Nur mengenyakkan pantat dan duduk dengan kasar di bibir ranjang. Dia bersedekap. Dahinya berkerut dengan bibir yang sudah dimajukan. Sejujurnya, aku sangat sebal jika Nur terus-terusan merajuk tak jelas begini. Ini membuatku merasa ingin pergi dan mengadu pada Adam.
Tapi, semua berusaha kutahan. Aku sadar ini hanyalah bisikan setan. Ujian untukku. Sampai di mana keteguhanku untuk kembali ke fitrahku sebagai lelaki, sebagai suami dan sebagai calon ayah.
Kami duduk di bersebelahan di bibir ranjang, setelah aku menutup pintu dengan baik. Kami membicarakan masalah tawaran Adam tadi. Tentu saja, istriku bersikukuh menolak. Tapi, aku berusaha merayunya yang masih saja terus merajuk. Sejatinya, kami harus bisa mengesampingkan ego masing-masing jika sudah begini.
"Coba tanyain lagi bener-bener ke hati nurani Mas. Emang niat bisnis atau modus?" Nur membuang muka. Nada suaranya pun sangat ketus.
"Nur! Aku sudah sangat jujur padamu. Itu tandanya aku benar-benar ingin teguh di jalan ini. Tapi, tawaran Adam juga memberikan solusi bagi keluarga kita."
"Solusi apa, Mas? Penghasilan Mas sudah sangat cukup bagiku. Aku enggak minta lebih, kok." Nur menoleh dengan tatapan tajam padaku.
"Mungkin kau tak meminta lebih. Tapi, jika aku tetap berjualan begini, waktuku bersama keluarga hanya sedikit, Nur. Bayangkan jika pekerjaan ini dibantu sistem manajemen yang baik! Aku tahu kemampuan Adam dalam berbisnis. Terlebih lagi, aku ingin membersamaimu mendidik buah hati kita. Memberikan kasih sayang utuh sebagai seorang ayah." Nada suaraku meninggi. Dan kuberikan penekanan pada kalimat terakhir.
"Kasih sayang utuh sebagai seorang ayah? Mas kalau berkeinginan itu jangan kejauhan! Coba kelarin dulu yang belum usai! Enggak usah mimpi ketinggian! Mas enggak akan pernah bisa jadi ayah yang baik sebelum menjadi anak dan suami yang baik." Nur mencebik. Membuat amarahku makin menggelegak saja.
"Maksudmu apa, Nur? Apa selama ini aku kurang baik sama ibu? Apa aku jahat dan tak bertanggung jawab sama kamu? Perihal orientasi seksualku, itu butuh proses. Bahkan, sebenarnya, aku sudah mulai menyayangimu." Aku masih berusaha menahan emosi. Meski sejujurnya, ada rasa geram yang teramat sangat di dada.
"Mas enggak pernah merasa bersalah, ya? Padahal Mas punya dosa besar. Mas sudah dzalim sama diri Mas sendiri. Mas menyimpan bangkai busuk di hati."
Bangkai dalam hati? Apa maksud istriku ini? Mengapa kata-katanya terdengar sangat tak pantas dan kasar?
"Maksud kamu apa, Nur?"
"Mas masih marah dan dendam, kan sama bapak? Kalau Mas ingin aku menyetujui kerja sama itu, maka Mas harus memenuhi keinginanku ini sebelum kandunganku berumur empat bulan. Cari informasi tentang bapak! Kunjungi dan minta maaflah, Mas!" Mata Nur menyipit. Tapi, tatapannya masih tajam membidik.
"Nur!" aku membentak cukup keras.
"Apa, Mas? Kalau ini saja berat, jangan bermimpi untuk bisa dengan mudah buat kembali ke fitrah. Jauh, Mas." Nada suara Nur terdengar mengejek.
Nur benar-benar merendahkanku kali ini. Tapi, aku terdiam. Tak ingin melanjutkan perselisihan ini. Amarah masih menguasai diriku.
"Aku mau salat dulu." Aku beranjak dan melangkah keluar kamar. Meninggalkan Nur yang juga masih diliputi kemarahan.
***
Sembari memeriksa tugas siswa, tak henti-henti aku memikirkan permintaan tak masuk akal istriku. Suasana kantor sekolah sedang sepi. Guru-guru sedang mengajar di kelas. Hanya ada aku dan dua guru perempuan. Mereka sedang sibuk bercakap-cakap.
Ah, mengapa Nur harus menekanku dengan permintaan tak masuk akal itu? Apa hubungan semua ini dengan bapak?
Tapi ... tiba-tiba aku teringat salah satu materi webinar yang pernah kuikuti. Oh ... pantas saja Nur memaksaku untuk bertemu bapak. Dia mempelajari salah satu faktor yang mungkin menyebabkan anak lelaki bisa memiliki orientasi seksual sepertiku.
Aku menghela napas dalam, kemudian mengembuskannya perlahan. Mataku terpejam. Sementara tanganku masih memegang pena. Mencoba mengingat cerita-cerita tentang bapak. Dan benar sekali, terasa sedikit ngilu di dada sebelah kiri.
Tapi, bagaimana caraku bertemu bapak? Lalu, bagaimana pula aku meminta izin pada ibu, andai memang bapak bisa kutemukan. Ibu pasti tak akan mengizinkanku menemuinya.
Oh, Tuhan ...
Aku terus saja memikirkan permintaan Nur. Hingga bel istirahat berbunyi.
Suasana seketika riuh. Tampak para siswa berlarian keluar kelas. Dan satu per satu para guru masuk kantor. Salah satunya istriku. Dia mendekap tumpukan buku tugas dan buku paket di tangannya. Dan melihatnya sedikit kesulitan, aku beranjak gegas untuk membantu.
Aku akan mengabari Nur tentang keputusanku mengabulkan permintaannya ini. Hal ini bukan lagi demi kerja sama dengan Adam. Ini demi keluarga kami. Mungkin saja ikhtiar ini yang bisa menjadi perantara kebahagiaan selanjutnya.
Dan untuk kerja sama dengan Adam, tentunya aku tetap akan berusaha membujuk Nur agar menyetujuinya. Perkara bagaimana perasaanku, bisa dipikirkan nanti. Yang terpenting saat ini adalah aku berikhtiar untuk kehidupan yang lebih baik.
Tentu saja, jika Nur menyetujuinya, maka bayangan kebahagiaan akan semakin jelas terpampang di hadapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meniti kasih
RomanceKhalid, lelaki penyuka sesama jenis yang ingin menjauhi maksiat dengan memutuskan untuk sendiri. Hingga, suatu kejadian membuatnya menikahi Nur, rekan kerjanya. Awalnya, Khalid bertekad menyembunyikan orientasi seksualnya, ingin membahagiakan Nur. T...