Setelah berselisih dengan Nur di kamar, kuputuskan untuk keluar, duduk di ruang depan. Tanpa menghidupkan lampu, hanya dengan cahaya temaram dari lampu teras yang masuk melalui jendela, aku mengutak-atik ponsel. Menyalakan alarm tepat pukul dua dini hari. Dua jam lagi. Aku takut tertidur. Karena, aku harus kembali masuk kamar sebelum ibu bangun. Aku tak mau ibu curiga. Perselisihan ini sebisa mungkin harus kusembunyikan dari ibu. Aku tak mau ibu kecewa.
Kuletakkan ponsel di meja, merebahkan diri di kursi kayu panjang beralaskan spons. Setelah sebelumnya meletakkan bantal sebagai penyangga kepala pada pegangan kursi.
Kepalaku terasa sedikit pening. Ada rasa berdenyut dari bagian dalam. Sebelah tangan kuletakkan di atas dahi, sementara tangan yang lain di atas perut. Mataku terpejam, tapi aku tak bisa tidur, meski tubuhku terasa sangat lemah dan tak bertenaga.
Aku menghela napas dalam, dan mengembuskannnay perlahan. Tak henti aku mengutuki diri sendiri. Bukankah sebulan terakhir, selama sesi konseling, para pendamping sudah memberitahuku banyak hal? Membimbing dengan berbagai teori dan motivasi? Bukankah sudah banyak kisah orang dengan Same Sex Attraction yang berhasil dan bahagia dengan keluarga mereka. Dan bahkan tanpa diketahui pasangan mereka?
Apa aku salah langkah? Apa seharusnya aku tak mengatakannya kepada Nur? Lalu memberanikan diri mencoba. Atau ... harusnya aku memakai suplemen pembantu saja tanpa memberitahukan pada istriku sama sekali. Meskipun ... mungkin suplemen itu beresiko. Kenapa aku jadi begitu bodoh dan harus sangat merasa bersalah kepada Nur?
Atau, mungkin saja aku bisa memakai bantuan video tanpa sepengetahuan istriku. Bukankah hal itu lebih aman? Dia tak akan curiga, dan semua akan berjalan baik-baik saja. Tapi, semua sudah terlanjur. Nur sudah tahu tentangku. Dia pun sangat marah tadi. Semua sudah tak sama lagi.
Aku masih bisa memaklumi kemarahan istriku. Dia pasti sangat terkejut. Hatinya pasti begitu hancur saat ini. Ibaratnya, dia telah diterbangkan begitu tinggi, kemudian seketika dijatuhkan. Tapi, tak selayaknya dia menuduhku dengan hal sekeji itu, mengarang cerita, memfitnahku tentang kekasih sesama jenis. Tuduhan yang benar-benar mengada-ada.
Karenanya, aku sangat marah padanya. Mentang-mentang dia merasa menjadi korban, bukan berarti berhak untuk memfitnahku begitu. Dia tak mau mendengar penjelasanku sama sekali. Berasumsi macam-macam hanya berdasar pemikirannya sendiri.
Tapi, ada yang membuatku begitu cemas. Dia memintaku untuk mengantarnya pulang. Hal yang cukup berat. Ada banyak resiko yang harus kutanggung jika dia benar-benar melakukannya. Rahasia besar ini akan terbongkar. Lalu, ibu ... tak hanya kecewa karena keinginannya tentang istriku dan lahirnya cucu yang pupus, dia pasti akan sangat terpukul jika mengetahui satu-satunya putra kebanggaannya adalah manusia penuh cacat dan aib.
Dan membayangkan semua ini, semakin membuat kepalaku sakit. Kini rasanya seperti ada palu besi yang tak henti dipukul-pukulkan dari dalam kepala. Rasanya, aku tak mungkin tertidur dalam keadaan seperti ini. Tak ada yang bisa kulakukan, kecuali meminum pereda nyeri.
Aku beranjak dari tidurku, duduk beberapa saat sebelum berdiri dan melangkah ke ruang tengah. Bermaksud mengambil pereda nyeri dan meminumnya. Memijit pangkal hidung dengan telunjuk dan ibu jari. Karena kepalaku terasa begitu pening.
Tapi, tiba-tiba suara Nur mengejutkanku. "Mas Khalid mending tidur di dalam. Nanti enggak enak kalau sampe ketahuan ibu."
Aku menoleh, memandang istriku yang telah berdiri di samping kursi. Tanganku masih memijit-mijit pangkal hidung. Meski tak begitu jelas, tapi aku masih bisa melihat samar-samar wajahnya.
"Iya," aku hanya menjawab singkat. Lantas, berdiri. Meski sebenarnya, rasa berdenyut masih menyiksa.
Nur mundur selangkah, memberiku jalan. Kemudian dia berjalan sedikit di belakangku. Dan ketika aku meneruskan langkah, alih-alih berbelok ke kamar, Nur kembali bertanya, "Mas Khalid mau ke mana?"
Aku berbalik sedikit. "Mau minum asam mefenamat dulu. Kamu tunggu di kamar saja!"
Alih-alih mengangguk dan masuk kamar, dia malah mendekatiku. "Mas Khalid ke kamar saja! Biar aku yang ambilin. Kubuatkan teh hangat biar peningnya reda."
Dan tanpa menunggu persetujuanku, Nur melangkah ke arah dapur. Sejenak, ada secuil rasa aneh tiba-tiba muncul di hati. Tapi setelahnya, kembali menghilang, sebelum aku benar-benar memahami.
Aku melangkah perlahan ke kamar. Lantas duduk di bibir ranjang. Kedua lutut menyangga siku. Sebelah tangan kembali memijit pangkal hidung, sementara yang lain terjuntai di antara lutut.
Dan beberapa menit kemudian, Nur datang dengan segelas teh dan sebutir pereda nyeri yang disodorkannya, sembari duduk di sebelahku.
"Minum dulu, Mas, lalu istirahat! Enggak usah ngidupin alarm. Biar nanti kubangunin pas Subuh. Mas Khalid tidur yang nyenyak! Jaga kesehatan!" Nur mengomel, tapi dengan nada suara lirih. Mirip ibu rasanya.
Aku mengambil obat itu lantas segera meminumnya dengan teh hingga tersisa hanya setengah gelas. Dan setelahnya, Nur mengambil gelas itu dan meletakkannya di meja.
Kulihat dia mematung beberapa saat sembari menghela napas. Lantas, berucap demgan nada lirih, "Maafin aku kalau tadi menuduh Mas Khalid yang bukan-bukan. Aku ingin ngomongin semua dengan jelas besok. Sekarang mending istirahat dulu! Sudah malam. Beberapa hari ini Mas selalu tidur larut malam. Enggak bagus buat kesehatan."
Aku terdiam mendengar kalimat demi kalimat yang keluar dari bibir istriku itu. Tapi, ada rasa lega dan harapan yang berkembang di hati. Mungkin Nur masih marah, tapi paling tidak dia masih mau mendengarkanku.
Nur berbalik, lantas melangkah mendekatiku. Dan, sebelum naik ke ranjang, aku memegang pergelangan tangannya, sembari mendongak. "Makasih, Nur."
Nur menatapku. Ekspresi wajahnya sangat datar. "Aku belum memutuskan apa pun, Mas."
Kami hanya saling bertatapan beberapa saat. Aku mencoba memahami makna apa yang mungkin bisa kutangkap dari mata istriku ini. Tapi, aku gagal. Aku tak mampu memahami apa pun.
***
Kurasakan sentuhan pelan di kaki, bersamaan dengan suara lirih memanggilku. "Mas Khalid, sudah Subuh. Ayo kita salat."
Aku membuka mata perlahan. Nur sudah berdiri di samping ranjang, dengan kepala berbalut handuk. Beberapa hari ini, Nur selalu mandi keramas. Padahal, bukan mudah baginya. Rambut ikal hitamnya cukup panjang dan lebat. Butuh waktu untuk mengeringkannya.
Tapi, Subuh ini, aku kehilangan senyumnya. Biasanya Nur akan membangunkanku dengan senyuman hangat. Tapi kali ini, ekspresi wajahnya sangat datar. Bahkan, dia seketika berbalik dan keluar kamar, ketika melihatku mulai beranjak dari ranjang.
Tapi, satu hal yang baru kutahu dari seorang Nur. Dengan emosi tak nyaman yang masih bisa kurasakan tadi ketika di kamar, ternyata cukup mampu disembunyikannya di depan ibu. Nur yang tampak tomboi dan sangat ceria, seketika berubah jadi sosok yang dewasa.
Tak hanya membangunkanku untuk salat Subuh. Pun menyediakan segelas teh hangat yang dicampur dengan pereda masuk angin. Dan seusai salat, dia masih bersalaman dengan ekspresi wajah seperti biasa. Mencoba bersikap wajar di hadapan ibu. Bahkan, hingga sarapan, dia masih mampu menyamarkan semua.
Dan ... selalu, binar mata ibu ketika bersama Nur, membuatku sedikit cemas. Aku takut jika Nur benar-benar memutuskan untuk meminta pembatalan pernikahan.
Ya Allah ... Berilah hamba solusi terbaik? Permudahlah pertaubatan ini? Permudahlah hamba menjadi lelaki sejati. Kembali ke fitrah-Mu. Terlebih lagi, jika Engkau memberi karunia dan nikmat untuk bisa mencintai wanita ini seperti seharusnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meniti kasih
RomanceKhalid, lelaki penyuka sesama jenis yang ingin menjauhi maksiat dengan memutuskan untuk sendiri. Hingga, suatu kejadian membuatnya menikahi Nur, rekan kerjanya. Awalnya, Khalid bertekad menyembunyikan orientasi seksualnya, ingin membahagiakan Nur. T...