Kami meneruskan perjalanan. Menempuh jarak lebih dari lima belas kilometer, hingga sampai di Kecamatan Mayang. Mas Khalid berhenti sebentar untuk mengajakku makan. Soalnya, hari sudah petang. Langit mulai menggelap. Adzan Maghrib sudah berkumandang beberapa menit lalu. Dan enggak sampai sepuluh kilometer lagi, kami akan sampai di desa Seputih. Desa bapak. Mas Khalid khawatir kalau kami nantinya bakal agak kesulitan menemukan tempat makan.
Kami makan sebentar. Enggak lupa, mampir di swalayan buat membeli beberapa keperluan. Karena barusan setelah mengobrol sama penduduk setempat, kami mendapat informasi kalau desa Seputih adalah desa yang berada di daerah pedalaman. Pun medannya merupakan pegunungan.
Kami meneruskan perjalanan sekitar jam tujuh lebih beberapa menit. Dan kurasakan, Mas Khalid melajukan mobil sedikit lebih cepat. Raut wajahnya pun kulihat sedikit lebih tegang. Aplikasi peta daring sudah menyala sejak kami naik mobil tadi. Beberapa kali suara dari aplikasi itu terdengar memandu.
"Enggak perlu ngebut kayaknya, deh, Mas! Hari sudah malam juga. Insyaallah bakal cepet ketemu, kok." Aku berusaha menenangkan. Berharap kalimat-kalimatku didengarnya. Meskipun sebenarnya aku enggak yakin-yakin banget, sih. Meskipun enggak tahu jelas jug, tapi aku yang bukan Mas Khalid saja, ikutan tegang.
Suamiku menoleh sejenak, lalu kembali fokus mengemudi. Dan kurasakan dia menurunkan kecepatan mobil, sedikit lebih pelan.
Aku membuka tutup botol minuman isotonik yang kami beli di swalayan barusan. Meskipun enggak diminta, aku menyodorkannya pada suamiku.
"Minum dulu, Mas!"
"Aku enggak haus, Nur."
"Biar pikirannya adem aja, sih."
Dan mendengar perkataanku, akhirnya Mas Khalid meraih botol itu dan meneguk isinya sekali tegukan. Lalu menyerahkannya kembali padaku.
Setelah menutup botol dan meletakkannya di tempat botol dekat tuas gigi, aku berusaha menghidupkan audio mobil. Memilih lagu yang ada. Berharap menemukan lagu dengan tempo yang pelan. Agar ketegangan yang ada sedikit mengendor. Tapi nyatanya, koleksi lagu di mobil hanya dangdut koplo dan lagu-lagu disko rancak. Dan kalau aku melanjutkan memutar lagu-lagu itu, alih-alih menurunkan ketegangan, eh malah menambah tegang saja. Ketukan musik rancak malah membuat otak merespon. Gelombangnya jadi naik. Padahal, pada kondisi macam ini, kami memerlukan stimulasi untuk menurunkan ketegangan otak.
Karena tetap enggak menemukan lagu yang kucari, aku berinisiatif saja untuk memutar lagu dari aplikasi pemutar musik yang kumiliki. Mencari lagu klasik atau murattal Al Quran. Tapi ternyata, enggak ada sinyal terdeteksi dari provider jaringan internet yang kupakai.
Adduh, pas banget, enggak, sih? Kenapa pas di swalayan tadi aku enggak beli kartu perdana buat jaga-jaga, sih?
Dan benar saja, saat kuperiksa aplikasi peta di HP Mas Khalid, ternyata sudah berjalan dalam mode luring. Aku sedikit gusar, tertular ketegangan yang dialami suamiku.
"Kamu nyariin apa, sih, Nur?
Sepertinya Mas Khalid agak memperhatikanku juga. Atau memang meski enggak diperhatikan juga bakal kentara banget kalau sejak tadi aku ribut sendiri, sih.
"Oh, cuma mau nyari lagu biar enggak bosen." Aku beralasan. Mana mungkin juga aku menjelaskan persoalan gelombang otak sama Mas Khalid. Meskipun memang dia adalah lelaki cukup pandai, tapi urusan keliaran pikiran dan ke-kepo-an, akulah pemenangnya. Mas Khalid itu pinter tapi enggak liar. Beda banget sama aku yang banyak kepo-nya.
Dan karena enggak juga menemukan cara buat mengatasi ini. Akhirnya aku pasrah saja. Kuberikan semua beban punggungku ke sandaran kursi. Duduk bersedekap sembari sedikit mendengkus. Mencoba berdamai dan menikmati perjalanan. Hingga, tulisan perbatasan masuk desa Seputih, menarik perhatianku.
"Mas, udah masuk desa Seputih." Aku antusias banget, dong.
"Iya, udah tahu." Mas Khalid menjawab datar.
Tapi, tiba-tiba kami merasakan laju mobil sedikit enggak nyaman. Aku seketika kembali menoleh kepada suamiku. "Kenapa, Mas?"
"Entahalah." Mas Khalid berdecak. Aku menangkap kekesalan dari sikapnya. "Jangan-jangan bannya kempes, lagi."
Mas Khalid melambatkan mobil lalu menepi dan mematikan mesin. Dia meraih HP-nya di dashboard. Lalu menghidupkan senter. Keluar untuk memeriksa mobil. Dan menit kemudian balik lagi.
"Ban belakang sebelah kanan kempes, Nur. Kita nyari tambal ban dulu."
Jadilah pencarian bengkel dan menambal ban sebagai acara tambahan kami malam ini. Dan karena hal ini, aku melirik penunjuk jam di dashboard. Terpampang jelas angka 19.52. Mungkinkah kami bisa ketemu bapak malam ini kalau harus diselingi acara tambal ban?
***
"Waduh, Mas. Ini ban tubeless, ya? Saya endak bisa kalau tubeless. Yang bisa itu bengkel di daerah Mayang. Jadi gimana?" Lelaki berperawakan berisi pemilik bengkel, berdiri sambil menggeleng-geleng pelan. Dahinya pun berkerut, memandangi ban kami yang kempes.
"Ya ... mau bagaimana lagi, Mas. Tapi, apa bisa bantu buka dan antar saya ke Mayang?"
"Oh, kalau itu saya bisa. Tenang saja! Jadi kita ke Mayang, nih, ya?"
Mas Khalid mengangguk mantap mengiakan tawaran pemilik bengkel. Dan menit kemudian, lelaki berkulit gelap itu sudah sibuk membuka satu per satu baut penahan ban.
Mas Khalid duduk di sebelahku. Kulihat dia mendengkus beberapa kali. Dari wajahnya jelas tergurat kecewa dan rasa lelah.
"Sabar, toh, Mas." Tanganku mendarat di pahanya. Mencoba menenangkan.
Suamiku menoleh. Menatapku. Menghela napas dalam dan mengembuskannya pelan.
Kami bercakap-cakap santai. Mencoba mengalihkan fokus dari ketegangan ini. Agar enggak menambah rasa lelah yang memang mulai merayapi.
Dan, suara pemilik bengkel, menghentikan percakapan kami. Membuat Mas Khalid seketika beranjak.
"Kamu nunggu di sini aja, ya, Nur! Toh enggak lama dan sekitaran juga rame. Tuh, ada warung kalau kamu mau beli jajanan." Mas Khalid menunjuk ke arah warung yang ada di seberang jalan.
Aku hanya nyengir kuda dan mengangguk. Ternyata suamiku masih ingat aja kesukaanku akan jajanan.
Sepeninggal Mas Khalid dan pemilik bengkel, tentu saja aku segera melesat ke warung di seberang jalan. Memesan teh hangat, membeli gorengan dan beberapa jajanan lain.
Aku menunggu suamiku sambil duduk di warung. Bercakap-cakap dengan pemilik warung. Mencari tahu alamat bapak. Siapa tahu enggak jauh dari tempat ini.
"Oh, Pak Darmo selep? Enggak jauh dari sini. Tuh di atas sana. Paling juga setengah kiloan aja, Mbak. Tinggal lurus. Kanan jalan ada selep jagung pinggir jalan. Nah, di situ itu rumahnya."
Oh, Tuhan. Ternyata rumah bapak tinggal selangkah lagi. Kami cuma butuh untuk bersabar saja.
Aku bercakap-cakap dengan pemilik warung cukup lama, sepertinya. Karena suasana warung sudah berubah. Tadi yang banyak pembeli, sekarang sudah mulai sepi. Dan akhirnya, kulihat Mas Khalid datang bersama pemilik bengkel. Aku segera beranjak. Membayar sama pemilik warung. Lalu, langsung ngacir saja, kembali ke bengkel.
Setelah semua beres, kami meneruskan perjalanan. Ternyata Mas Khalid juga tahu dari pemilik bengkel bahwa posisi rumah bapak sangat dekat. Tapi, aku menjadi cukup ragu juga, sih, soalnya pas kulirik jam pada dashboard mobil, sudah lebih dari jam sembilan malam. Bukan waktu yang tepat buat bertamu.
Tapi, kami tetap meneruskan perjalanan saja. Hingga kami sampai di depan rumah seperti yang diterangkan pemilik warung dan pemilik benggkel tadi. Hanya saja, lampu-lampu rumah itu telah dimatikan. Hanya tersisa lampu teras dan lampu-lampu di halaman saja.
Kulihat Mas Khalid memandangi rumah itu. Dia menghela napas dalam, lalu menoleh ke arahku. "Sepertinya waktunya enggak tepat, Nur. Kita balik ke kota saja, yuk! Yang penting udah ketemu. Cari penginapan. Kita salat dan istirahat."
Aku hanya mengangguk. Ketegangan setengah hari ini ternyata belum juga berakhir. Tuhan masih mengulur pertemuan kami dengan bapak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meniti kasih
RomanceKhalid, lelaki penyuka sesama jenis yang ingin menjauhi maksiat dengan memutuskan untuk sendiri. Hingga, suatu kejadian membuatnya menikahi Nur, rekan kerjanya. Awalnya, Khalid bertekad menyembunyikan orientasi seksualnya, ingin membahagiakan Nur. T...