11. Khalid

499 55 2
                                    

Aku meninggalkan Nur di kamar. Karena, masih harus mengurus beberapa hal terkait tenda dan sound system. Pun dekorasi pengantin yang masih dalam proses pembongkaran.

Sebenarnya, ada paman yang bisa membantu. Tapi, aku tak ingin banyak merepotkan orang lain. Pun hal ini kulakukan juga untuk menyelamatkan diri dari rasa gugup dan cemas yang sesekali datang jika mengingat apa yang harus aku lakukan setelah ini. Mungkin tak harus malam ini. Tapi, cepat atau lambat aku harus melakukannya. Aku tak ingin Nur berpikiran macam-macam.

Beberapa orang masih sibuk dengan pekerjaan mereka, sementara aku memeriksa konsumsi untuk para pekerja tenda dan dekorasi. Karena, biasanya hal penting macam ini sering terlupakan.

Dan lewat tengah malam, pekerjaan mereka baru selesai. Halaman rumah mulai tampak seperti semula, hanya sampah yang sedikit berserakan saja.

Aku duduk di kursi kayu yang kebetulan ada di depan pintu dapur. Terdengar ibu dan beberapa wanita masih sibuk di dapur. Sepertinya ibu sedang membagi-bagikan sisa suguhan hajatan untuk mereka.

Sebagai orang kampung, kami terbiasa dibantu para tetangga untuk mengurus hajatan. Dan seusainya, kami akan membagikan sisa suguhan dan beberapa bahan mentah kepada para tetangga, seperti gula, telur, minyak, atau tepung.

Karena kulihat sampah sisa gelas minuman dan plastik-plastik pembungkus kue berserakan, aku berinisiatif untuk menyapu halaman saja. Biar besok tak terlalu banyak menyisakan pekerjaan.

Kuambil sapu lidi yang biasanya kuletakkan di dekat dinding dapur bagian luar. Lantas segera melangkah ke halaman dan menyapu.

"Loh, Mantene, kok, nyapu? Kok endak menemani istrimu, Lid?" Suara paman membuatku menghentikan kegiatan sesaat, lantas menoleh.

Aku hanya tersenyum tipis. Berdiri tegak, menepuk-nepuk pangkal sapu lidi untuk menguatkan ikatan pada sapu. "Inggih, Lek. Biar besok enggak banyak pekerjaan dan bisa istirahat."

Paman mendekatiku, lantas menyelipkan sesuatu ke tanganku. "Biar joss. Wes, ya, Lek mau pulang dulu."

Aku sedikit terkejut. Menatapnya sembari mengernyitkan dahi. Sementara pamanku segera melangkah pergi meninggalkanku.

Sepeninggal paman, kulihat yang telah diberikannya padaku. Dan sungguh, rasa tak nyaman kembali menyeruak di dada. Paman memberiku sebungkus suplemen penambah vitalitas.

Ah, andai aku lelaki normal, sungguh akan berbeda kejadiannya. Tapi, ketika keadaanku seperti ini, rasanya selalu saja tak nyaman. Rasa cemas dan takut, silih berganti mengganggu. Aku tak ingin mengecewakan istriku. Wanita baik yang pagi tadi telah menjadi amanahku.

Gusti ... berilah selalu pertolonganmu? Mudahkanlah Hamba dalam melaksanakan segala kewajiban?

Kukantongi pemberian paman. Lantas melanjutkan pekerjaanku kembali. Dan sekitar jam dua dini hari, aku masuk ke rumah. Karena, orang-orang yang tadi membantu, sudah pulang semua. Bahkan, sepertinya ibu pun sudah beristirahat.

Kubuka pintu kamar. Seketika, wangi sedap malam menyeruak dan menelusup penciuman. Cahaya temaram lampu tidur, masih bisa membuatku melihat jelas Nur yang sedang berbaring miring di ranjang, menghadap ke tembok.

Aku melangkah, duduk di bibir ranjang. Kedua siku kutumpukan pada lutut. Aku menunduk beberapa saat. Kuhela napas dalam, lantas mengembuskannya perlahan.

Kurogoh saku celana, mengambil pemberian paman. Kupandangi bungkusan itu. Dan lagi-lagi, ada rasa cemas di dada.

Harus kuapakan benda ini?

Kukembalikan suplemen itu ke saku celana. Lantas, kuputar badan sedikit miring. Memerhatikan Nur yang sepertinya sudah begitu lelap dalam tidurnya.

Apakah Nur akan bahagia menikah denganku?

Meniti kasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang