3. Nur

568 54 4
                                    

Jajan. Satu kata yang setara surga bagiku. Dari kata itu, langsung saja terbayang cilok, gorengan, ciki-ciki. Ah ... benar-benar surga. Dan, sejenak bisa bikin aku melupakan status sebagai pengajar di sekolah ini. Pas bel istirahat berbunyi, aku segera menuju kantor sekolah, menaruh buku-buku. Lalu, cepat-cepat menuju Ibu Penjual jajanan yang sudah dikerubuti siswa.

Dengan tenang, aku berdiri di belakang kerumunan. Dua telapak tangan terjalin di belakang badan. Berbekal tinggi badan yang pastinya jauh lebih tinggi daripada murid-murid MI ini, plus seragam guru, bikin kemunculanku cukup mencolok. Dan pastinya itu menarik perhatian si Ibu Bakul. Inilah enaknya jadi Bu Guru.

Hal ini membuat si Ibu Penjual, segera melayaniku. Pastinya, kesempatan ini enggak aku sia-siakan. Cuma butuh waktu beberapa menit untukku bisa mendapat dua kresek kecil jajanan. Satu berisi dua bungkus cihu alias cilok tahu berbumbu sambal geprek. Dan satunya berisi empat buah es lilin.

Sengaja memang, aku membeli dua bungkus cihu. Soalnya, sebungkus mau kukasih sama Mas Khalid. Sebagai bentuk terima kasih karena sudah dibantu membawa meja dari gudang.

Aku cepat-cepat berbalik, lalu berjalan ke kantor guru. Enggak sabar buat menikmati enaknya cihu pedas. 

Pas masuk ruang guru, kulihat Mas Khalid masih sibuk mengutak-atik HP. Jadi penasaran banget, memangnya ada apa sama HP-nya? Dari kejadian membeli kartu pagi banget, sampai kegiatannya yang selalu mengurus ponsel, kayaknya penting banget. Tapi, etis enggak, sih kalau aku bertanya?

Ada beberapa guru yang masih stay di kantor. Sementara beberapa guru lain, ada yang keluar, ngobrol di depan kantor. Ada juga yang pergi buat mengajar di tempat lain. Guru-guru honorer enggak tetap yang mengajarnya merangkap di beberapa tempat. Biasanya, sih, buat memenuhi persyaratan jam mengajar. Selain juga mencari tambahan honor. Maklum saja, kami dibayar per jam pelajaran. Mana murah pula.

MI ini, bukan sekolah negeri, tapi milik  yayasan agama. Makanya, enggak bisa menggaji dengan nominal besar. Mirisnya pendidikan di negeri ini, ya? Ilmu kayak yang enggak ada harganya. 

Untuk pengajar single dan masih hidup sama orangtua kayak aku, hal ini enggak bakal jadi masalah. Pun enggak bakal maksa mati-matian buat mengajar di banyak tempat. Tapi, bakalan beda buat yang sudah berkeluarga. Dan, salah satu jalan paling ampuh, ya ... mengejar sertifikasi. Karena, tunjangannya bisa buat menutupi sebagian kebutuhan bulanan. Kalau cuma mengandalkan honor per jam, ya, enggak bakalan cukup. Dan salah satu syarat mendapat sertifikasi adalah jumlah jam mengajar minimal yang terpenuhi.

Kalau Mas Khalid ini, aku enggak tahu apa dia sudah mendapat tunjangan sertifikasi atau enggak. Soalnya dia masih stay dan tenang saja di mejanya. Enggak ke mana-mana.

"Masih ada jam ngajar lagi, Mas?" Aku  berdiri di depan meja Mas Khalid. Menaruh sebungkus cihu.

Ih, basa-basiku ini garing enggak, sih?

Mas Khalid seketika mendongak. Mengalihkan pandangan dari layar HP yang sejak tadi jadi perhatiannya. "Oh? Aku, kan, cuma ngajar di sini."

Kulihat dahinya berkerut melihat bungkusan cilok tahu di meja. 

"Buat Mas Khalid. Sekalian bentuk makasih aku udah diambilin meja. Kalau es lilin, Mas Khalid mau?" 

Aku menawarkan es, bukan apa. Soalnya, ada saja orang yang enggak suka es. Tapi kalau cihu, entahlah, aku yakin banget, orang yang enggak suka cihu adalah orang yang sudah enggak normal. 

Cihu bumbu sambal geprek gini enak banget, tauk!

"Kalau ada dan dibeliin, sih, aku mau, ya." Dia terkekeh.

"Oh, Oke, deh." Aku menaruh sebiji es lilin hijau di mejanya. Lanjut, dengan penuh percaya diri berbalik ke mejaku, mengambil kursi, lalu duduk di depan meja Mas Khalid.

Dan kelakuanku ini ternyata lagi-lagi bikin si Mas Khalid yang memang kayaknya rada kaku sama perempuan, terkaget-kaget dan keheranan.

"Enggak apa-apa, kan, kalau ngobrol?" Aku menaruh bungkusan di meja. Entahlah, aku, sih, yakin banget bakal dibolehin. Pertanyaan ini cuma sekadar formalitas saja.

Mas Khalid mengangguk sambil tersenyum. Ih, manis, loh, senyumnya. "Tapi, aku sambil utak-atik ponsel enggak apa-apa, ya?"

"Hu'um. Enggak apa-apa. Oh, ya, Mas, dari tadi kayaknya sibuk banget sama HP. Emang HP-nya kenapa?" Sambil menggigit ujung plastik pembungkus cihu, aku mulai ngobrol sama Mas Khalid.

"Oh, aku ganti nomor. Jadi, aku ngirim chat ke banyak nomor penting. Ngabarin aja."

"Oh .... Kirain apaan. Lah, kok ganti nomor, Mas? Emang nomor yang lama kenapa? Eman, loh, kalau enggak ada apa-apa." 

Ih, buat apa bertanya begini, sih, aku? Udah jelas-jelas kelihatan banget kalau perkara ganti nomor adalah hal penting. Malah nanya. 

"Ada masalah sedikit. Dan ganti nomor adalah satu-satunya solusi." Mas Khalid menaruh HP-nya. Terus, mulai mengambil bungkusan cihu yang kukasih tadi.

Aku enggak memperpanjang pertanyaan lagi setelah sadar kalau pertanyaanku gak jelas banget.

"Aku minta nomornya dong, Mas." Sengaja kualihkan obrolan, agar suasana enggak jadi canggung.

"Sini nomor kamu dulu! Biar aku misscall."

Aku mengeja nomorku, dan Mas Khalid mengetikkannya di HP. Enggak lama setelahnya, HP yang kukantongi, berdengung. Segera saja kuambil dari kantong baju dan segera menyimpan nomor Mas Khalid.

"Mas Khalid kok ngajar di sini doang? Emang jam ngajarnya cukup? Atau Mas ini ASN yang ditugasi Kemenag?" Aku malah lebih yakin dengan pertanyaanku yang terakhir. Aku ingat banget, deh. Mas Khalid ini langganan juara kelas pas SD. 

Mas Khalid cuma geleng-geleng saja. Ya ... soalnya pas aku bertanya, dia lagi sibuk menggigit cilok dari plastik. Baru setelah mulutnya kosong, dia menjawab, "Aku ngajar matematika. Jadi, jam ngajarku udah cukup. Tapi, aku cuma guru honorer saja. Bukan ASN, kok."

Kami terus saja ngobrol. Cukup banyak, sampai bel masuk berbunyi lagi. Dari alasan Mas Khalid enggak daftar jadi ASN, karena katanya enggak bisa memilih sekolah, sampai alasan dia memilih MI ini.

Dan alasan-alasan itu bikin aku terkagum-kagum sama lelaki baik ini. Udah cakep, birrul walidain, eh ... niatnya mengajar juga bagus banget.

Kata Mas Khalid, dia mengajar di sekolah ini murni buat mengamalkan ilmu. Soalnya, MI ini rintisan salah satu guru ngaji dia dulu. Kata Mas Khalid, sih, dia juga niat mengabdi sama guru ngajinya itu.

Dan perihal birrul walidain, sudah enggak disangsikan lagi, deh. Sudah terkenal sekampung kalau Mas Khalid itu anak paling berbakti. Sejak SD dulu, dia itu rajin banget bantu-bantu ibunya buat beberes rumah, mencuci, bahkan dengar-dengar juga bantu-bantu di dapur.

Tapi, aku lupa enggak bertanya, apa Mas Khalid sudah menikah, ya? Atau minimal sudah ada calon istri? Ah, kayaknya kalau lelaki seperti dia, sudah pasti sold out. Perempuan mana, sih, yang enggak mau? Enggak cuma itu, deh. Dia juga tipe mantu idaman emak-emak sekampung.

Dan memang mungkin karena dia rada kaku atau terlalu menjaga diri, jadi obrolan kami malah lebih banyak membahas tentang Mas Khalid saja. Soalnya, malah aku yang lebih banyak bertanya dan aktif ngobrol.

Meniti kasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang