Aku berjalan beriringan dengan Nur yang membawa nampan dengan dua cangkir kopi dan segelas teh hangat. Sementara aku membawa nampan lain dengan tiga mangkuk kosong dan beberapa pelengkap bakso.
"Waduh, repot-repot kamu, Lid," Adam tiba-tiba menyeletuk ketika melihatku keluar dari pintu ruang tengah.
"Biar kamu tahu rasanya, Dam. Masak aku cerita aja. Lagian, sekarang kamu datang bareng nyonyamu, kan?"
Ternyata benar, istri Adam wanita yang cantik. Seperti selera Adam sebelumnya. Berambut panjang dan sedikit ikal.
Aku ingat betul, beberapa kekasih Adam ketika masa sekolah dulu. Gadis-gadis yang membuatku cemburu. Tapi, saat melihat istri Adam yang memangku anak keduanya, tak terlalu menimbulkan gelegak amarah di hati. Meskipun masih ada hayalan andai saja waktu bisa kuputar dan bisa terus dekat dengan Adam. Walau dia hanya menganggapku sahabat. Karena itu, aku melirik Nur yang berjalan mendahuluiku dan menyuguhkan minuman kepada tamu kami. Mencoba menetralkan rasa yang sempat hadir.
Aku pun segera meletakkan bawaanku, lantas duduk di kursi yang berhadapan dengan tamu kami ini. Sementara itu, Nur kembali lagi ke dapur untuk mengambil mangkuk besar berisi kuah bakso.
"Gimana jawabanmu, Lid?"
"Waduh, santai dulu, lah, Bro! Makan dulu! Kita ngobrol setelah perut terisi." Aku terkekeh yang diikuti oleh Adam. Sementara itu, kulihat istri Adam mengulum senyum geli. Wanita itu pasti bahagia bersama Adam yang sangat baik dan perhatian.
"Kamu, sih, mau bilang iya aja lama. Kayak perawan ditawari nikah."
"Jadi, kamu pernah jadi perawan, ya, Dam? Kok paham banget?" Lagi. Aku terkekeh.
Dan tawa pun pecah setelahnya. Di tengah kami bercanda, Nur datang membawa kuah bakso. Aku segera beranjak, membantunya menyuguhkan bakso di meja.
"Makan, dulu! Habis ini ngobrol serius. Oke? Mari, Mbak, dinikmati!"
Adam hanya menggeleng-geleng pelan. Sementara aku dan Nur berbalik dan melangkah masuk rumah.
"Mas ..." Suara Nur sedikit lirih. Dia sedikit mendongak melihat kepadaku.
"Hmmm?" Aku menoleh menatapnya sembari terus berjalan ke kursi ruang tengah.
"Anu. Mungkin, tawaran temenmu itu bisa diiyakan. Aku merasa klik setelah melihat kalian bercanda tadi. Entahlah, rasanya tiba-tiba saja. Meski jika harus jujur ... aku masih sedikit cemas." Kini, kami duduk bersebelahan di sofa ruang tengah.
Aku terkejut mendengar kalimat-kalimat yang terucap begitu lancar dari bibir istriku. Membuat hatiku kembali menghangat. Mendapat kepercayaan. Rasanya seperti anak kecil yang dibiarkan bereksplorasi dan bermain-main dengan dunianya.
Aku kembali menatap istriku lekat-lekat. Menghela napas dalam, kemudian mengembuskannya perlahan. "Nur, insyaallah semua akan baik-baik saja. Aku berteman dengan Adam selama hampir tiga tahun ketika di SMA dulu. Dan selama itu, semua baik-baik saja. Terlebih sekarang ada kamu sebagai istriku. Segila-gilanya aku, sebrengsek-brengseknya aku, masih ingat bahwa aku punya istri sabar dan menerimaku dengan tulus."
Istriku menatapku dalam. Lantas, mengulas senyum tipis. Tatapannya hangat dan damai terasa di hati.
Lagi, hatiku menghangat. Seolah-olah inilah pertama kalinya aku diberi kepercayaan begitu besar. Rasanya sangat melegakan.
Kami bercakap-cakap sebentar di ruang tengah. Dan ketika dirasa tamu-tamu kami telah selesai menikmati bakso, kami kembali lagi ke ruang tamu.
"Gimana, Dam?" Aku duduk di kursi yang tadi kududuki. Sementara itu, Nur membereskan suguhan dan mangkok bekas tamu kami makan tadi.
"Wah, kuah baksonya mantap, Lid. Dan dagingnya kerasa banget."
"Tentu saja, ini, kan, kaldu dari biang yang kubuat sejak pertama membuka warung."
