44. Khalid

482 72 4
                                    

Sepanjang perjalanan, aku banyak mengobrol dengan Adam. Kebanyakan membahas pekerjaan. Tapi, karena perjalanan ini juga ada niatku untuk mengunjungi bapak, aku pun bercerita tentang bapak kepada Adam.

Hal yang tak berubah dari Adam adalah sikapnya yang sangat menghargai lawan bicara. Itulah yang membuat obrolan kami terasa menyenangkan. Bahkan, sedikit memunculkan kembali rasa berbeda di hatiku. Tentu saja, seketika kutepis hal itu dengan berucap istighfar dalam hati. Dan, beberapa pesan chat dari Nur yang mendarat di ponsel, cukup membuatku terselamatkan beberapa kali.

Perjalanan yang sebenarnya cukup jauh, tak terlalu terasa berat kali ini. Selain karena Adam yang mengemudi, aku juga sudah hafal jalan ke rumah bapak.

Kami sampai di rumah bapak sekitar pukul lima sore. Sedikit lebih cepat daripada kemarin. Karena, ketika berhenti untuk salat Ashar di masjid pun, tak terlalu lama, karena lelaki jauh lebih simple daripada perempuan untuk urusan bersuci dan salat.

Tak kusangka, bapak sudah menunggu di teras. Aku senang sekali. Seketika aku turun dan berjalan cepat, mencium tangan bapak dan memeluknya. Bapak tampak jauh lebih sehat daripada ketika kedatanganku beberapa bulan lalu. Terlebih lagi, kini bapak sudah bisa berjalan menggunakan alat bantu, bukan lagi dengan kursi roda.

Sementara itu, Bu Khadijah berdiri di samping bapak. Sangat awas menjaga bapak dengan baik. Aku menyalami ibu tiriku itu setelah bapak melepas pelukannya. Dan Adam, baru turun setelah memarkirkan mobil di halaman dengan baik.

Bu Khadijah mempersilakan kami untuk masuk dan makan, sembari membantu bapak berjalan masuk rumah. Aku berinisiatif, membantu bapak dan segera meminta pada ibu tiriku itu untuk mengizinkanku memamapah bapak.

Bu Khadijah mengizinkanku. Lantas, berjalan cepat masuk rumah. Sementara aku berjalan pelan mengimbangi langkah bapak. Dan Adam, berjalan sedikit di belakang kami.

Kami makan bersama. Bu Khadijah dan bapak pun ikut makan dengan kami. Bapak juga menanyakan tentang Nur dan kandungannya. Sebenarnya, bapak sedikit kecewa karena Nur tak turut serta. Tapi, aku menjelaskan kalau kedatanganku kali ini ada urusan pekerjaan. Dan mendengar hal ini, bapak tampak antusias.

Kami menyudahi acara makan. Bu Khadijah dan perempuan yang biasa membantunya, mulai sibuk membereskan meja makan.

Kami menunaikan salat Maghrib berjemaah setelahnya. Ketika mendengar adzan berkumandang.

Seusai salat Maghrib, kami duduk santai di ruang tengah. Melanjutkan obrolan, yang sempat terputus mengenai masalah warung, dengan bapak.

"Jadi, kamu mau nyari lokasi di sekitar sini? Maunya di daerah mana, Le?" Bapak membenahi posisinya di sofa kain minimalis abu-abu.

Aku duduk di sebelah bapak, sementara Adam di sofa yang menghadap ke arah lain.

"Ini kami ke sini mau observasi dulu, Pak. Mau nanya sama Bapak dan Lek Tikno juga. Tapi, rencana utama di salah satu Mall di daerah kota, Pak. Hanya saja, ke belakang hari mungkin bisa buka juga di daerah sekat sini. Daerah sekitar tempat wisata juga bagus, sih."

"Oh, begitu. Ini konsepnya usaha apa? Laba-laba?" Bapak mengernyit memandangku.

Aku dan Adam seketika tergelak mendengar pertanyaan bapak. "Waralaba, Pak."

"Oh, iya, itu. Itu gimana maksudnya, Le?"

Aku menjelaskan konsep waralaba kepada bapak. Sebuah usaha penjualan merk dagang yang menawarkan berbagai kemudahan bagi mitra. Selain karena konsep dan manajeman yang sudah matang dari pemilik merk dagang, juga sistem yang tertata baik, memudahkan mitra dalam menjalankan bisnis.

Bapak mendengarkan keterangan kami dengan saksama. Mengangguk-angguk beberapa kali. "Kalau begitu, besok kalian jelaskan sama si Tikno. Dan sepertinya, bapak juga tertarik. Meskipun, dipikir-pikir juga buat apa bapak nambah-nambah bisnis. Tapi, bapak pingin bantuin kamu, Le. Kalau memang kamu jadi buka usaha di sekitar sini, kan jadi lebih sering ke sini sama istri dan anakmu nanti."

"Inggih, Pak. Itu juga salah satu alasan saya. Biar ibu mboten curiga."

"Kalau begitu, besok kalian obrolkan sama si Tikno. Siapa tahu, dia bisa bantu. Apalagi, ada dua anak lelakinya yang dudah beranjak gede. Jadi, bisa buat ancang-ancang usaha untuk mereka. Selain memang tetap menggarap kebum dan sawah."

Kami bercakap-cakap cukup lama. Hingga tanpa disadari, waktu telah beranjak cukup malam.

Kami mengakhiri obrolan ketika menyadari bahwa jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam. Dan baru kusadari, ternyata aku belum menghubungi istriku sejak tadi. Obrolan dan rasa senang bertemu bapak, membuatku melupakan hal yang sebenarnya tak kalah penting ini.

Dan ketika mengingat hal itu, aku segera meminta izin kepada bapak dan Adam untuk menghubungi Nur. Untungnya, aku memang telah menyiapkan kartu perdana cadangan sejak dari rumah. Menggunakan provider internet yang bisa dipakai di sini.

Aku menghubungi Nur melalu panggilan suara. Butuh menunggu tiga kali nada tunggu, hingga panggilan terhubung. Nur berucap salam dengan nada datar yang segera kujawab diikuti permintaan maaf.

"Iya, enggak apa-apa. Mungkin memang aku enggak terlalu penting sekarang."

"Enggak begitu, Nur.... Aku hanya sibuk mengobrol dengan bapak. Dia juga nanyain kamu loh. Bahkan, sempat sangat kecewa karena aku datang bukan sama kamu. Aku janji, deh, pas ke sini lagi, kita berdua, ya? Sekarang kan emang masalah kerjaan. Ya, Sayang?"

"Iya!" Nada suara Nur cukup ketus. Tapi, aku tetap tak patah arang. Berusaha merayunya agar tak lagi merajuk.

Akhirnya Nur pun kembali melunak setelah kami mengobrol beberapa lama. Dan hal ini cukup melegakan bagiku. Aku tak mau timbul masalah lagi antara aku dan istriku. Suasana rumah tangga kami sudah nyaris sempurna.

***

Malam ini, aku dan Adam tidur di kamar depan rumah bapak. Tidur seranjang dengan seprang kawan adalah hal biasa bagi orang lain, tapi tak biasa jika itu aku.

Tak kupikirkan hal semacam ini sebelumnya. Karena, kusangka kalau perasaanku padanya sudah memudar dan hampir menghilang. Tapi ternyata, lagi-lagi aku harus menghadapi ujian berat. Bukan hanya rasa antusias dan nyaman yang kurasa. Hal lebih dan sangat menyiksa pun datang kali ini.

Oh, Tuhan ... ujian yang kupikir sudah usai, mengapa harus kembali hadir? Andai ada Nur di sini, mungkin tak seberat ini. Apakah aku harus menghubunginya? Tapi ... mungkin dia sudah tidur pada malam selarut ini.

Dan malam ini, aku tidur dengan hati yang tak henti melantunkan selawat dan istighfar. Sementara Adam telah terlelap di sampingku.

Meniti kasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang