50. Nur

654 82 8
                                    

Aku berjalan mengekori suamiku yang menuntun motor. Kemudian dia memarkirkannya di halaman rumah Adam. Setelah meletakkan helm dengan baik pada jok motor, kami berjalan beriringan. Memencet bel dan menunggu beberapa saat, sampai seorang perempuan membukakan pintu dan mempersilakan kami masuk.

Enggak seperti kunjunganku sebelumnya, sekarang, aku duduk di ruang tamu, di sebelah suamiku. Dan enggak perlu menunggu lama, Adam dan istrinya keluar menemui kami.

Kami saling bersalaman, lalu kembali duduk. Berbasa-basi sebentar. Dan, terjeda oleh kedatangan perempuan tadi dengan membawa suguhan untuk kami.

"Jadi, kejutannya sekarang atau nanti-nanti aja, nih?" Tiba-tiba Adam mengalihkan fokus pembicaraan, ketika perempuan tadi sudah kembali masuk rumah.

Aku yang memang sejak tadi rada gelisah, seketika terkejut, dong. Memandang kepada Adam dan Mas Khalid secara bergantian dengan penuh tanya. Dan kulihat juga istri Adam malah mengulum senyum. Duh, rasanya cuma aku yang bego sendirian di sini.

Mas Khalid menoleh kepadaku. Dia tersenyum misterius. Lalu, kembali menoleh sama Adam. "Sekarang aja, deh, Dam!"

"Oke kalau gitu. Ayo kita lihat!" Adam dan istrinya berdiri. Lalu melangkah untuk masuk ke ruang tengah rumahnya.

Lantas, diikuti Mas Khalid yang kemudian berisyarat padaku untuk mengikuti mereka. Sementara aku, hanya mengangguk, menuruti ajakan suamiku dengan hati yang tak henti bertanya-tanya.

Dan, aku terkesima banget pas melihat stroller yang masih terlipat dan terbungkus plastik. Sementara di sebelahnya, ranjang bayi dalam kondisi serupa. Jelas ini barang baru dan bukan milik keluarga Adam. Terlebih lagi, kesemuanya berwarna biru tua, seolah-olah memang disesuaikan sama perkiraan jenis kelamin janin yang kukandung.

Aku mematung sesaat. Memandangi kedua benda itu. Apalagi, di sebelahnya ada satu karton tanggung yang masih terisolasi rapi.

"Yang di karton itu, baju-baju bayi dan gendongannya. Mau dibuka?" Istri Adam menoleh padaku. Tangannya berisyarat pada karton tadi.

Aku yang masih terkesima, mengalihkan pandangan kepada wanita cantik itu. Lalu, menggeleng pelan. "Enggak perlu. Biar begitu saja!"

Mas Khalid mendaratkan tangannya di pundakku. Lalu, mengusapnya lembut. "Gimana? Masih berpikir kalau aku enggak peduli sama calon bayi kita?"

Aku menoleh, lantas tersenyum kecut sembari menggeleng. "Maaf, ya, Mas? Karena udah berpikiran buruk."

"Enggak apa-apa. Wajar, kok. Salahku sendiri juga main rahasia-rahasiaan. Sebenarnya aku cuma enggak mau ngerepotin kamu. Dan kamu tahu sendiri kalau ibu pasti akan ngomel-ngomel kalau tahu kita beli macam-macam sebelum bayinya lahir, kan?"

Lagi. Aku tersenyum kecut. "Iya, sih."

"Lagipula, aku sengaja nitip ini semua sama istri Adam. Kan, kakaknya punya baby shop. Harusnya, semua barang ini, masih dititipin di toko. Tapi, karena kamu udah marah-marah, kemarin aku menghubungi Adam biar dibawa ke sini dan ngasih tahu ke kamu. Lalu baju-baju dan gendongannya, sengaja kupilih biru tua. Dan dibordir dengan inisial nama yang sudah kita persiapkan."

"Jadi gimana, Mbak? Masih mau ngambek lagi? Si Khalid ini bucin loh sama Mbak. Kalau lagi ke Jember, dia sibuk maunya teleponan melulu. Sampe bosen lihatnya." Adam terkekeh yang membuatku tersipu malu.

Oh, Tuhan. Mas Khalid sebaik ini. Apakah ini pertanda dia sudah mencintaiku? Entahlah. Yang jelas kali ini aku sangat bahagia.

***

"Mas ..." Aku membenahi posisi. Tidur miring menghadap suamiku. Dengan kepala yang kudaratkan di lengannya. Berusaha mendekat semaksimal mungkin, meskipun sedikit kesulitan karena perut yang sudah membesar.

"Hmmm ...?" Mas Khalid menoleh.

"Mas Khalid nyiapin itu semua, terus Adam juga bilang kalau Mas Khalid selalu sibuk mau telponin aku melulu. Emang udah enggak ada perasaan lagi sama si Adam?"

Mas Khalid menghela napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. "Mas mau nanya dulu sebelum menjawabnya. Sepenting apa, sih, pernyataan cinta untuk kamu? Penting banget?"

"Ehm ... entahlah. Kayaknya penting. Kalau harus jujur, aku hanya ingin tahu rasanya dicintai kayak istri-istri yang lain." Aku kembali menyeringai.

"Mas jawab jujur, ya? Sebagai bukti kalau Mas ini memang berusaha menjadi suami yang baik dan sayang sama kamu." Kalimat Mas Khalid tejeda oleh helaan napas. Sementara aku memusatkan seluruh indra pendengaran dan penglihatanku untuk menyimak kalimat yang bakal diucapkannya.

"Sejujurnya, aku itu sayang banget sama kamu. Kalau enggak sayang, aku pasti akan marah-marah kalau kamu merajuk. Tapi buktinya, aku kan, selalu berusaha membuatmu ketawa lagi."

"Iya, sih. Tapi, apa enggak ada cinta-cintanya dikit, gitu?"

"Cinta ...? entahlah. Yang jelas, aku akan cemburu banget kalau sampai kamu suka sama orang lain. Tapi ... hal-hal tak seharusnya, kadang masih muncul dalam pikiran dan perasaanku. Menurutmu gimana?" Mas Khalid menatapku lekat-lekat.

Aku menggeleng pelan. "Entahlah. Apakah ini akan bertahan selamanya, Mas?"

"Kamu akan kecewa kalau Mas terus begini? Meskipun enggak pernah mengkhianatimu dan terus berusaha setia?"

Aku menghela napas dalam. Memutar bola mata sekali. Lalu melempar pandangan kosong ke depan. "Entahlah. Aku kadang cuma ingin Mas mencintaiku seperti aku mencintai Mas Khalid."

Tiba-tiba, Mas Khalid mempererat pelukannya. Menarikku ke dalam rengkuhannya. Membelai lembut punggung kepalaku. "Bersabarlah sebentar lagi, ya, Nur? Doakan Mas mampu. Insyaallah doamu akan diijabah."

Aku terdiam. Membalas pelukan suamiku. Leherku rasanya tersekat. Kurasakan detak jantung Mas Khalid. Bagiku, detak jantung ini serupa irama indah dan menenangkan.

Dan dalam diam, aku tiba-tiba tersadar. Enggak terlalu penting bagaimana bentuk cinta suamiku ini kepadaku. Usahanya untuk mencintaiku dan selalu teguh menjaga diri dari maksiat, lebih agung dari sekadar hasrat yang mengatasnamakan cinta. Bukankah, caranya mencintaiku yang begini ini adalah sebentuk cinta yang teramat istimewa?

Aku sadar, selama ini, aku terlalu memaksakan diri. Menuntut untuk dicintai, karena merasa telah mencintai. Padahal sejatinya, yang kulakukan adalah sebentuk arogansi dan kesombongan semata. Hanya ego yang kusebut cinta.

Bukankah, menuntut untuk dicintai, adalah sebentuk arogansi nyata?

[END]

Ditunggu 1 part lagi untuk Epilog ya🥰🥰🥰

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 07 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Meniti kasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang