkin bilang kalau mau menyampaikan amanah yang dititipin munggu lalu.
So far, ibu enggak curiga sama sekali. Semua masih berjalan lancar-lancar saja. Aku bersyukur banget. Hanya saja, beberapa hari lalu, aku dan Mas Khalid bercakap-cakap tentang kunjungan ke Jember lagi. Soalnya butuh lebih dari tiga jam perjalanan. Apalagi, kami cuma bisanya weekend, yang bisa dipastikan jalanan pasti ramai. Dan jalur antara Probolinggo-Lumajang bisa dipastikan macet. Kami harus punya alasan yang tepat buat izin sama ibu.
"Mas, ayo!" Aku berdiri menghadap sama Mas Khalid yang barusan sibuk mengutak-atik HP.
Dia seketika mendongak dan menoleh padaku. "Udah pamit?"
Aku hanya mengangguk. Dan suamiku berdiri, lalu melangkah hampir beriringan bersamaku keluar rumah.
"Oh, ya, Nur, kalau bisa di ndalemnya jangan terlalu lama, ya? Soalnya aku mau membahas masalah kerjaan sama Adam. Bulan depan kita mau mulai reopening warung soalnya," Mas Kahlid berujar sambil tetap melangkah.
Aku kembali hanya mengangguk-angguk saja, meskipun aku tahu dia enggak melihat padaku. Tapi, jelas dia bakal paham selagi aku enggak mengatakan penolakan.
Kami berboncengan menuju pesantren. Hari masih cukup pagi. Barusan terakhir kulirik jam dinding, masih sekitar jam delapan lewat sepuluh menitan. Ya ... pas, sih, waktunya buat sowan. Pas Bu Nyai sudah bisa menerima tamu.
Kami mengobrol sesekali. Dan kali ini, pembahasan Mas Khalid lebih banyak tentang usaha yang akan dikerjakannya bersama Adam ini. Sepertinya, suamiku antusias banget dengan hal ini. Dan sebagai istri yang baik, aku berusaha mendengarkan. Meskipun kadang enggak nyambung, sih.
Tapi ... sejanak lalu, ada secuil--secuil banget, enggak banyak, kok--pikiran buruk tentang Adam lagi. Haduh ... apa-apaan coba otakku ini? Bukankah aku sudah menyetujui hal ini? Lagipula, picik banget kalau sampai aku kepikiran Mas Khalid bakal macam-macam.
Aku yakin Mas Khalid enggak bakal macam-macam. Tapi, kalau dia masih suka sama si Adam, kapan, dong, bisa cinta sama aku?
Jujur saja, aku udah kepingin banget tahu rasanya dicintai. Secara, sudah setahunan kami nikah. Dan pas lagi masa-masa pengantin baru, sudah jelas Mas Khalidnya kayak gitu. Jadinya ... sekarang aku ingin merasakan vibes pengantin baru.
Semoga saja, enggak akan ada macam-macam. Amin ...
***
Aku menuruti pesan suamiku, segera keluar setelah urusan penyampaian amanah sama Bu Nyai selesai. Pastinya juga enggak lupa minta doa.
Kami segera menuju rumah Adam setelahnya. Dan ... aku terkesima, dong, pas lihat rumah temen Mas Khalid ini, enggak besar-besar banget, sih. Tapi, jelas banget kalau dia orang berada.
Rumah Adam ini desainnya minimalis. Tapi, bagus banget dan estetik. Ada kolam ikan tepat di depan teras. Kami harus melewati kolam itu kalau mau sampai ke terasnya. Tanaman gantung dan bunga-bungaan, menghiasi rumah itu. Kerasan banget rasanya. Cat rumahnya enggak norak sama sekali. Kalau mau diumpamakan, ini sudah kayak rumah di majalah-majalah arsitektur. Keren pokoknya.
Adam dan istrinya seketika menyambut kami di teras. Kami bersalaman dan beramah-tamah sebelumnya. Tapi ... pas masuk rumah, ternyata cuma Mas Khalid yang dipersilakan duduk di ruang tamu. Sementara aku diajak istri Adam ke ruang tengah rumahnya. Duduk di sofa minimalis di depan home theater berukuran tanggung.
Aku duduk sambil mata ini jelalatan ke mana-mana, enggak tahan sama penataannya yang indah banget. Oerabotannya bukan yang wah, tapi bisa serasi begini, ya? Sementara putri sulung Adam bermain-main di lantai sambil nonton. Dan istrinya masuk sebentar. Mungkin saja mau mengambil suguhan.
Tapi, ternyata, pas balik, kulihat dia balik begitu saja. Enggak bawa nampan. Dia duduk di kursi sofa single hampir berhadapan denganku. Kami ngobrol sebentar. Aku, bertanya banyak hal tentang rumahnya. Beneran rumah bagus begini, membuatku ingin memiliki yang serupa. Bukan soal luas rumah ini. Karena ukurannya, sih, biasa saja, sedikit lebih besar daripada rumah kami. Hanya saja, desain dan penataan rumahnya, itu, loh. Bagus banget. Dan ternyata, baru aku tahu kalay istri Adam ini pernah belajar desain interior. Dan dia buka jasa desain juga. Pantesan ....
Obrolan kami terjada oleh datangnya perempuan membawa nampan berisi minuman dan sepiring brownies cokelat. Oh, pantas saja. Mereka ternyata punya ART. Dan ... baru kusadari kalau sejak tadi enggak kelihatan anak kedua Adam. Hanya ada anak pertamanya saja.
Kami melanjutkan obrolan setelahnya. Dan ... entah mengapa, ketika mendengar suara gelak tawa Mas Khalid dan Adam dari ruang tamu, tiba-tiba saja, ada ngilu yang muncul di dada. Kenapa aku kembali cemas dengan hal ini?
Sabar, Nur! Sabar! Lagi pula, kalau Mas Khalid sukses dalam usahanya kali ini, bakal bikin kami makin banyak waktu buat bersama. Dia sudah enggak perlu ke warung setiap malam lagi. Hanya sesekali. Kata Adam begitu, kan?
Usaha yang bakal dirintis suamiku ini, semua demi keluarga. Demi aku dan buah hati kami.
Semoga saja berjalan lancar dan diijabah Tuhan. Amin ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Meniti kasih
RomanceKhalid, lelaki penyuka sesama jenis yang ingin menjauhi maksiat dengan memutuskan untuk sendiri. Hingga, suatu kejadian membuatnya menikahi Nur, rekan kerjanya. Awalnya, Khalid bertekad menyembunyikan orientasi seksualnya, ingin membahagiakan Nur. T...