"Jadi gimana?" Adam lagi-lagi menanyakan tawarannya. Sementara itu Nur sudah membawa sisa suguhan dan mangkok kotor ke dapur.
"Ehm ... Insyaallah ini akan jadi perantara kesuksesan kita." Nada suaraku sangat tegas dan mantap. Dukungan Nur membawa semangat bagiku untuk membuka gerbang baru ini.
"Wah, alhamdulillah kalau begitu."
Kami kembali bercakap-cakap santai. Membahas beberapa rencana Adam tentang konsep bisnisnya. Sementara itu Nur telah kembali dan duduk di sampingku.
Hingga ketika hari mulai beranjak siang dan sayup-sayup terdengar lantunan adzan Dzuhur, Adam pamit pulang.
***
Seperti biasa, seusai mengajar, aku beristirahat siang. Tidur sebentar, tiga puluh sampai empat puluh lima menit. Sementara itu, Nur yang mengecek persiapan untuk jualan sore nanti.
Aku berbaring miring, memeluk guling. Berusaha memejam. Tapi, siang ini lagi-lagi aku gelisah. Bayangan tentang bapak kembali menghantui. Aku benar-benar merasa bersalah.
Aku berusaha memejam, karena jika tak istirahat, bisa kelelahan di warung. Semua selalu kulakukan teratur selama ini. Tapi tetap saja pikiranku tak bisa berkompromi.
Aku beranjak, lalu menutup jendela kamar agar suasana menjadi gelap. Menghidupkan kipas dinding dan membuat udara kamar sedikit lebih sejuk. Kuharap caraku ampuh untuk bisa membuatku terlelap.
Tapi percuma, aku tetap gelisah. Beberapa kali mengubah posisi, tetap tak mampu terlelap.
Sudah lima hari sejak aku menemui Lek Narto dan bertanya tentang bapak. Tapi, belum juga memiliki rencana untuk benar-benar berkunjung ke rumah bapak di Jember. Aku masih mencari cara untuk izin pada ibu. Aku ingin merahasiakan semua ini darinya.
Dan, entah sudah berapa lama aku masih diselimuti kegelisahan, hingga suara kenop pintu sedikit menarik perhatianku.
Aku yang berbaring miring menghadap tembok, seketika menoleh ke arah pintu. Nur muncul dari balik pintu.
"Sudah jam berapa, Nur?"
"Loh, sudah bangun? Aku mau bangunin. Sudah setengah tiga." Nur menghidupkan lampu utama. Lantas memutar tubuh, dan kembali melangkah ke arah pintu.
"Nur, tunggu! Ke sini sebentar, aku mau membicarakan sesuatu" Aku beranjak dan segera duduk bersila di ranjang.
Nur seketika berbalik, kemudian melangkah menghampiriku dan duduk di bibir ranjang. "Ada apa?"
"Aku mau menemui bapak, Nur. Tapi, hingga detik ini enggak menemukan cara yang pas untuk izin pada ibu." Aku menghela napas dalam.
"Kapan Mas Khalid ingin ke Jember?"
"Sabtu depan kalau bisa. Aku bisa meminjam mobil Lek Narto. Kita berangkat sepulang mengajar. Biar warung tutup dua harian. Aku hanya berjaga-jaga saja takut enggak segera bisa menemukan alamat bapak."
Nur menghela napas dalam. Matanya berputar beberapa kali, lantas menjatuhkan pandangannya ke lantai sembari menggigit bibir bawah. Dan menit kemudian, dia kembali mendongak dan menoleh padaku. "Mas bisa pakai alasan mengantarku menghadiri acara reuni pesantren."
"Reuni?"
"Hu'um. Ibu pasti memperbolehkan."
"Ya, kamu benar. Ini alasan yang tepat. Dengan begini, kita enggak terlalu banyak berbohong sama ibu. Menghadiri reuni pesantren di Jember."
Begitu lega rasanya. Kegelisahan yang menghantui, terasa berkurang. Meskipun tak benar-benar menghilang.
Muncul selaksa harap di dada membayangkan bisa bertemu bapak dan meminta maaf. Melihat senyum dan binar kebahagiaan dari mata tuanya.
Ah, bapak. Lelaki yang hanya kutahu namanya. Kini, aku benar-benar akan menemuinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meniti kasih
RomansKhalid, lelaki penyuka sesama jenis yang ingin menjauhi maksiat dengan memutuskan untuk sendiri. Hingga, suatu kejadian membuatnya menikahi Nur, rekan kerjanya. Awalnya, Khalid bertekad menyembunyikan orientasi seksualnya, ingin membahagiakan Nur. T...