48. Khalid

495 78 5
                                    

"Antarkan aku ke rumah emak, Mas! Aku mau lahiran di sana." Nur berdiri di depan lemari, mengganti seragam dengan daster batik.

Tentu saja, mendengar permintaannya, membuatku kaget. Aku yang baru saja duduk di kursi untuk mengistirahatkan punggung, seketika memandang istriku sembari mengernyit. "Maksud kamu gimana, Nur?"

"Aku udah ngurus cuti ngajar tadi. Dan cuti kuliah juga sudah kuurus minggu kemarin. Mulai besok, aku sudah enggak kuliah. Dan minggu depan sudah libur mengajar."

Oh, Tuhan ... ternyata kemarahannya dua hari lalu masih berlanjut saja. Kupikir, setelah semalam kuantar ke kota untuk membeli beberapa baju dan perlengkapan bayi, Nur akan berhenti merajuk dan marah-marah. Ternyata dia malah merencanakan hal se-absurd ini.

"Tak bisakah kau melahirkan di sini saja, Nur? Nanti biar emak yang menginap di sini untuk beberapa hari."

"Mas Khalid ini tahu sopan santun enggak, sih? Masak orangtua mau disuruh-suruh." Nada suara Nur sangat ketus. Kini dia mengeluarkan tas ransel dan mengambil beberapa pakaian dari lemari dan mulai memasukkannya ke tas itu.

Aku tak menghalanginya. Hanya memandang dari tempatku duduk. Menghela napas dalam dan mengembuskannya lewat mulut. Sebenarnya, aku sangat kesal dengan sikap Nur kemarin. Dan belum juga kekesalan itu sirna, kini dia kembali berulah.

"Oke. Aku anterin. Daripada kamu terus menerus merajuk tak jelas." Aku berdiri cepat sembari mengembuskan napas lewat mulut. Melangkah mendekati istriku.

Aku meraih tas ransel di tangan istriku. Meletakkannya di lantai. Lantas, meraih pergelangan tangannya. Lalu sedikit menyentaknya dan membuat istriku menghadap padaku. Lantas, kudaratkan kedua telapak tangan di bahunya. Menunduk dan menyamakan posisi wajahku dan wajahnya. Menatap maniknya lekat-lekat.

"Nur, tenangkan dirimu di rumah emak tiga hari ini! Coba kau pikirkan lagi tentang keinginanmu! Hari senin, aku akan menjemputmu. Kita ke rumah Adam. Ada beberapa hal yang ingin kutunjukkan padamu. Aku yakin, kamu akan mengerti. Aku sengaja tak menjelaskannya padamu sekarang. Karena, mungkin masih akan membuatmu bertanya-tanya."

Nur mengernyit. Matanya menyipit. Kepalanya sedikit miring. Dia mendengkus sembari mencebik. "Oke. Suka-suka Mas saja. Mungkin memang sekarang Adam jauh lebih penting sampai-sampai dia lebih berhak tahu semua daripada aku."

Aku menegakkan badan. Lantas, segera menarik badan Nur dan merengkuhnya. "Kamu tahu kalau aku memperjuangkanmu dengan seluruh jiwa ragaku. Aku tak mungkin akan melepasmu begitu saja. Kau harus camkan itu, Nur. Dan satu lagi, jangan terlalu memaksakan keinginan! Bersabarlah sedikit lagi!"

Kurasakan Nur yang tadi sempat sedikit meronta, kini terdiam. Meskipun dia tak membalas pelukanku.

***
Bapak dan emak mertuaku sempat kaget ketika melihatku mengantar Nur bakda Ashar tadi. Tapi, dengan alasan hari Minggu aku akan keluar kota dan kandungan Nur yang sudah besar, membuat mereka mengerti.

Aku hanya mengobrol sebentar. Lantas pulang ketika hari sudah beranjak petang. Tak lupa, kembali berpesan kepada Nur untuk bersabar dan menunggu sedikit lagi.

Meski masih menyimpan rasa kesal dan marah, tapi aku berusaha bersikap lembut kepada Nur. Aku tak ingin terus menerus berselisih tak jelas dengan istriku. Aku pun tak mau membuatnya semakin marah yang nantinya akan berpengaruh kepada calon bayi kami.

Aku mengendarai motor perlahan. Menikmati sinar mentari yang hampir terbenam dan berwarna perunggu. Melangitkan doa, berharap Allah memberikan pemahaman dan keluasan hati pada istriku.

***

Aku mencari ponsel di sofa ruang tengah. Baru kusadari kalau ponselku ketinggalan ketika aku mengantar istriku ke rumah emak. Aku akan menanyakan perihal stroller dan ranjang bayi serta beberapa barang yang sudah kupesan kepada penjualnya.

"Kamu nyariin HP, Le?" Suara ibu sedikit mengegetkanku. Membuatku seketika berbalik menghadap ibu. Dan kulihat, ibu menyodorkan ponsel.

"Inggih, Bu. Tadi kayaknya ketinggalan di sini. Kulo perlu untuk menghubungi seseorang." Aku menghidupkan layar, hendak menelepon.

Tak kuberitahukan tentang perlengkapan bayi yang sudah kupesan. Karena, ibu pasti mengomel karena menganggap pamali terhadap persiapan berlebih untuk kelahiran bayi. Orang-orang kampung biasanya baru akan membeli perlengkapan, ketika bayi sudah lahir. Sejatinya, anggapan mereka itu tidaklah keliru. Mereka hanya berusaha memperpendek angan-angan. Agar tak terlalu berharap berlebihan. Jadi, jika terjadi hal tak diharapkan, kekecewaan tak akan terlalu mendalam. Tapi, tentu saja, aku tak terlalu menuruti mereka. Aku sudah memesan stroller dan ranjang bayi. Apalagi, ini adalah anak pertama kami. Buah hati yang memang kami harap kehadirannya.

Tapi, lagi-lagi perkataan ibu menghentikanku. "Kamu menyembunyikan sesuatu dari ibu?"

Aku seketika mendongak, memandang ibu yang kini duduk di sofa. "Maksud ibu pripun?"

"Duduklah dulu! Kita bicarakan ini." Ibu menepuk pelan sofa di sampingnya.

Aku duduk di samping ibu. Mataku tak beralih dari orangtua perempuanku.

Ibu menghela napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. Matanya menatap lurus ke depan. "Tadi bapakmu ngubungi lewat video call. Ibu yang angkat. Ibu sempat ngobrol sama dia dan Yuk Khadijah."

Aku benar-benar kaget dengan ucapan ibu. Tapi, kulihat ekspresi wajah ibu masih saja datar. Aku tak mampu menafsirkan apakah ibu marah atau tidak dengan hal ini.

"Maafkan ibu, Le. Seharusnya ibu endak berbuat macam ini sama kamu. Ibu yang terlalu egois. Seharusnya kamu tetap bisa berhubungan sama bapak kamu. Tadi, kami sempat mengobrol lama. Dia juga bilang kalau warung kamu yang di Jember Kota itu juga kerja sama kamu sama anak-anak Tikno."

Kalimat ibu terjeda oleh helaan napas. Sementara aku masih saja terdiam.

"Kamu endak perlu sembunyi-sembunyi lagi kalau mau ke rumah bapakmu. Nanti juga kalau istrimu melahirkan, biarkan saudara-saudara dari Jember tahu. Mereka juga berhak tahu. Bagaimana pun juga, kamu adalah saudara mereka. Dan pernikahan Ibu dan bapakmu sebenarnya bukanlah suatu perselingkuhan. Ibu menyesali ini sudah lama. Tapi, Ibu endak berani bilang sama kamu. Ibu sangat bersyukur kalau ternyata kamu sudah bersilaturahmi dengan bapak dan Bu Khadijahmu."

"Jadi ... Ibu boten marah dengan perbuatan kulo?"

Ibu menoleh. Tangan tuanya mendarat di atas tanganku dan meremasnya hangat. Ibu menggeleng pelan sembari menatapku lekat-lekat. "Sama sekali endak. Ibu malah bersyukur. Akhirnya, semua sudah jelas dan membuat Ibu lega. Beban yang selama ini Ibu tanggung, sudah sepenuhnya menghilang."

Oh, Tuhan ... tak pernah kusangka, bahwa semua akan seindah ini. Andai Nur tahu, pastinya dia akan sangat bahagia.

Meniti kasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang