25. Nur

509 55 3
                                    

Dengungan HP di saku gamis, membuatku tersentak kaget. Segera saja, kututup Al Quran yang barusan kubaca. Meletakkannya di bangku kecil. Lalu, merogoh kantung baju dan mengambil HP.

Aku mengernyit pas kulihat Mas Khalid yang menelepon. Segera saja aku beranjak dan melangkah keluar maqbarah ini buat menjawab panggilannya. Sekilas kulirik penunjuk jam di layar. Hampir jam satu siang. Itu artinya Mas Khalid sudah pulang dari sekolah.

Aku menerima panggilan telepon suamiku. Berucap salam yang segera dijawabnya.

"Nur, kamu di mana? Aku di balai pertemuan depan."

"Di balai? Mas ngapain ke sini?"

"Lah, aku ya besukin kamu, toh."

"Oh, iya, iya. Aku keluar."

Panggilan terputus setelah kami saling berucap salam. Aku melangkah gegas ke balai pertemuan yang berada di bagian depan pesantren.

Aku jadi sedikit sebal. Buat apa, sih, Mas Khalid datang? Baru saja kemarin aku di sini. Bukankah aku bilang harusnya dia membiarkanku tenang untuk beberapa hari, ya?

Kulihat Mas Khalid berdiri sambil bersandar ke motor. Dia masih memakai seragam pengajar. Rupanya dia ke sini enggak pakai pulang dulu. Dia mengangkat tangan berisyarat padaku pas melihatku datang. Aku mempercepat langkah, mendekatinya lalu mencium punggung tangannya.

Dia membelai punggung kepalaku. Dan kudengar bibirnya bergumam. Sepertinya dia melantunkan doa. Untuk beberapa saat, ini membuat dadaku deg degan dan darahku berdesir. Lalu, secuil rasa bersalah muncul di hati. Tapi, pastinya segera kutepis. Aku enggak mau terlarut dalam emosi-emosi enggak nyaman. Aku sedang mengandung.

"Ngapain, sih, Mas?" Aku mengernyit menatap suamiku.

"Kok ngapain, sih, Nur? Aku ya, jengukin kamu, lah. Duduk dulu, dong! Kita ngobrol sebentar."

Aku mendengkus sekali. Lalu masuk ke Balai Pertemuan Pesantren untuk mengobrol bersama Mas Khalid.

Balai pertemuan santri sedang sepi. Hanya ada kami berdua. Dan memang, jika masih jam sekolah kayak sekarang ini, enggak bakal ada yang menjenguk santri. Karena pasti enggak diperbolehkan.

Kami duduk bersila di lantai. Di salah satu sisi ruangan yang cukup luas ini. Mas Khalid duduk bersila menghadap padaku. Sementara aku sedikit menunduk, memainkan ujung hijab. Masih berusaha menetralkan perasaan deg degan tadi.

"Kamu hamil, kan, Nur?" langsung dan enggak pakai basa-basi, Mas Khalid menanyakan hal yang masih kurahasiakan. Nada suaranya cukup lembut.

Seketika aku terkejut. Mendongak dan menatap nyalang kepadanya. "Mas tahu dari mana?"

"Kemarin aku nemu ini. Jatuh dari lemari." Dia mengambil sesuatu dari saku kemejanya, menunjukkan bungkus alat tes kehamilan yang memang kusembunyikan di lemari.

Aku terdiam. Kebingungan mau menjawab apa.

"Nur, aku minta maaf kalau seandainya berbuat salah kepadamu. Meskipun aku begini, tapi, aku selalu berusaha bertanggung jawab kepada keluarga kita. Meski enggak mudah, aku tetap berusaha istikamah di jalan ini. Aku selalu berusaha teguh, Nur. Terlebih lagi kau kini mengandung. Aku ingin kau pulang. Jaga kesehatanmu dan calon bayi kita, ya?" Telapak tangan Mas Khalid mendarat di tanganku yang berada di pangkuan.

Lagi, hatiku deg degan dan darahku berdesir kencang. Jangan lemah untuk saat ini, dong, Nur!

"Beri sedikit waktu lagi, Mas! Aku masih memikirkan pilihan antara menyudahi atau terus bersama. Aku enggak mau menyiksa diri lagi dan terus berharap kosong. Ini pun demi calon buah hatiku." Aku membuang muka. Berat mengucapkan kalimat-kalimat ini. Tapi, lebih berat lagi kalau ingat kemungkinan yang bisa terjadi.

"Apa yang kamu katakan? Kamu jangan sembarangan berucap, Nur! Jangan sampai buah hati kita mengalami kehidupan pahit seperti yang kualami. Cukup aku saja yang hidup tanpa ayah. Jangan anak kita! Aku selalu menjaga diri. Berhati-hati agar tak jadi ayah dan suami seperti bapak."

Mas Khalid meremas telapak tanganku. Nada suaranya penuh penekanan di kalimat terakhir. Aku merasakan kekecewaan mendalam di sana.

Sejenak, aku teringat sama pemikiranku kemarin. Jangan-jangan ... kekecewaannya sama bapaknya ini yang bikin dia kesulitan berubah.

Aku menghela napas dalam. Memejam sambil menggigit bibir bawah. "Biarin aku beberapa hari lagi di sini, Mas! Aku pingin menenangkan diri dan melakukan istikharah. Kupikir, aku menemukan jawaban dari semua yang sudah terjadi ini."

"Berapa hari? Nur ... semalam aku enggak bisa tidur nyenyak, karena memikirkanmu dan buah hati kita. Aku mohon segera pulang, ya? Ibu pun nanyain terus."

Mendengar ibu disebut, seketika aku merasa rindu. Ibu pasti bakalan sedih banget kalau tahu alasanku di sini.

"Besok. Besok aku bakalan pulang setelah melakukan istikharah."

"Kujemput sepulang sekolah."

***

Aku duduk berlunjur, bersandar pada tembok kamar guru. Dua hari ini aku menginap di sini. Kutatap layar HP sambil menggeser-geser layar, membuka media sosial. Hari masih pagi, masih jam enam lebih beberapa menit. Pagi di pesantren, pastinya menjadi jam yang sangat sibuk.

Dari luar kudengar riuh suara para santri. Seperti biasa pesantren putri, bakal selalu ramai, terutama di jam-jam sibuk. Sementara di ruangan ini, para tenaga pendidik yang juga tengah bersiap-siap pun tak kalah sibuk.

Ada yang berdiri di depan cermin membenahi hijab. Ada yang tengah sarapan. Bahkan ada yang sibuk memeriksa buku-buku dan kitab yang bakal mereka bawa. Dan, ada juga yang masih santai melaksanakan salat Dhuha.

Kamar pengajar ini adalah kamar tenaga pengajar bantu. Penghuninya adalah para pengajar mukim yang relatif masih baru. Mereka adalah para alumni pilihan yang dimintai tolong oleh pihak pesantren untuk khidmah minimal setahun di sini. Sedangkan buat pendidik yang lebih senior, mereka menempati kamar yang sedikit lebih luas.

Sebenarnya, aku masih sibuk dengan pikiranku sendiri, memikirkan bagaimana selanjutnya. Padahal, siang ini, Mas Khalid bakal menjemputku pulang. Memang, sih, aku sudah melaksanakan salat istikharah semalam, bakda Isya. Tapi, sebagai manusia biasa yang minim banget rasa sabarnya, tentu aku masih merasa cemas. Bahkan cenderung overthinking. Terutama kalau mengingat calon bayiku.

Segala pemikiran berkelebatan di kepala. Di permukaan saja, aku tampak sibuk dengan HP, nyatanya aku tak bisa fokus. Sampai, tiba-tiba mataku menangkap sebuah video singkat yang lewat. Video dengan judul yang sangat provokatif, terlebih lagi ada nama kampung kami di sana. Video tentang bakso yang diduga berbahan dasar daging tikus.

Dan aku bertambah kaget, ketika gambar warung Mas Khalid yang ditampakkan, disertai tulisan-tulisan yang menggiring opini.

Oh, Tuhan ... apa lagi ini? Belum juga selesai masalah kami, mengapa harus menghadapi masalah tambahan lagi?

Lalu, apakah Mas Khalid tahu hal ini?

Segera saja, kuperiksa tanggal unggahannya. Oh, baru dini hari tadi videonya diunggah. Dengan jumlah suka dan dibagikan sudah ratusan. Pastinya enggak lama lagi, bakal ramai dan menjadi bahan omongan.

Tiba-tiba saja hatiku merasa enggak nyaman. Aku teringat Mas Khalid. Aku merasa bersalah jika harus meninggalkannya dalam keadaan begini.

Kenapa aku harus selemah ini sama Mas Khalid? Sebenarnya apa istimewanya dia sampai aku selalu merasa seolah-olah terikat? Dia sama sekali enggak istimewa. Bahkan, sebagian besar hanya kekurangannya yang kutahu. Tapi ... mungkin memang itu yang bikin aku enggak bisa meninggalkan Mas Khalid. Dia amat sangat rapuh banget di balik sikapnya yang seolah-olah sangat kuat dan tegar itu. Aku enggak tega dan merasa seolah-olah enggak bakalan ada yang bisa membantunya kecuali aku.

Aaarrggh ... Aku lagi-lagi tertarik ke arah Mas Khalid. Lelaki yang bahkan cintanya padaku pun masih patut diragukan.

Segera saja kututup aplikasi media sosial. Membuka aplikasi pengirim pesan. Dan segera mengetikkan pesan obrolan, lalu mengirimnya.

[Kutunggu di Balai Pertemuan sehabis ngajar, Mas. Kita langsung pulang.]

Meniti kasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang