5. Khalid

575 58 3
                                    

"Le, kalau sama si Maryam anaknya Sulis, bagaimana?" Ibu menepuk pundakku ketika kami baru saja beranjak dari Musalla, melaksanakan salat Dzuhur.

Duh, ibu masih membahas masalah calon istri rupanya. Aku terdiam beberapa saat, memunggungi ibu. Lantas, berbalik sebentar setelah menghela napas cukup dalam.

"Ehm ... nanti saja kita ngobrolnya, Bu. Saya masih mau ngecek dagangan sebentar." Aku tersenyum agak kecut. Membuat alasan yang sangat mengada-ada. Karena sudah jelas daganganku sudah selesai diperiksa. Ibu yang mengerjakannya.

"Ora usah alasan terus kamu, Lid! Kamu pikir, Ibu itu bakalan lupa sama permintaan Ibu pagi tadi? Ibu perhatikan, kamu itu endak ngreken sama sekali tentang hal ini. Alasan terus adanya. Omongan Ibu kamu anggap kentut apa?" Nada suara ibu cukup ketus.

Ibu terus saja mengomel sembari membuka mukenah. Lantas, menggantungnya di gantungan yang menempel di tembok musalla.

"Pokoknya sekarang Ibu endak mau lagi ngasih kendor tentang hal ini. Setiap hari bakal ibu tanyain sampe kamu bosen. Atau, Ibu bakal mati penasaran." Ibu berbalik, kemudian melangkah keluar musalla. Meninggalkanku yang masih kebingungan.

Apa yang harus aku lakukan? Wanita mana yang akan kunikahi? Aku tak mau mengorbankan kehidupan orang lain demi kehidupanku. Mampukah aku membahagiakan istri jika tak ada hasarat kepada perempuan?

Aku terdiam. Kepala tertunduk. Berjalan ke luar musalla, menuju kamar untuk istirahat siang sejenak.

Badanku terlentang dengan tangan yang kujadikan bantal. Mataku menatap kosong ke langit-langit kamar. Mengingat kembali, bagaimana semua ini bermula. Aku tak benar-benar paham bagaimana. Yang kuingat hanyalah ketika beranjak remaja, aku lebih suka melihat lelaki tampan daripada perempuan.

Awalnya, tentu saja aku tak benar-benar mau menerima. Aku menolaknya. Aku keukeuh dengan anggapan bahwa itu hanya mengada-ada saja. Bukan aku yang sebenarnya. Tapi, makin lama, rasa itu makin menjadi dan sangat jelas. Bahkan, aku merasa hampir gila saat pertama kali jatuh hati kepada teman sekelas ketika duduk di bangku SMA.

Tapi, alih-alih menjauh karena malu, aku malah makin dekat dengannya. Dia mungkin berpikir kalau kami bersahabat. Dia pasti merasa demikian, karena saat dia mencurahkan isi hatinya tentang ketertarikannya kepada seorang gadis, hatiku sangat sakit. Rasanya dadaku remuk.

Tapi aku bisa apa? Kecuali terus berpura-pura senang dengan hal itu. Karena kalau tidak, dia pasti akan merasa jijik padaku.

Dan, itu kejadian belasan tahun lalu. Sangat berbeda jika dibandingkan ketika aku mulai mengenal dunia lebih luas. Di saat aku mulai duduk di bangku kuliah dan bergaul dengan banyak orang. Hidup di Surabaya, sebagai mahasiswa. Keadaan sangat berbeda. Bergaul dengan banyak orang, hingga masuk dalam komunitas penyuka sesama jenis.

Tapi untunglah, aku bergaul dalam komunitas itu hanya sebentar. Hanya sekitar enam atau tujuh bulan sebelum aku kembali ke Probolinggo karena telah menyelesaikan studiku.

Dan, salah satu yang membuatku bertahan adalah, salah satu komunitas hijrah bagi orang-orang sepertiku. Para pengurus komunitas--kami menyebut mereka para pendamping--benar-benar mendampingi kami dengan sepenuh hati. Hingga aku memutuskan untuk benar-benar bertaubat. Memutus hubungan dengan komunitas sebelumnya. Mengganti nomor ponsel, akun media sosial, dan semuanya.

***

Dan akhir-akhir ini, berada di sekolah atau di warung adalah hal yang sangat nyaman bagiku. Ibu benar-benar menyerangku hampir tanpa jeda. Tak hanya Maryam, bahkan Ida, Rita, dan entah gadis mana lagi yang ditawarkan ibu padaku. Terlebih lagi akhir-akhir ini, ibu mulai sering mencari informasi tentang anak gadis dari paman atau bibi jauhku. Segala usaha dilakukannya.

Meniti kasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang