46. Nur

463 69 1
                                    

"Mas, nanti aku ikut ke kota, ya kalau Mas ngecek warung yang di sana? Aku mau mampir buat beli perlengkapan bayi." Aku memandang suamiku yang sedang sibuk memeriksa tugas siswa di mejanya. Sementara aku sudah selesai dengan tugasku. Jadinya, aku santai di mejaku.

"Hmmm ..." Mas Khalid hanya menganguk. Enggak menoleh sedikit pun. Ingin mengamuk rasanya aku. Dia secuek itu sekarang. Tapi, mana mungkin aku marah di sini? Pada jam istirahat macam ini, jelas guru-guru berkumpul di kantor sekolah. Jadinya, kudiamkan saja. Yang jelas nanti sore aku akan ikut Mas Khalid ke kota.

"Beneran, ya, Mas. Jangan sampai lupa! Aku belum punya apa-apa buat persiapan lahiran."

Mas Khalid menghentikan pekerjaannya seketika. Meletakkan pena kemudian sedikit memutar tubuhnya menghadap padaku. Dia menghela napas dalam, lalu mengembuskannya cepat. "Nur, kalau aku bilang iya, itu artinya iya. Paham?"

Aku mengangkat kedua alisku. Memutar bola mata sembari mencebik. "Okeh."

***

Aku bersiap-siap untuk ikut Mas Khalid ke warung. Dengan daster batik rayon kesukaanku dan hijab kaos instan yang simple. Ternyata memang benar, ketika umur kehamilan sudah memasuki trimester akhir, suhu badan makin panas. Aku makin sering kegerahan. Makanya, memakai baju dengan bahan adem adalah pilihan yang pas.

Setelah kurasa penampilanku sudah beres, kuambil slingbag yang biasa kugantung di gantungan. Lalu menyampirkannya di pundak. Melangkah keluar kamar, hendak menghampiri Mas Khalid yang tadi bilang kalau mau menunggu di ruang tamu.

Tapi, baru saja kututup pintu kamar, kulihat Mas Khalid berjalan ke arahku. Aku menoleh dan memandangnya penuh tanya.

"Nur, kita enggak jadi ke kotanya sekarang, ya? Maafin aku. Aku janji, deh, besok atau lusa kita belanja."

Aku mengernyit. Ingin rasanya aku marah saja. Benar-benar kecewa rasanya. "Kenapa?"

"Adam barusan telepon, ada calon pewaralaba dari Pasuruan ingin bertemu. Dia sebentar lagi mau ke sini menjemputku. Kalau kamu ikut, kan, jadinya enggak enak."

"Oh. Oke." Aku menghela napas dalam dan mengembuskannya cepat. Sebenarnya aku sangat kecewa dan marah. Tapi, semua kutahan.

Kubuka lagi pintu kamar. Menggantung slingbag di gantungan, membuka hijab. Lantas, menjatuhkan diri di ranjang. Ingin rasanya aku tidur panjang biar bisa menghilangkan rasa marah yang menggelegak di dada.

***
Kupikir, omelan ibu minggu lalu, bakal mempan sama Mas Khalid dan mengurangi kesibukannya. Nyatanya, dia seolah-olah enggak menggubrisnya sama sekali. Enggak hanya itu, aku pun makin merasa jauh darinya.

Dan, hal yang cukup membuatku cemburu, lagi, adalah dia selalu ngomongin Adam, Adam, dan Adam. Perasaanku jadi enggak enak lagi.

Padahal, tiga bulan lalu, di awal-awal pembukaan warung, Mas Khalid udah mulai hangat sama aku. Kami sering melakukan hubungan suami istri dengan inisiatif dari Mas Khalid. Bahkan, aku enggak perlu aktif banget, Mas Khalid bisa senatural itu. Tapi akhir-akhir ini, jadi jarang lagi. Vibes-nya jadi kayak pas pertama nikah dulu. Aku jadi enggak enak hati. Jadi curiga dengan semua ini.

Apalagi, dia kembali melanggar janjinya tentang membelikan perlengkapan bayi. Ada saja alasannya buat menunda-nunda semua.

Malam ini, aku berusaha membangun komunikasi dengan suamiku. Menemaninya di ruang tengah. Meskipun aku merasa layaknya obat nyamuk bakar saja. Sama sekali enggak dihiraukan keberadaannya. Mas Khalid sibuk banget sama berbagai kertas yang entah apa.

"Mas, umur kandunganku udah 35 minggu, loh. Kata bidan, ini udah harus waspada di minggu 37. Jadi tinggal dua mingguan lagi."

"Iya ... Nanti kita ke kota buat belanja. Aku pinjemin mobil Lek Narto."

Mas Khalid yang tadinya menjawab tanpa menoleh dan terus sibuk sama kertas-kertas di meja, kini meletakkan pena. Menegakkan punggung dan menghela napas dalam. "Andai punya mobil sendiri, pasti lebih nyaman. Kemarin aku ngobrol sama Adam. Dia menyarankan beli mobil second saja kalau bisnis sudah stabil. Padahal, aku ingin mengangsur biar bisa punya mobil secepatnya. Agar lebih mudah kalau ke Jember. Enggak perlu rental mobil lagi atau pinjam sama Lek Narto."

Aku mengernyit mendengar ide gila suamiku itu. Terlebih lagi, hal semacam ini, bagaimana bisa dikonsultasikan sama temannya dulu, bukannya sama aku.

"Mas Khalid ini sudah lupa diri rupanya. Jangan terlalu terobsesi, Mas. Sudah kubilang dari awal, kan? Aku ini enggak minta lebih dari Mas. Kerja semampunya saja. Enggak perlu terlalu ngoyo begini. Apalagi, musyawarah hal penting, kok, ya, sama Adam dulu, bukannya sama aku." Aku mendengkus kasar. Lantas, beranjak cepat dan melangkah melewati suamiku. Sengaja menyenggol lututnya sambil berlalu ke kamar. Menutup pintu dengan cukup keras.

"Nur!" Masih sempat kudengar Mas Khalid memanggilku, tapi peduli amat. Aku benar-benar sebal kali ini.

Aku menjatuhkan diri di ranjang. Tidur miring dengan memeluk guling. Menutup kepala dengan bantal. Menangis sepuasnya.

Jujur saja, hatiku sakit. Sakit banget. Aku masih cemburu sebenarnya dan berharap Mas Khalid sekali ... saja perhatian lagi sama aku. Apalagi, kandunganku sudah semakin membesar. Apa dia enggak bisa meluangkan waktu buat sekadar belanja atau mengobrol santai seperti dulu?

Apalagi, dia sempat ingin mengangsur mobil? Ide gila macam apa itu? Bukankah dia tahu alasanku enggak mau menerima tawaran perjodohan yang lalu karena masalah riba, malah dia mau melakukannya.

Oh, Tuhan ... ternyata keputusanku untuk terus bertahan dengan Mas Khalid, emggak semudah bayangan. Begitu sulit dan berliku. Ternyata banyak yang harus dibenahi.

Sungguh, rasa ingin dicintai dan dimanja, semakin menjadi-jadi saja. Membuatku ingin menyerah agar enggak larut dalam harapan yang sulit tergapai.
***

Meniti kasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang