27. Khalid

472 53 1
                                    

"Nur, ini bakso dan biang yang bakal kita tes ke lab. Aku taruh di freezer, ya?" Aku menunjukkan dua bungkusan kecil kepada Nur. Dia sontak menoleh. Sejak tadi dia duduk di ruang depan. Mengutak-atik gawainya sendirian saja.

Kubiarkan saja Nur di sini sejak tadi keluar kamar. Aku sengaja tak mengejarnya, membiarkan emosinya mereda terlebih dahulu. Dan sementara menunggu, aku membungkus dua bakso berukuran tanggung dan kaldu biang dengan plastik bening.

"Oh, iya, kayak gitu bagus, Mas. Besok kita langsung ke Puskesmas aja minta surat pengantar." Nada suara Nur kembali normal. Sepertinya emosinya sudah cukup mereda.

"Ya udah, aku taruh di freezer dulu, ya?" Nur mengangguk, dan aku memutar tubuh dan melangkah ke ruang belakang.

Dan menit kemudian, aku kembali lagi ke ruang depan untuk mengobrol sejenak dengan istriku. Hampir tiga hari tanpanya ternyata benar-benar tak nyaman.

"Oh, ya, Mas. Aku nanya sesuatu, boleh?" Nur meletakkan ponselnya ketika melihatku datang.

Aku duduk di sampingnya. "Nanya aja!"

"Ehm ... Tapi, Mas jangan marah atau tersinggung, ya? Demi calon bayi kita."

"Iya, nanya aja!" Nur kenapa jadi berteka-teki begini, sih? Memangnya, pertanyaan macam apa yang akan membuatku tersinggung? Tentang orientasi seksualku, jelas dia tahu kalau aku tak akan tersinggung.

"Ehm ... ini tentang bapak, Mas." Ucapan istriku terjeda sesaat.

"Bapak? Bapak Muchtar?"

"Bukan. Tapi bapaknya Mas Khalid." Nur menatapku takut-takut. Dia menggigit bibir bawah.

Dan tentu saja, aku terkejut dengan pertanyaan ini. "Kenapa kamu tiba-tiba nanyain bapak?"

"Mas Khalid enggak mau sekali aja nemuin bapak? Sekali ... aja."

"Jangan ngomong yang bukan-bukan, Nur!" Nada suaraku meninggi. Entah mengapa, ini sukses membuat amarahku menggelegak di dada. Rasanya sangat tak nyaman.

Dan seketika itu juga kulihat Nur tersentak kaget. Dia terdiam. Melempar pandangan ke pangkuannya.

"Ya udah kalau begitu. Aku hanya nanyain karena ini penting banget. Aku cuma pingin ke depannya kita benar-benar bisa berbahagia. Apalagi, anak kita akan lahir. Tapi, kalau Mas Khalid tetap berkeras hati, aku bisa apa? Selain berusaha berdamai dan menerima meskipun aku masih sangat cemas. Dan ... menyerahkan semua kepada takdir. Toh, aku sudah melakukn istikharah. Lihat nanti saja, bagaimana Allah akan mengatur gerak hatiku."

Aku sedikit heran dan bertanya-tanya tentang makna ucapan Nur. Apa hubungan antara kebahagiaan kami dengan bapak? Tapi, karena amarahku begitu menggelegak, aku tak ingin membahas laki-laki itu sama sekali untuk saat ini.

***

Pagi ini, seusai sarapan, kami mengabari ibu tentang kehamilan istriku. Dan kulihat raut wajah semringah ibuku sama seperti ketika dia mendengar keinginanku untuk melamar Nur.

Bahkan, seketika itu ibu memeluk Nur dan mencium kedua pipinya. Sungguh, begitu bahagia rasa hatiku. Aku benar-benar bisa menyenangkan ibu.

Dan sekitar jam sembilan pagi, aku dan Nur berboncengan menuju puskesmas untuk meminta surat pengantar. Kami meminta izin untuk keluar kepada pihak sekolah sampai satu jam pelajaran setelah istirahat. Khawatir proses ini memakan waktu lebih lama.

Kami segera menuju loket pendaftaran, menanyakan ke mana kami harus meminta surat pengantar. Tapi, belum juga petugas menjelaskan, suara seorang lelaki sedikit mengejutkanku.

"Loh, Khalid?"

Kami menoleh hampir bersamaan. Dan untuk beberapa saat, aku sedikit melirik kepada Nur, khawatir air mukanya berubah. Lalu, segera mengalihkan pandangan lagi kepada Adam yang kini melangkah mendekati kami.

"Hai, Dam." Aku berusaha bersikap biasa, menahan rasa antusias di dada.

"Ada apa? Mau periksa?" Adam mengulurkan tangan.

Aku menerima uluran tangan dan bersalaman dengannya. "Enggak. Ini mau minta surat pengantar buat tes lab baksoku."

"Loh? Kalau cuma surat pengantar, kenapa emggak menghubungi aku? Bisa aku buatkan. Sekalian untuk tesnya bisa aku uruskan. Kenapa repot-repot segala, Lid? Toh, rumahku di kota. Enggak terlalu jauh dari Laboratorium Uji."

"Eh, iya, aku lupa. Cuma ingat untuk segera mengurus ini." Aku sedikit terkekeh.

Sebelumnya, aku tak mengabari Adam tentang hal ini. Sengaja. Aku tak pernah menghubunginya terlebih dahulu. Aku berusaha menjaga jarak. Tak ingin kejadian Nur merajuk terulang kembali.

"Oh, ya, itu buat bakso kamu? Kamu jualan bakso, Lid? Aku enggak tahu."

"Iya, kalau petang sampai malam aku jualan. Itu, kiosnya di pojokan pertigaan. Bangunan yang kalau siang dipakai untuk orang jual es."

"Oh, di situ."

Kami bercakap-cakap beberapa saat. Membicarakan perihal video di media sosial. Hingga akhirnya pulang dan menyerahkan semua urusan kepada Adam. Dan Adam berjanji untuk mampir ke rumah sebelum dia pulang untuk mengambil sampel bakso dan kaldu biang.

***
Kuhentikan motor di depan both es boba. Beberapa meter sebelum pertigaan menuju sekolah. Masih ada waktu empat puluh menit sebelum jam pelajaran berikutnya.

"Beli es dulu, yuk!" Aku menurunkan standar samping motor. Nur pun ikut turun.

Aku memesan rasa cappucino untukku, dan cokelat untuk istriku. Tak lupa, menambahkan ekstra cokelat serut pada minuman Nur.

Sengaja aku membelikan es untuk Nur. Selain memang ini salah satu kesukaannya, aku juga tak ingin Nur merajuk atau mengalami kondisi hati yang buruk. Sebisa mungkin aku ingin menjaga emosinya agar tetap stabil.

Sembari menunggu pesanan kami dibuat, aku melirik istriku yang hingga detik ini masih membisu. Menatap lurus ke depan dengan ekspresi datar. Nur yang cerewet dan ceria, kini diam seribu bahasa. Sedikit banyak, aku paham kalau sebenarnya Nur merajuk sejak kami bertemu Adam di Puskesmas. Tapi, aku berpura-pura tak tahu, agar tak memancing perselisihan lebih besar.

"Oh, ya, Nur. Periksa kandungannya ke bidan saja, ya? Enggak perlu ke Puskesmas. Nanti malam kita periksa. Setelah nganterin jualan ke warung, aku akan balik buat nganterin kamu."

Nur menoleh padaku, lantas mengangguk dan menyunggingkan senyum tipis. Ah ... hatiku lega rasanya. Seulas senyum saja, sudah membuat dada ini terasa plong. Kemarahan dan kekesalan istriku sudah berkurang rupanya. Tinggal bagaimana nanti siang saja, ketika Adam datang ke rumah.

Oh, Tuhan .... Ini ujian yang cukup berat. Niat hatiku ingin menjauhi Adam. Tapi ternyata, harus berurusan dengannya.

Meniti kasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang