34. Khalid

428 54 1
                                    

Jantungku berdegup kencang. Kakiku gemetar. Bahkan, rasanya sedikit lunglai. Tapi, aku berusaha menyembunyikannya. Aku berjalan keluar dari rumah Lek Narto menuju motor yang kuparkir beberapa meter di depan teras. Sepertinya, Nur tahu kalau aku sedang shock. Dia berjalan sedikit cepat dan sejajar di sampingku. Beberapa kali melirik padaku. Rupanya dia mengkhawatirkan keadaanku.

Ah, keberadaan Nur dalam hidupku memang benar-benar suatu anugerah. Aku memang sering kesal dengannya yang suka merajuk dan kadang manja. Tapi, sesekali juga dia bisa menjadi sosok yang lebih dewasa. Bahkan, pemikiran-pemikiran cerdas dan mendalamnya, bisa mengurai berbagai simpul kehidupanku yang kalut ini.

Aku menaikkan standar samping, lantas memutar motor menghadap ke jalan. Memutar tubuh dan kembali berpamitan kepada Lek Narto yang berdiri di teras mengantar kepulangan kami.

"Monggo, Lek." Aku menyunggingkan senyum hangat. Tetap berusaha menyembunyikan rasa yang sejatinya berkecamuk di hati.

Aku berbalik sembari menuntun motor menuju gerbang. Kurasakan Nur berjalan cepat. Lagi. Dia tetap berusaha mengimbangi langkahku. Lantas, di ambang gerbang, Nur mendekatkan tubuh kepadaku. Dia berujar cukup lirih, "Mas Khalid mau gantian bawa motornya?"

Aku menghentikan langkah, menoleh sembari mengernyit. Lantas, menggeleng pelan dan mengulas senyum tipis. "Enggak perlu, Nur. Enggak jauh, kok."

Nur menatapku begitu dalam. Tanpa kata, tapi aku mengerti arti tatapan itu. Hatiku menghangat. Nur berusaha melindungiku. Ada gelenyar aneh di dada. Rasa serupa yang pernah kurasakan pada Adam ketika menyelamatkanku dari bullyan teman-teman.

Aku naik ke motor ketika telah berada di depan gerbang. Menghidupkan mesin. "Ayo, Nur. Kita segera pulang. Sudah sangat sore. Ini malam Jumat. Kita mengaji sebentar usai salat!"

Nur menuruti perkataanku. Dia naik ke motor. Tangannya melingkar cukup erat di pinggang. Perempuan yang menemaniku. Anugerah luar biasa dari Tuhan. Perantara semua kebaikan ini.

Kami mengendarai motor. Menyusuri jalanan kampung. Bermandikan cahaya mentari yang mulai berwarna jingga.

***

Aku melayani pembeli di warung. Berdiri di belakang gerobak dan meracik mie. Suasana warung sudah mulai stabil. Sejak tadi aku meracik bakso dan mie hampir tanpa jeda. Tapi, masih belum seramai biasanya.

Tanganku begitu sibuk. Membuatku sedikit melupakan keresahan yang kualami sejak kemarin. Bahkan semalam, aku bermimpi buruk tentang bapak. Aku benar-benar merasa bersalah kepada bapak, karena telah menyimpan kebencian selama lebih dari dua puluh tahun. Bahkan, aku melakukan dosa yang serupa. Menikah dengan diawali ketidakjujuran.

Tapi ... aku juga bisa apa? Tak ada yang memberitahuku tentangnya. Mungkin orang-orang khawatir dengan ibu.

Di tengah kegiatanku meracik mie, muncul segerombolan muda-mudi bermotor yang berhenti di depan warung. Kira-kira empat atau lima motor yang hampir kesemuanya berboncengan.

Mereka masuk dan langsung duduk di kursi kosong yang tersedia. Sementara itu, pemuda bertubuh tinggi dan berpotongan rambut comma hair, menghampiriku.

"Baksonya lima, terus mienya tiga, ya?"

Aku menoleh, lantas mengangguk. Sementara itu asistenku segera mengambil delapan mangkok dan menatanya di gerobak. Kurasakan perasaan yang sering kurasa tiap kali ada pria berparas elok di dekatku.

Ah, aku masih belum benar-benar mampu terbebas dari perasaan itu. Tapi, tentu saja tetap berusaha bersikap biasa.

"Ada tulang sapinya, Mas? Atau yang ada sumsumnya, gitu?"

"Ada, kok. Tapi kalau sumsumnya enggak tahu, ya, Mas."

Dari pertanyaannya sepertinya mereka bukan orang yang biasa membeli bakso di sini. Dan mungkin saja bukan orang Leces. Mungkin saja cuma orang yang kebetulan lewat.

"Kalau gitu, tambah dua mangkok tulang, ya?" Pemuda itu lantas berbalik dan melangkah menuju meja di mana teman-teman mereka berkumpul.

Aku mulai meracik pesanan mereka. Lantas, menyuruh asistenku untuk mengantarkan pesanan yang sudah selesai kuracik ke meja mereka.

Sebagaimana pemuda, jelas mereka sedikit lebih ribut. Bercanda dan bercakap-cakap. Hingga suara salah satu pemuda menarik perhatianku, "Wuih, enak beneran ternyata. Enggak rugi, sih, kita jauh-jauh ke warung kampung. Aku mau bungkus, deh, buat mama sama adek."

Oh, ternyata mereka benar bukan orang kampung ini. Dan mereka sengaja ke sini, bukan kebetulan lewat. Apakah mungkin karena video kemarin?

***

Nur belum memberi jawaban pasti tentang rencana kerja sama dengan Adam. Padahal, pagi ini dia akan datang. Nur hanya berkata bahwa dia belum mendapat jawaban pasti tentang keputusannya. Hatinya belum benar-benar yakin.

Tapi, aku mana berani memaksanya untuk segera menjawab. Bisa merajuk parah dia nantinya. Kubiarkan saja. Hatiku sudah pasrah. Andai memang Adam membatalkan tawarannya, itu berarti memang takdirku harus berjualan seperti saat ini. Mungkin saja, ini yang terbaik bagi kami.

Aku dan Nur menyiapkan sepanci bakso yang akan kami suguhkan untuk Adam dan istrinya nanti. Aku sibuk menata mangkok dan sayur pelengkap di bale-bale. Sementara Nur duduk di depan kompor, menjaga panci yang berisi bakso dan kuah yang akan kami suguhkan nanti. Hingga terdengar bunyi mesin mobil berhenti di halaman. Lalu, diikuti bunyi pintu mobil yang tertutup.

Aku yang sejak tadi menghadap bale-bale, seketika menoleh ke arah istriku. "Kayaknya si Adam datang, tuh! Kamu suruh masuk, gih!"

Nur hanya mengangguk, lantas beranjak dan melangkah menuju ruang tamu.

Kuperhatikan raut wajahnya sudah tak terlalu cemberut. Mungkin karena Adam datang bersama keluarganya. Dan, setiap kali momen seperti ini, aku selalu mengamati perasaanku.

Biasanya, mendengar kedatangan Adam, aku rasanya ingin melesat dan menemuinya. Begitu antusiasnya aku. Tapi kali ini, kurasakan perasaan antusias itu tak sebesar biasanya. Malah di pikiranku hanya ada penasaran, seperti apa kiranya istri Adam. Karena setahuku, dulu dia termasuk pemuda yang cukup populer dan digilai gadis-gadis.

Aku berbalik setelah memastikan semua pelengkap bakso telah siap. Lalu menuju rak. Mengambil panci susu dan mengisinya dengan air. Lantas, menjerangnya di kompor.

Tadi, Nur telah menyiapkan dua cangkir berisi bubuk kopi dan gula. Serta, satu gelas dengan sekantung teh celup untuk anak sulung Adam.

Aku menunggu air mendidih sembari menjaga bakso di atas panci. Sebenarnya, kuah baksonya telah mendidih beberapa menit lalu, hanya saja baksonya belum mengembang sempurna. Butuh beberapa saat lagi untuk diangkat.

"Mas, temui Adam, gih! Biar aku nyiapin kopinya." Kulihat Nur melangkah mendekatiku.

Aku menoleh, tetapi tetap tak beranjak dari tempatku. "Habis ini saja. Barengan sama kamu."

Nur mendaratkan telapak tangan di pundak setelah berdiri di sampingku. "Enggak apa-apa. Aku percaya sama Mas Khalid, kok."

Apa katanya? Kenapa tumben dia bersikap lunak perkara Adam kali ini?

"Enggak apa-apa, Nur. Tuh, dikit lagi airnya mendidih. Kita barengan ke depannya, ya?"

Nur hanya mengangguk. Lantas memutar tubuh untuk mengambil nampan di rak piring.

Meniti kasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang