39. Khalid

675 67 0
                                    

Aku duduk bersebelahan dengan Nur pada sofa spons kain di ruang tamu yang cukup luas ini. Dan seolah-olah sangat paham dengan keadaanku, Nur duduk sangat dekat denganku. Bahkan, hampir tak ada jarak di antara kami.

Kaki kiriku terus saja bergerak tanpa bisa kukendalikan. Aku duduk sedikit membungkuk dengan siku menumpu pada lutut. Telapak tangan saling terjalin dengan kedua telunjuk yang bergerak cepat, mengetuk-ngetuk saling beradu tanpa henti. Napasku sedikit lebih cepat. Tentu saja, tak mampu kusembunyikan rasa ini. Aku benar-benar gugup.

Lagi. Nur berusaha menenangkanku. Dia mengusap pelan punggungku. Memandangku dari samping, yang membuatku seketika menoleh karena merasakan perhatiannya ini. Nur tersenyum hangat. Tak ada kata, hanya senyuman itu benar-benar hangat. Menyelimuti hatiku yang menggigil. Seolah-olah, Nur telah memeluk seluruh hatiku. Dan aku jatuh di rengkuhan peri penolongku ini.

Beberapa menit hanya isyarat tanpa kata. Hingga, tiba-tiba lelaki yang tadi kutemui, keluar dengan seorang wanita paruh baya. Kuperkirakan dia berumur sedikit lebih muda dari ibu. Penampilan khas ibu-ibu dengan baju kurung, sarung batik, dan hijab instan rumahan. Matanya membesar seketika, saat melihat padaku. Dia menghentikan langkah sesaat, tertegun. Lantas, melanjutkan dengan langkah yang lebih cepat, mendekati kami.

Aku berdiri dengan pandangan tak beralih dari wanita itu. Sementara pikiranku masih saja kebingungan. Tak mampu memahami tiap kejadian yang kualami sejak menginjak halaman rumah ini tadi. Tak tahu siapa lelaki tadi, wanita ini, dan ... mana bapakku?

Wanita itu mendekatiku. Seketika aku dan Nur sedikit menunduk, memberi hormat. Aku mencium punggung tangannya, ketika dia telah sampai di hadapan. Matanya tak beranjak sedikit pun. Bahkan, kini mata tua itu berkaca-kaca. Dan, meski aku mulai menegakkan tubuh, dia tak sedikit pun membiarkan tanganku lepas dari tangannya.

"Le ... Kamu Khalid? Gusti ... kamu benar-benar Khalid. Mas Darmo ada di dalam. Doanya bertahun-tahun akhirnya terkabul." Wanita itu melepas tangannya lantas menepuk pelan lenganku dan mengusap-usapnya lagi. Aku hanya mengangguk dan berusaha tersenyum, meskipun sejatinya aku tak ingin berlama-lama dengan ramah tamah ini. Aku ingin menemui bapak.

"Ini istri kamu, Le?" Dia menoleh kepada Nur.

"Inggih." Nur menjawab dan meraih punggung tangan wanita itu.

Dia melakukan hal yang serupa dilakukannya padaku. Menepuk pelan dan mengusap-usap pelan bahu istriku. "Masyaallah. Begitu lama, akhirnya kamu datang dan sudah menikah. Gusti Allah welas ..."

Beberapa menit aku hanya berada dalam rasa tak karuan dan ingin segera tahu yang sejatinya terjadi. Di mana bapak dan siapa mereka? Dan akhirnya, wanita paruh baya itu membimbingku masuk. Kami melewati ruang tengah, lalu berbelok masuk ke kamar kedua setelah kamar depan.

Seorang lelaki sedikit lebih tua daripada lelaki yang pertama kutemui tadi, duduk berlunjur di ranjang. Punggungnya disangga bantal. Selimut cokelat menutupi bagian kakinya. Dan, seketika dia menoleh saat menyadari kedatangan kami. Matanya berkaca-kaca. Dia mengulurkan tangannya, berisyarat agar aku mendekat. "Khalid anakku ..."

Oh, bapak. Dia bapak. Jantungku rasanya mencelus. Seketika tenggorokanku terasa tersekat. Aku melangkah cepat mendekatinya. Air mata sudah berderai di pipi.

"Pak ...." Hanya itu kata yang kuucap.

Seketika aku bersimpuh di sisi ranjang dan mencium punggung tangannya. Menjatuhkan kepala di pangkuannya. Kami sama-sama terisak. Tak hanya aku dan bapak. Bahkan, kudengar isakan lain. Entah siapa saja yang ikut hanyut dalam suasana haru ini.

Kurasakan belaian tangan bapak di punggung kepalaku. "Gusti ... Khalid, anakku. Kamu wis gede, toh, Le. Akhirnya kita benar-benar bisa ketemu sebelum bapak meninggal. Gusti Allah welas."

Suara bapak bergetar. Dan aku tak suka mendengar kalimat terakhirnya. Bagaimana bapak boleh semena-mena meninggalkanku yang baru saja bertemu dengannya?

Kami hanya terisak saja untuk beberapa waktu. Tak ada cerita nostalgia atau sejenisnya. Hanya rasa haru dan bahagia membuncah. Pun, aku tak membutuhkan segala penjelasan bapak tentang apa pun. Aku tak peduli. Aku hanya bahagia bisa bertemu bapak. Lelaki yang menjadi perantara keberadaanku di dunia ini.

***

Aku bercakap-cakap banyak hal dengan bapak di kamar. Wanita yang tadi menemuiku ternyata adalah Bu Khadijah, istri pertama bapak. Dia memang lebih muda dari ibu. Sedangkan lelaki yang pertama kali kutemui adalah Lek Sutikno, adik bapak. Dia yang mengurus selep bapak setelah bapak jatuh sakit hampir setahun terakhir ini. Bapak tiba-tiba ambruk dan mengalami stroke. Sekarang bapak masih dalam masa pengobatan.

Aku dan Nur duduk di kursi plastik tanpa sandaran. Lek Sutikno mengambilkannya untuk kami tadi. Kami menghadap bapak, di sisi ranjang. Sementara Lek Sutikno duduk sedikit mundur. Dan Bu Khadijah pamit ke dapur. Seorang perempuan lain berumur sepantaran Bu Khadijah, datang membawakan minuman untuk kami.

Bapak banyak bercerita tentangnya selama ini. Pun dia bertanya tentangku. Sungguh aku begitu bahagia. Dia bercerita, kalau sebenarnya pernikahan bapak dan ibu sudah mendapat persetujuan Bu Khadijah. Bahkan sesungguhnya, Bu Khadijah yang mengusulkannya.

Bu Khadijah pernah hamil. Tapi, karena suatu penyakit, terpaksa harus menjalani pengangkatan rahim. Hal ini cukup membuatnya depresi. Dia terus saja meminta agar bapak menikah lagi. Hingga, seorang kerabat menjodohkan bapak dengan ibu.

Bapak mengakui bahwa apa yang dilakukannya keliru meskipun memiliki niat baik. Bapak tak jujur dengan statusnya kepada ibu.

Dan mendengar ceritanya, aku tak dapat menyalahkan bapak atau ibu. Keduanya tak salah dalam posisi mereka masing-masing. Pun salah dalam posisi masing-masing.

Bapak pun menanyakan perihal ibu. Aku menceritakan sedikit. Tapi, aku meminta maaf karena mungkin belum bisa menyambung kembali silaturahmi di antara mereka.

"Tak masalah, Le. Tak perlu memaksakan diri. Kalau Allah berkehendak, pasti akan ada jalan kami kembali bersilaturahmi. Kalau memang Allah tak berkehendak, ya, biarlah. Memang itu yang terbaik."

"Inggih, Pak."

Kami terus saja bercakap-cakap. Aku ingin menghentikan waktu dan berlama-lama bersama bapak.

"Mas, suruh Khalid dan istrinya makan dulu!" Suara Bu Khadijah membuat kami menengok ke arahnya hampir bersamaan. Dia berdiri di ambang pintu.

"Aku juga mau makan, Bu." Bapak mencoba beringsut. Segera saja aku dan Lek Tikno berusaha membantunya.

"Tolong ambilkan kursi roda itu dulu!" Lek Tikno menunjuk kursi roda yang terlipat di pojok kamar. Dia menahan lengan bapak sebelah kiri, sementara aku di sebalah kanan.

Segera saja, Nur berbalik dan mengambilnya. Lalu, membukanya dan mendekatkan kursi itu ke sisi ranjang.

Aku dan Lek Tikno mendudukkan bapak perlahan. Lantas, aku mendorong kursi roda itu keluar kamar. Kuperhatikan, wajah bapak begitu semringah.

Lek Tikno mendekatkan tubuhnya ke arahku dan berbisik, "Akhirnya dia minta makan, biasanya sulit sekali untuk makan."

Aku mengulum senyum. Hanya kebahagiaan yang kini kurasakan.

Meniti kasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang