Aku menyerahkan seluruh beban tubuh ke ranjang pegas Queen Size dengan sprei putih yang melapisi. Berbaring dengan tangan terbentang. Memandangi langit-langit kamar penginapan yang baru kami sewa. Rasanya, seluruh tubuhku dijalari kelelahan. Aku tak pernah merasa selelah ini. Padahal, hanya mengemudi tak sampai sehari, tapi mengapa seolah-olah teramat sangat lelah?
Terdengar bunyi gemericik air dari kamar mandi. Istriku sedang membersihkan tubuh di sana. Ah, apakah dia selelah diriku? Aku akan menanyakannya setelah dia keluar dari kamar mandi. Terlebih lagi, dia sedang mengandung. Aku tak ingin terjadi masalah dengan kesehatannya dan calon buah hati kami.
Oh, buah hati. Hal yang tak pernah kupikirkan bisa benar-benar hadir dalam hidupku. Dulu, kupikir kehidupanku hanya akan ada kelabu. Tak ada tujuan. Hanya sekadar hidup dan melakukan yang ada di depanku. Tapi kini, sejak kehadiran Nur, terlebih lagi ketika tahu dia mengandung, kehidupanku makin memiliki tujuan. Segalanya semakin terarah. Ke mana aku akan melangkah. Untuk apa semua langkah yang tercipta.
Aku hanya terdiam hampir tak bergerak. Hanya napas yang keluar masuk dan mata yang berkedip sesekali waktu. Kepalaku masih saja memikirkan banyak hal. Terlebih lagi, jika mengingat bahwa satu jam lalu aku telah berhenti di depan rumah bapak.
Tiba-tiba, bunyi pintu terbuka membuatku menghentikan lamunan. Aku tersentak, mengangkat kepala sedikit untuk menengok ke arah kamar mandi. Istriku telah keluar dengan pakain yang telah berganti.
"Aku sudah, Mas." Dia menggosok-gosok kepala, berusaha mengeringkan rambutnya.
Aku beranjak dari ranjang. Melangkah ke kamar mandi. Nur menyerahkan handuknya kepadaku.
"Tungguin aku kalau mau salat!" Aku menoleh kepadanya menghentikan langkah neberapa saat.
"Iya. Sana cepet mandinya! Biar segera istirahat. Biar besok enggak bangun kesiangan. Mas kan bilang kita berangkat pagi, toh!"
Aku hanya mengangguk dan mengangkat alis. Lalu berlalu, masuk kamar mandi.
Guyuran air hangat dan pengaturan pancuran kran shower yang pas, membuat tubuhku serasa dipijat. Meskipun rasanya memang nyaman, tapi mengingat pesan istriku tadi, aku mempercepat ritual mandiku. Karena, saat terakhir kulihat jam dinding, sudah jam sepuluh lewat. Bagaimana pun, Nur sedang hamil. Tidur cepat adalah salah satu upaya menjaga kesehatannya dan calon bayi kami.
***
Tak kusangka, meskipun sangat kelelahan, tapi aku tak bisa tidur nyenyak. Semalam aku terbangun beberapa kali. Kepalaku rasanya tak berhenti memikirkan banyak hal. Bapak, masalah bakso, janin di perut istriku, kebohongan pada ibu. Tapi, tetap saja aku berusaha kembali terlelap setiap kali terbangun. Dan efeknya, aku bangun dalam keadaan kurang segar.
Dan kini, aku kembali mengemudi, menyusuri jalanan pagi Kota Jember menuju Kecamatan Mayang. Bersama istri yang selalu membersamaiku.
Meski istirahatku tak total, tapi dengan perasaan memiliki seseorang di sampingku, membuatku tetap bersemangat. Terlebih lagi, setiap meter yang kami lalui, semakin mendekatkanku dengan bapak. Lelaki yang akan kucium punggung tangannya. Lelaki yang telah seumur hidup kubenci, dan kini kami akan saling melepas emosi tak nyaman di antara kami.
Mentari masih bersinar kekuningan, tak terlalu tinggi. Kami sengaja keluar penginapan pada jam setengah tujuh tadi, sekitar dua puluh menit lalu. Kami belum sarapan sebenarnya. Sengaja, kami ingin sarapan di Kecamatan Mayang saja. Toh, barusan kami telah mengisi perut dengan sepotong roti yang kami beli di swalayan.
Mungkin hanya perasaanku saja, jalanan jadi terasa lebih panjang. Perjalanan lebih lama. Dan waktu melambat. Aku ingin segera sampai ke Seputih. Dan andai tak ingat tentang Nur yang sedang hamil, mungkin aku tak akan menghentikan mobil di warung untuk sarapan.
Kami sarapan sebentar. Benar-benar sebentar. Karena, setelahnya, aku segera kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan.
Jantungku berdegup tak karuan ketika melewati perbatasan desa. Lalu, bengkel yang semalam. Dan, dada ini serasa akan meledak ketika dari kejauhan tampak pagar besi rumah bapak.
Kurasakan Nur menoleh padaku. Aku berpura-pura tak menghiraukannya. Telunjuk kananku tak bisa berhenti mengetuk-ngetuk kemudi mobil. Aku begitu gugup.
Kupinggirkan mobil. Berhenti di depan pagar, sebelah gerbang. Lantas, kami turun setelah memastikan mobil telah terparkir sempurna.
Nur melangkah, segera mendekatiku. Seketika dia meraih tanganku. Menggenggamnya cukup erat. Dia mendongak melihatku. Dan aku menatap matanya yang seolah-olah memancarkan cahaya hangat menembus hati. Lagi, gelenyar serupa di rumah Lek Narto, hadir di dada. Tiap kali Nur berusaha menenangkanku, hal itu akan datang. Aku merasa memiliki peri pelindung di sampingku. Peri yang membuatku merasa aman.
Kami berjalan beriringan. Dan, ketika sampai di ambang gerbang, kulihat sesosok lelaki berdiri memunggungi kami. Dia mengawasi beberapa orang yang tengah menjemur jagung.
Aku melangkah perlahan, mendekati lelaki itu. Berucap salam. Dan seketika lelaki itu berbalik.
Dia mengernyit. Memiringkan kepala. "Cari siapa, ya?"
Oh, Tuhan, apakah dia bapak?
"Cari Pak Sudarmo." Aku mengulurkan tangan yang segera diterimanya dengan baik. Kami bersalaman beberapa saat.
"Masnya dari mana?"
"Dari Probolinggo." Aku menjawab dengan hati-hati, bersiap-siap dengan reaksi yang mungkin terjadi.
"P-probolinggo?" Lelaki itu tampak sangat kaget. Dia membelalak dan menyengih. "M-mas siapa?"
"S-saya Khalid, Pak. Putranya Bu Aminah."
Seketika, lelaki itu melangkah dan memelukku erat. Menepuk pelan dan mengusap-usap punggungku. Hatiku menghangat. Rasanya tak mampu kugambarkan. Kebahagiaan membuncah di hati. Apakah aku benar-benar telah memeluk bapak?
"Ayo, ayo, Le! Masuk! Mas ada di dalam. Ya Allah, Gusti. Doanya terkabul." Oh, dia bukan bapakku. Siapa dia?
Lelaki yang menyebut bapak sebagai Mas itu membimbingku masuk rumah. Rumah yang memang cukup besar. Bapak memang tampak sebagai orang berada.
Dan, lelaki itu berlalu masuk rumah. Setelah mempersilakanku duduk dan menunggu di ruang tamu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meniti kasih
RomanceKhalid, lelaki penyuka sesama jenis yang ingin menjauhi maksiat dengan memutuskan untuk sendiri. Hingga, suatu kejadian membuatnya menikahi Nur, rekan kerjanya. Awalnya, Khalid bertekad menyembunyikan orientasi seksualnya, ingin membahagiakan Nur. T...