21. Nur

524 53 1
                                    

Allah mboten sare. Ungkapan yang sering kudengar. Artinya, setiap yang berbuat dzalim pasti bakal menerima ganjarannya. Dan ... sebagaimana Allah membalas perbuatan orang dzalim, bukankah Allah juga pasti memberi pahala bagi mereka yang berbuat baik? Sudah tersurat jelas di Al Quran tentang ini, kan?

Dan ... lagi-lagi, aku mempertanyakan semua ini, karena melihat Mas Khalid dan ibu. Apa sebenarnya yang membuat ibu dan anak ini mengalami hal semacam ini? Ibu yang harus berjuang sendiri di usia yang muda banget. Mas Khalid yang enggak mengenal ayahnya sejak kanak-kanak, dan kini masih harus berjuang dengan orientasi seksualnya yang menyimpang. Tapi ... kalau dipikirkan lagi, sepertinya aku juga ada hubungannya dengan semua ini. Bukankah suami-istri itu adalah cermin dan timbangan? Jadi ... apa korelasi semua ini?

Ah, biarlah ... cepat atau lambat, semua bakal menemukan jawabannya. Seperti kemampuan Mas Khalid untuk memberikan nafkah batin yang seolah-olah enggak mungkin, ternyata bisa dilakukan kalau aku membantu dan saling menyamankan rasa. Dan itu semua kudapat setelah mulai memahami korelasi antara pikiran dan kehidupan. Kalau aku percaya Mas Khalid mampu, maka itu yang bakal kejadian. Dan semua kudapat setelah menemukan blog itu. Jawaban dari pertanyaanku sebelumnya.

"Aku ke kamar bersuci dulu, ya, Mas? Kutunggu di musala." Aku beranjak dari sofa, melangkah ke kamar untuk berganti pakaian dan selanjutnya bersuci untuk menunaikan salat Dzuhur berjamaah bersama suamiku.

Mas Khalid cuma mengangguk. Dia kembali menuang es ke gelas. Lalu meminumnya hingga tandas.

***

Pagi ini, aku dan Mas Khalid memberikan hadiah berupa sepatu kepada Pak Ghofar, guru sepuh yang dimutasi ke daerah pegunungan. Kami menghampiri mejanya, menyerahkan hadiah sekaligus mengucap salam perpisahan. Beliau tampak terharu banget. Bahkan, kulihat kedua matanya berkaca-kaca.

Sengaja kuberikan sekarang, karena pada hari Jumat dan Sabtu aku enggak mengajar. Aku harus kuliah. Jadi, kuberikan hari Kamis saja.

Entahlah, sampai kapan kehidupan di negeri ini berubah membaik, kalau para pejabat dengan mudah berbuat semena-mena macam ini? Menekan rakyat kecil demi kepentingan politiknya. Cara picik macam ini adalah sebentuk gertakan bagi kami rakyat bawah yang sebenarnya enggak punya kekuatan sama sekali.

Dan setelah berbasa-basi sebentar, aku dan Mas Khalid kembali ke meja kami masing-masing. Menunggu bel masuk berbunyi. Dan seperti biasa, aku sejenak berselancar di dunia maya. Menyelesaikan bacaan artikelku yang semalam sempat terputus. Artikel yang membahas tumpukan emosi yang berakibat besar bagi kehidupan.

Sebelumnya, aku mendapat informasi tentang penyebab orientasi seksual menyimpang, yang salah satunya memang bisa dialami oleh anak dengan orang tua tunggal macam Mas Khalid. Enggak adanya sosok ayah, bisa membuatnya mendambakan sosok itu di kemudian hari. Ini kemungkinan pertama. Jadi, kemungkinan memang yang dialami Mas Khalid lebih dikarenakan kebutuhannya kepada sosok ayah. Dan jika dihubungkan dengan emosi terpendam, besar kemungkinan masalah ini bisa diselesaikan. Tapi, caranya adalah dengan melepaskan emosi yang telah bertumpuk lama.

Dan cara pelepasan emosinya adalah dengan menerima dan mengikhlaskan. Nah ... ini PR bagi kami. Mas Khalid mungkin saja menyimpan kekecewaan sama bapaknya. Soalnya, selama enggak mau menerima dan memaafkan, sosok bapaknya tetap tertolak. Dan jiwanya tetap mencari sosok itu. Tentu saja, meskipun mampu melakukan hubungan suami istri, tapi tetap bakal mengalami kesulitan. Kembali ke fitrah 100% bakal jadi enggak gampang lagi.

Dan kegiatanku menjelajahi dunia maya, harus terhenti oleh bel masuk yang berbunyi. Aku beranjak. Meraih buku yang akan kubawa ke kelas. Lalu bergegas melangkah menuju kelas lima.

***

Enggak terasa, sudah hampir setahun aku menjadi seorang istri. Progres healing bagi Mas Khalid sepertinya mulai menampakkan hasil. Aku bersyukur banget dengan semua ini.

Dan pagi ini, aku yang sedang mengoreksi beberapa tugas siswa di sela waktu istirahat, dikagetkan oleh suara pria yang berucap salam. Sontak, aku mendongak. Memandang ke arah suara itu berasal.

Seorang pria berpakaian batik dengan celana hitam, berdiri di ambang pintu kantor sekolah. Pria itu tersenyum ramah sembari mengangguk pelan. Di pundaknya tersampir tas kerja hitam berukuran sedang. Dan tangannya menjinjing kotak biru mirip termos vaksin bidan kalau ada kegiatan imunisasi.

"Oh, Mas Adam. Mari, silakan!" Salah satu guru pria mempersilakan pria yang ternyata bernama Adam itu untuk masuk. Pria itu hanya mengangguk.

Hampir semua mata di ruangan ini terfokus padanya. Dan karena penasaran, aku melempar pandangan ke Mas Khalid. Niatku bertanya, siapa pria ini. Mungkin saja Mas Khalid tahu kenapa tiba-tiba ada tamu. Tapi, kulihat Mas Khalid tampak kaget banget dengan kedatangan pria ini. Ekspresinya melebihi yang lain.

Dan belum juga aku menanyakan kenapa ekspresinya macam itu, tiba-tiba, enggak sengaja, pandangan pria itu jatuh ke Mas Khalid.

"Loh, Khalid? Kamu Khalid, kan?" Pria itu melangkah mendekati meja kami. Dan Mas Khalid masih dengan ekspresinya yang tadi.

"A-adam ... " Aku bertambah heran. Mas Khalid mengucap nama pria ini dengan terbata. Dan, kenapa hatiku terasa enggak nyaman?

Pria itu meletakkan kotaknya di meja suamiku. Mengulurkan tangan hendak bersalaman. Sementara Mas Khalid beranjak pelan dan menerima uluran tangan pria bernama Adam itu.

"Kamu ngajar di sini? Wah, kamu beneran jadi guru, Lid."

"Iya. Kamu apa kabar? Sukses jadi pengusaha?"

"Lihat sendiri!" Adam membentangkan kedua tangannya, "aku jadi mantri Puskesmas. Baru mutasi ke sini bulan ini. Hari ini, kan, ada vaksin."

Aku masih mengernyit melihat mereka berdua. Masih kebingungan juga dengan rasa enggak nyaman di hatiku. Apakah aku tiba-tiba cemburu? Bagaimana mungkin? Bisa jadi mereka cuma teman lama. Tapi, aku enggak mungkin mengingkari semua ini. Aku curiga.

Keduanya berbasa-basi. Bertukar nomor HP. Lalu, ketika enggak sengaja pandangan Adam teralih padaku, dia tersenyum ramah. Dan aku pun membalasnya enggak kalah ramah.

Dan baru setelah itu, Mas Khalid ingat buat memperkenalkanku. "Oh, iya. Ini istriku. Nur."

Lagi, aku hanya mengangguk pelan, memberi hormat dan berisyarat sebagai perkenalan diri.

"Sebentar, ya, Lid, ngurusin masalah vaksin dulu." Adam menepuk pelan lengan Mas Khalid.

Dan ... ekspresi Mas Khalid lagi-lagi membuatku enggak nyaman. Enggak, enggak. Ini cuma overthinking saja. Enggak ada apa-apa di antara mereka. Nur!

Aku dan Mas Khalid kembali duduk. Sementara Adam mengobrol sama salah satu guru di kursi pojok pada salah satu susi ruangan.

Dan, entah kenapa, aku enggak bisa menahan gejolak yang ada di dadaku. Aku merasa enggak nyaman banget.

"Itu ... siapa, Mas?" Aku menepuk lengan Mas Khalid. Suaraku lirih banget. Dan ... Kayaknya mimik wajahku enggak bisa kubikin ramah. Pasti jelas banget kalau aku lagi menyelidik.

"Oh, i-itu, temen SMU." Nah, kan. Mas Khalid menjawab terbata lagi. Malah makin bikin aku enggak nyaman.

Aku mengernyitkan. Menatap tajam dan membidik tepat ke mata suamiku. Dan ... Mas Khalid menghindari tatapanku.

Oh, Tuhan ... setelah tahu bahwa Mas Khalid berbeda, aku masih bersedia menerimanya. Lalu, berusaha berdamai. Rumah tangga kami pun mulai membaik dan ada perkembangan. Tapi, kenapa sekarang harus ada hal enggak nyaman macam ini? Padahal ... aku sudah merencanakan sebuah kejutan buat dia minggu depan.

Meniti kasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang