9. Khalid

461 48 1
                                    

Aku memarkir motor, lantas menurunkan wadah-wadah kosong dari motor. Wadah yang tadi berisi bahan bakso dan mie.

Aku biasanya memang membawa bakso dan mie dalam beberapa wadah, berupa timba dan keranjang bekas buah. Lantas, kutata dan kusiapkan semua di warung. Sementara gerobak bakso, kutinggalkan saja di warung. Hal ini karena, membawa gerobak dan berjalan dari rumah, akan cukup melelahkan bagiku. Jarak rumah dan kios cukup jauh, sekitar hampir satu kilometer.

Seperti biasa, wadah-wadah kosong itu telah dicuci dengan baik. Dua asistenkulah yang membersihkannya tadi. Kalau dulu, aku melakukannya sendiri. Dan hal itu cukup membuatku kepayahan.

Biasanya, warung kututup jam sembilan malam. Dan, butuh waktu sekitar satu jam untuk menyelesaikan semua. Tapi, tak jarang aku bisa menutup warung sebelum jam sembilan, karena dagangan sudah habis. Karena itu, sekitar jam sepuluh sampai setengah sebelas, aku baru akan tiba di rumah

Dalam seminggu, aku berjualan hanya enam hari. Karena aku memilih untuk libur di hari kamis. Aku tak memilih hari Sabtu karena biasanya di hari itulah warung lebih ramai. Bahkan, aku bisa menutup warung pada jam delapan malam atau sebelumnya.

Aku mengangkat satu per satu wadah yang telah kuturunkan ke dapur. Meletakkannya kembali di bale-bale, lantas kembali lagi untuk segera memasukkan motor ke ruang belakang dan mengunci pintu.

Seperti biasa, aku akan berganti pakaian dulu di kamar, sebelum melaksanakan salat Isya', untuk selanjutnya beristirahat. Dan, ketika melewati ruang tengah, ternyata kulihat ibu masih menonton televisi sembari berbaring miring di sofa.

"Belum tidur, Bu?" Aku menghentikan langkah sesaat. Lantas, melangkah mendekati ibu. Berjongkok dan mencium tangannya.

Ibu mengubah posisinya, duduk di sofa. Mengelus kepalaku perlahan sembari melantunkan selawat dan doa. Biasanya ini akan kulakukan setiap hendak berangkat atau pulang bekerja. Tapi, jika pulang dari warung, aku tak selalu melakukannya, karena biasanya ibu sudah tidur ketika aku sampai di rumah.

"Ibu habis kedatangan tamu Pak Lekmu. Baru saja jam sembilanan ini dia pulang. Tapi, ibu sik endak bisa tidur. Makanya nonton dulu sebentar.  Tadi Pak Lekmu datang buat ngomongin masalah pernikahan kamu itu. Dia kan saudara laki-laki ibu, Le. Tempat musyawarah. Kalau kamu sudah menikah, ya ... kamu nanti yang jadi tempat musyawarah ibu. Rondo begini, butuh sama yang namanya saudara laki-laki."

Aku terdiam mendengar kalimat-kalimat yang keluar dari bibir ibu. Teringat bagaimana ibu benar-benar bergantung kepada paman kalau menyangkut masalah yang memang memerlukan musyawarah dan bantuan lelaki.

Ah, tiba-tiba saja aku teringat pada bapak. Dan ... jika ingat tentang bapak. Lelaki yang sama sekali tak kuketahui sosoknya. Bahkan, nama bapak pun kuketahui dari salah satu bibiku, kakak dari ibu. Tak ada sisa-sisa jejak bapak sedikit pun di rumah ini. Ibu telah membuang semuanya jauh-jauh. Mengubur semua kenangan tentang bapak dalam-dalam.

Aku tak terlalu tahu jelas cerita tentang bapak. Tapi, menurut penuturan orang-orang, kemungkinan bapak masih hidup. Bapak adalah orang Jember. Menikah hanya empat tahun dengan ibu. Setelahnya, dia pergi. Entah ada konflik apa. Aku tak terlalu tahu jelas. Kala itu, umurku masih dua tahunan.

Dan setelahnya, ibu tak pernah menikah lagi. Menjadi janda di usia yang sangat muda. Bekerja keras memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Membesarkanku dengan baik. Aku dibesarkan hanya oleh sosok ibu.

Sejak kecil, aku selalu ikut ibu ke pasar. Dan ketika telah masuk sekolah dasar, aku tak pernah ikut lagi. Karenanya, aku samgat dekat dengan ibu. Aku begitu menyayangi ibu.

Ini yang membuatku berharap banyak dari pernikahan ini. Karena, inilah jalan untuk memenuhi keinginan terbesar ibu dan membahagiakannya.

Ibu terus saja menceritakan pembicaraannya bersama Pak Lek tadi. Hingga dia tersadar kalau ternyata aku beru pulang dan belum salat Isya.

Meniti kasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang