23. Khalid

518 67 4
                                    

Aku segera menoleh ke arah meja ketika mendegar dengungan ponsel. Layarnya menyala. Segera saja aku, yang sedang berada di depan lemari dan berganti pakaian, melangkah mendekati meja dan meraihnya. Padahal lengan baju Batik Bayuangga sebelah kiriku belum terpasang.

Aku membuka kunci layar. Tapi, belum juga memeriksa pop up notifikasi, tiba-tiba suara Nur sudah cukup membuatku tersentak kaget. "Lagi nungguin chat dari siapa? Penting banget sampe enggak sempat pake baju yang bener."

Aku menoleh ke arah Nur yang sedari tadi berdiri di depan cermin rias di sebelah lemari. Kini dia membereskan alat riasnya. Lantas memutar tubuh dan menyambar tas sembarangan. Melangkah mengentak ke arah pintu. "Jadi pengen muntah di kamar ini. Rasanya pengap, panas, dan bau busuk."

Kata busuk dari Nur penuh penekanan. Membuat dadaku seketika ngilu. Perutku juga mendadak mual. Dan ... aku benar-benar merasa tersinggung dengan kalimat-kalimatnya.

Tapi, belum juga aku menjawab atau mengatakan sesuatu, Nur sudah berlalu dan menutup pintu.

Aku mendengkus kesal. Lantas mengalihkan perhatian kembali pada ponsel. Benar saja, notifikasi balasan chat dari Adam.

Sejenak, hal ini mengalihkan fokusku. Menimbulkan rasa senang yang tiba-tiba membuncah di dada. Jantungku berdegup kencang. Adam membalas pesan obrolanku.

[Iya, Lid. Itu anak keduaku. Foto baru lahir, sebelum selapan. Sekarang sudah empat bulan. Kamu kapan nyusul? Buktiin, dong kalau lebih laki daripada aku! Kita lomba jadi bapak (XD).]

Ah, Adam masih sama. Masih Adam yang suka bercanda dan mengajakku untuk berkompetisi dalam segala hal.

Dia bangga dengan pencapaiannya. Bangga dengan buah hatinya. Sementara aku?

Apa yang sedang kulakukan ini, Tuhan?

Seketika aku menghela napas dalam, lalu mengembuskannya seketika lewat mulut. Kembali teringat pada Nur.

Kuletakkan ponsel. Memakai baju dengan baik. Lantas menyambar tas kerja dan mengejar Nur yang mungkin saja sudah duduk menungguku di ruang depan.

Dan benar saja, kulihat Nur duduk bersandar sembari bersedekap di kursi depan. Dia menoleh seketika, di saat menyadari kedatanganku. Dahinya berkerut, menatapku tajam. Sementara aku menatapnya dalam. Penuh rasa bersalah.

"Kita berangkat, Nur?" Nada suaraku pelan. Sangat-sangat pelan.

"Lah, tentu saja. Emang mau ngapain kalau jam segini? Ya berangkat ngajar, lah. Masa iya sibuk chatting?" Nur membuang muka ke arah berseberangan.

Aku kembali menghela napas dalam. Mencoba menahan emosi. Lagi pula, memang ini kesalahanku. "Pamit sama ibu, yuk!"

"Udah." Nur tak menoleh. Nada suaranya sangat ketus.

Aku terdiam. Memutar tubuh dan melangkah ke kamar belakang, hendak berpamitan pada ibu.

Sepanjang waktu di sekolah, sangat kentara kalau Nur masih marah. Tapi, aku tak mampu berbuat apa pun. Memangnya kami bisa membicarakan masalah rumah tangga di sekolah?

Dan ketika sampai di rumah. Nur masih dengan ekspresi marahnya. Hampir tak ada kalimat keluar dari bibirnya membuatku makin merasa tak nyaman.

Dan sungguh aku sangat kaget ketika kami baru saja masuk kamar. Nur menurunkan ransel dari atas lemari.

"Mau ngapain nurunin ransel?" Aku mengernyit memandang Nur sembari membuka satu per satu kancing baju.

"Anterin aku ke pesantren, Mas. Aku mau nginep beberapa hari di sana. Mau menenangkan diri sambil mengaji." Nur mulai membuka lemari.

Seketika aku melangkah dan meraih pergelangan tangannya. Menahannya mengambil pakaian. "Nur! Kamu apa-apaan? Ada masalah apa sampe kamu sebegitu marahnya padaku? Semua bisa kita omongin."

Nur tak menoleh. Pandangannya lurus saja ke arah tumpukan baju di lemari. "Aku ternyata terlalu naif, ya? Terlalu kasihan sama orang yang udah nipu aku berkali-kali."

Kalimat Nur sukses menyakitiku. Sontak aku menyentak tangannya. Membuat istriku seketika menghadap padaku. Nur meronta meminta melepas cengkeraman pada pergelangan tangannya. Tapi, aku makin mempereratnya.

"Siapa yang nipu, Nur? Aku enggak pernah nipu kamu." Nada suaraku meninggi.

"Jangan pura-pura lupa, Mas! Pernikahan ini dibangun dengan dasar kebohongan, kan? Harusnya aku paham ini dan segera mengajukan fasakh nikah, dulu. Tapi, semua sekarang terlambat. Entahlah, aku saja yang bodoh." Nur menatapku dengan tatapan yang sangat merendahkan.

Aku terdiam. Tapi, hatiku benar-benar sakit dengan kalimat-kalimat yang telah terlontar dari bibir istriku ini. Perlahan, aku melepaskan cengkeraman dari pergelanganan tangan istriku. Lalu, memutar tubuh. Melangkah ke ranjang dan duduk menjuntai dengan menunduk. Kedua tangan menekan ranjang, menyangga badan.

Nur tak menghiraukanku. Kurasakan dia malah sibuk mengambil pakain dari lemari dan memasukkannya ke ransel yang ada di sebelahku. "Kau curiga dan cemburu, Nur? Kau sudah tahu aib dan kekuranganku. Aku sudah jujur padamu sejak awal."

Nur menghentikan kegiatannya sesaat. Tak ada kata yang keluar dari bibirnya. Hanya hening yang ada di antara kami untuk sepersekian menit.

"Untuk kali ini, aku hanya ingin menenangkan diri, Mas. Enggak mau lagi tertekan dan menahan emosi. Jujur, Mas. Selama hampir setahun ini, kadang aku masih bertanya-tanya, apakah kamu sudah bisa mencintaiku layaknya yang lain atau tidak? Aku juga ingin dicintai macam itu, Mas." Nada suara Nur bergetar. Sepertinya dia hampir menangis.

Aku mendongak perlahan. Menatap matanya yang kini berkaca-kaca. "Nur ... aku hanya bisa berusaha. Hanya itu. Tapi, aku tak mau munafik jika rasa itu masih ada."

"Jadi, perkiraanku benar, kan, kalau Adam itu adalah kekasihmu dulu?" Mata Nur menyipit menatapku.

Aku menggeleng perlahan. Menatapnya lekat-lekat. "Bukan, Nur. Adam sahabatku. Memang aku yang menyukainya. Tapi, Adam tak tahu."

Bening sudah menetes dari sudut mata istriku. Dia pun menatapku beberapa saat. "Tapi, Mas. Izinkan aku untuk beberapa waktu ini menenangkan diri. Sebentar saja. Aku harus bisa menjaga perasan dan kesehatanku. Antarkan aku ke pesantren!"

***

Akhirnya, aku menyerah. Kuberi kesempatan Nur untuk menenangkan diri. Kuantarkan dia ke pesantren tadi pagi, sehari setelah perselisihan kemarin. Setelah pembicaraan dan negosiasi alot di antara kami. Acara temu alumni menjadi alasan yang kami utarakan pada ibu ketika pamit tadi. Dan bahkan, aku rela izin mengajar hari ini.

Aku berbaring di ranjang. Mengistirahatkan punggung sebentar. Sepulang dari mengantar Nur. Untung saja, pesantrennya masih di kota ini. Hanya butuh waktu tiga puluh menit untuk sampai ke sana. Aku meninggalkannya untuk menenangkan diri. Semoga saja berdampak baik bagi kami.

Tapi ... sepeninggal istriku, kurasakan sedikit perasaan aneh. Seolah-olah ada yang hilang dari diriku.

Hampa ...

Aku beranjak gegas. Berniat bersuci dan menunggu salat Ashar di musala sembari mengaji. Menenangkan diri.

Kubuka lemari, mengambil sarung dari tumpukan baju. Tapi ... tiba-tiba mataku menangkap bungkusan alumunium foil kecil berwarna putih, terselip di bawah tumpukan baju Nur.

Karena penasaran, kutarik benda itu. Dan ... seketika terkejut ketika kubaca label yang tertulis. Merk alat tes kehamilan yang sudah terbuka.

Kuintip isi di dalamnya. Sebuah alat tes kehamilan kecil. Dan ... ketika kukeluarkan isinya. Dua garis merah terpampang di sana.

Meniti kasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang