Jalanan sudah agak lengang. Bahkan, saat ini lebih didominasi kendaraan angkut berukuran besar. Hanya satu dua saja kulihat motor masih berlalu-lalang. Sementara mobil, masih ada beberapa. Barusan terakhir kulihat jam, sudah lebih dari jam sembilan malam.
Aku memasukkan sisa bakso ke dalam kotak plastik transparan berukuran tanggung. Sisa malam ini lebih banyak dari kemarin. Ternyata video itu benar-benar membawa efek pada penjualan kami.
"Nyisa lagi, Mas," asistenku berbicara sembari mendorong gerobak ke dalam warung dan memosisikannya dengan baik.
"Enggak apa-apa. Besok hasil Lab-nya sudah ada kok. Aku akan menghubungi pengunggah videonya. Kalau enggak mau bikin video klarifikasi, terpaksa kubawa ke jalur hukum, sih." Aku mulai menaikkan satu persatu wadah ke motor dan mengikatnya.
Tadi siang, Adam mengabariku kalau istrinya sudah mengambilkan hasil tes dari laboratorium. Dan besok siang, dia akan kembali mampir ke rumah.
Ah, aku masih sedikit cemburu ketika Adam menceritakan tentang istrinya. Tapi ... perasaan itu tak terlalu menyakitiku seperti dulu. Sekarang, perasaanku sepertinya hanya perihal hasrat saja. Malah aku jadi lebih cemas kalau Adam jadi datang ke rumah besok. Bisa jadi Nur akan kembali merajuk.
Usai semua hal tentang warung beres, aku segera menguncinya dan pulang dengan membawa sisa dagangan yang tak terjual. Besok aku akan mengurangi atau malah tak perlu membeli daging dulu saja.
Sepanjang perjalanan ke rumah yang hanya sekitar lima ratus meter saja itu, aku tak henti memikirkan tentang kedatangan Adam besok. Urusan dagangan yang tersisa, tak terlalu membuatku cemas. Nur yang merajuk jauh lebih menakutkan bagiku.
Tapi ... kalau setiap hari kondisi warung semacam ini, tentu saja aku akan sangat cemas. Terlebih lagi ucapan ibu kemarin tentang bermotor di malam hari. Itu membuatku berpikir untuk semakin rajin mencari nafkah bagi keluarga kecil kami. Aku malah berpikir jika buah hati kami lahir, mana mungkin aku bisa seenaknya membawa bayi mungil hanya dengan mengendarai motor? Tapi ... aku juga masih menabung untuk mendaftarkan ibu berhaji.
Ah, tak pernah kuduga sebelumnya jika berumah tangga serumit ini. Tapi, aku juga sangat bahagia dengan keberadaan Nur dan buah hati kami yang akan lahir. Mencari nafkah bukan masalah jika melihat orang-orang yang kusayangi berbahagia.
Nur menyambutku seperti biasa. Dan, air mukanya yang menyiratkan kekecewaan ketika melihat sisa bakso di keranjang, membuatku tak nyaman.
"Aku jadi gemes sama orang iseng itu." Nada suara Nur terdengar geram. Dia membawa wadah berisi beberapa gulung mie dan sisa sayur bakso. Berjalan sedikit mengentak, masuk dapur.
Aku hanya menggeleng sembari menggulung tali karet yang kupakai mengikat keranjang tadi. Lantas, menuntun motor untuk kumasukkan ke ruang belakang. Sementara beberapa wadah kubiarkan saja di halaman samping, untuk kuangkat setelah memarkirkan motor.
"Sudahlah, Nur! Hasil Lab-nya sudah ada, kok. Besok Adam akan mengantar ke sini katanya." Aku menurunkan standar tengah motor dan memarkirkannya tak jauh dari kulkas. Sementara Nur sibuk memasukkan wadah dan menatanya di dalam kulkas.
"Syukur, deh. Sepertinya aku memang harus berdamai dengan si Adam itu. Mau enggak mau, ya, harus berterima kasih karena udah ngebantuin." Nada suara Nur terdengar kesal. Aku diam saja karena tak ingin memperpanjang perdebatan.
Aku berbalik untuk kembali ke halaman, mengambil sisa wadah yang masih belum kubawa. Meninggalkan Nur yang masih bergumam tak jelas.
Usai membereskan dagangan dan menunaikan salat Isya, aku segera melangkah ke kamar, membuka pintu perlahan. Kulihat Nur sudah berbaring miring sambil memeluk guling. Tapi, aku tahu kalau dia belum tidur. Masih begitu kentara dari napas dan gerakan-gerakan kecilnya.
Perlahan, aku menghampiri ranjang. Merebahkan diri di samping Nur. Setelah sebelumnya mematikan lampu dan menyisakan lampu tidur temaram. Aku memeluk Nur dari belakang.
Entahlah, sejak tahu tentang kehamilan istriku ini, ada rasa berbeda di hatiku. Meskipun tetap tak bisa serta-merta dengan mudah membangkitkan hasrat. Tapi, rasa posesif semakin besar. Karenanya, malam ini aku berinisiatif untuk terlebih dahulu mengajak Nur melakukannya.
Dan mungkin karena masih merajuk, Nur terkesan jual mahal. Dia menepis tanganku sembari berdecak. Aku hanya mengulum senyum. Tetap melanjutkan aksiku. Sejatinya, aku kesulitan menyamankan rasa. Tapi, dalam hati terus saja memohon kepada Tuhan agar membimbing dan memberi kemampuan untuk membahagiakan Nur lebih dari biasanya.
Hingga, akhirnya Nur mulai bereaksi dan aktif untuk membantuku. Dan kami pun tenggelam dalam cinta kasih hangat. Semoga ini bisa mengurangi masygul di hati istriku.
***
"Aku menawarkan kerja sama, Lid. Coba pikirkan lagi, deh! Kamu bisa memperbesar usahamu, tapi bisa mengurangi jam kerjamu di warung. Malah kamu enggak perlu ke warung untuk melayani pembeli. Kamu cuma butuh untuk mengontrolnya. Apa kamu enggak ingin lebih banyak waktu sama istri dan calon bayimu nanti?" Adam terus saja mendesakku untuk bekerja sama dengannya, membuka bisnis bakso. Adam datang sore hari. Sama seperti kedatangannya yang pertama kali kemarin.
Adam ingin menjadikan moment viralnya isu daging tikus ini sebagai titik balik bagi jualanku. Dia ingin mengembangkan usaha ini dan membentuk usaha waralaba.
Kuakui, Adam memang berbakat dalam hal berbisnis. Dan alasan dia menempuh pendidikan keperawatan dan menjadi mantri hanyalah demi menyenangkan orangtuanya yang ingin dia menjadi dokter. Tapi, Adam malah menempuh pendidikan keperawatan. Alasannya, hanya karena dia tetap ingin berbisnis.
Ternyata Adam memiliki sebuah toko obat cukup besar yang sedang dalam proses peralihan menjadi apotek. Dan untuk usaha bakso ini, Adam menjelaskan ide dan konsep yang akan diusung dengan sangat jelas. Bahkan, sudah memiki draft rencana. Padahal, belum tentu juga aku menyetujui tawarannya itu.
Sejujurnya, di dalam hati aku sangat senang dengan tawaran ini. Aku bisa memperbesar usahaku tapi bisa punya banyak waktu di rumah.
Tapi, ada alasan yang membuatku ragu. Aku melihat Nur melirik tajam ke arahku. Dan lagi, ada secuil rasa aneh dalam hati. Aku merasa jika bekerja sama dengan Adam, bisa kembali dekat dengannya. Dan ... sepertinya, keinginan lebih, lagi-lagi mengusik.
"Ehm ... aku musyawarah sama ibu dan istikharah dulu aja kali, ya, Dam? Soalnya ini, kan, hal baru." Aku mencoba menolak halus. Tapi sebenarnya, tak benar-benar menolak. Aku masih ingin mempertimbangkan tawarannya ini.
"Ya udah, aku pamit, dulu. Ingat, loh, jangan lama-lama mikirnya! Kesempatan enggak datang dua kali." Adam beranjak dari kursi, mengulurkan tangan dan berpamitan.
Temanku itu memutar tubuh dan melangkah ke pintu. Kurasakan Nur hendak melangkah ke dalam rumah. Segera saja kuraih pergelangan tangannya, menahannya agar tetap di sampingku. Menunggu Adam benar-benar pulang.
Kami mengantar teman lamaku itu, hingga dia naik ke mobilnya dan berlalu. Sementara itu, kurasakan Nur berusaha melepas cengkeraman tanganku.
Aku menoleh, tersenyum hangat kepada Nur yang mengernyit dan menatapku tajam. "Jangan ngambek di sini. Tuh, banyak orang lewat. Kita masuk, yuk!"
Aku memperkuat cengkeraman tanganku. Nur tak lagi meronta. Tapi, kulihat air mukanya masih cemberut.
Aku membimbing istriku untuk masuk kamar. Mencoba membicarakan semua baik-baik. Aku pun tak ingin ibu curiga akan hal ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meniti kasih
RomanceKhalid, lelaki penyuka sesama jenis yang ingin menjauhi maksiat dengan memutuskan untuk sendiri. Hingga, suatu kejadian membuatnya menikahi Nur, rekan kerjanya. Awalnya, Khalid bertekad menyembunyikan orientasi seksualnya, ingin membahagiakan Nur. T...