26. Khalid

488 56 3
                                    

Pesan obrolan dari istriku, menambah semangat pagi ini. Sejak bangun dini hari tadi saja aku sudah begitu bersemangat menunggu siang agar bisa segera menjemputnya. Dan pagi ini malah Nur berkirim pesan terlebih dahulu padaku.

Memang, sih, mendapat pesan obrolan dari Nur biasanya bukan hal istimewa. Tapi, kali ini rasanya lain dan teramat sangat istimewa. Karena, selama hampir tiga hari di pesantren, Nur tak mengirimiku pesan sama sekali. Bahkan, pesan-pesan yang kukirim, diabaikannya begitu saja. Dia hanya membacanya, atau membalas hanya dengan emotikon jempol.

Aku yang baru saja duduk dan meletakkan tas di meja, segera saja menghubunginya. Aku ingin mendengar suara istriku. Memastikan kalau amarahnya sudah mereda. Kemarin, ketika kutinggal pulang, dia masih saja dengan raut wajah minim senyum.

Dan lagi-lagi, aku sangat senang. Karena, hanya butuh menunggu sekali nada tunggu saja untuk Nur mengangkat panggilan dariku.

"Kalau kamu sudah siap, istirahat sekolah pun aku bisa, kok, jemput kamu, Nur." Aku begitu antusias hingga lupa untuk mengucap salam.

"Terserah Mas saja. Tapi, kan, aku enggak ngajar. Jadi, Mas balik sendirian ke sekolah. Emang enggak apa-apa?" Nada suara istriku sedikit lebih lembut. Seolah-olah dia mengkhawatirkanku.

"Kamu mau aku temani di rumah? Kalau mau, aku bisa izin untuk jam pelajaran setelah istirahat."

"Ehm ... enggak usah, deh. Biar nanti aja pulangnya. Bakda Dzuhur."

"Oh, ya udah kalau gitu. Sampai ketemu nanti ya, Sayang." Sengaja, aku memanggilnya dengan kata sayang. Aku ingin membiasakan diri. Mungkin saja bisa menjadi doa dan membuat hatiku hanya memikirkan Nur saja. Dia yang halal dan selayaknya selalu kuingat.

"Sayang?" Nur sepertinya sedikit heran. Tapi aku suka. Biar suasana hatinya membaik.

"Iya. Kenapa? Kamu enggak suka? Mas akan membiasakan diri berbuat manis untuk sekarang. Meskipun mungkin kaku. Bukan hanya ucapan yang merupakan doa. Perbuatan juga doa, kan?"

Hening ...

"Oh." Hanya itu jawaban istriku. Dan dari jawaban pendek itu, semakin membuatku penasaran. Mungkinkah dia sedang tersipu-sipu?

Panggilan pun terputus setelah kami saling berucap salam. Dan pagiku ini terasa lebih bersemangat.

***

Nur meletakkan ransel di ujung ranjang. Lantas, membuka hijab dan menggantungnya di gantungan. Sementara aku menyalakan kipas dinding. Lantas, duduk di bibir ranjang.

"Aku belum ngomong sama ibu tentang kehamilanmu. Biar nanti saja kita ngomong barengan."

"Aku ngikut aja. Sama emak dan bapak pun aku belum ngomong, kok."

"Oh, ya udah kalau gitu. Kita ngomong barengan aja besok pagi."

Kulihat Nur membuka lemari. Mengambil daster katun berlengan pendek dan mulai berganti pakaian. Dan aku hanya memperhatikannya sembari duduk sedikit membungkuk. Mencoba mengamati rasaku.

Aku takut kehilangan istriku ini. Tapi ... ketika melihatnya dengan pakaian sedikit terbuka, tak serta merta mampu membangkitkan hasratku. Aku hanya merasa posesif. Tapi belum benar-benar berhasrat.

Dan jujur saja, ingatanku tentang Adam, masih acap kali mengganggu. Semoga aku mampu untuk menahan semua. Teguh di jalan ini.

Nur melangkah mendekatiku. Duduk di sampingku dengan posisi sedikit menyamping. Tangannya mendarat di pundak. Menatapku lekat-lekat. Dia menghela napas dalam kemudian mengembuskannya perlahan. "Mas udah denger kabar enggak?"

Aku mengernyit. "Kabar? Tentang apa?"

Jujur saja, seketika perasaanku tak nyaman. Pikiranku jadi menebak-nebak. Khawatir kalau-kalau kabar itu adalah tentang kehamilan istriku atau keputusannya untuk menyudahi pernikahan kami.

"Mas Khalid enggak punya sosmed, ya?" Nur menjatuhkan pandangan ke lantai. Menarik tangannya dari pundak dan mendaratkannya di pangkuan. Kembali menghela napas dalam.

"Aku ada sosmed. Tapi akun fake, bukan pakai namaku. Cuma buat gabung di komunitas hijrah. Itu pun jarang aku buka. Memangnya ada apa, Nur?"

Nur mendongak dan kembali menatapku. "Tadi pagi ada video tentang warung, Mas. Mungkin akan ramai menjadi perbincangan dalam beberapa hari. Jadi, sebelum semua terlambat, kita harus segera mengambil tindakan."

"Memang ngebahas apa?" Aku mengubah posisi makin menyamping agar bisa menghadap lebih lurus kepada Nur.

"Isu bakso daging tikus. Yang jadi masalah, malah warung kita yang jadi background dan ada nama kecamatan ini."

"Waduh. Jadi, kita harus bagaimana?"

"Mungkin sebaiknya segera melakukan tes lab, Mas. Lalu mengunggahnya sebagai klarisfikasi jelas. Atau jika Mas mau, bisa menempuh jalur hukum. Kita laporkan ke polisi." Nur mengangkat kedua bahunya.

"Ke polisi? Duh, aku kok males, ya, mau urusan panjang gitu. Tapi enggak apa-apa untuk persiapan. Hanya saja, apa enggak bisa kita selesaikan baik-baik, ya? Mumpung belum ramai."

"Ya ... mungkin bisa. Tapi sebagai persiapan, mending kita lakukan tes dulu. Ada sisa bakso kemarin, gak?"

"Kalau baksonya enggak ada. Biang kaldu yang ada. Tuh, di freezer."

"Ya enggak apa-apa. Kita lakukan aja tes juga dengan bakso hari ini dan biang itu. Kan biang juga untuk merendam bakso?"

"Iya. Tentunya. Tapi ... untuk tes lab, kan kita ke puskesmas dulu untuk ambil surat pengantar. Dan ... jelas butuh bantuan Adam sebagai mantri."  Nada suaraku merendah ketika harus menyebut nama Adam.

Nur menghela napas dalam. Lantas, mengembuskannya sekali embusan. "Mau bagaimana lagi. Yang paling penting, kan, Bagaimana Mas Khalid menjaga diri dan sadar kalau mau jadi bapak."

Seketika hatiku merasa kurang nyaman. Nada suara istriku mendadak ketus. Bahkan, kini dia berdiri dan melangkah keluar kamar setelah menyambar ponsel yang berada di meja. Menutup pintu dengan cukup keras.

***

Meniti kasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang