Hatiku masih diselimuti rasa kesal dan cemas ketika tiba-tiba Mas Khalid menarik pergelangan tangan dan membimbingku untuk duduk pada bibir ranjang, tepat di sampingnya. Padahal, belum juga aku berganti pakaian seusai pulang mengajar.
Memang perselisihan kami sudah terjadi dua hari lalu, tapi tetap saja aku dongkol sama rencana kerja sama ini. Toh, kemarin malam pas aku menghubungi pengunggah video, dia bersedia buat melakukan klarifikasi dan permintaan maaf. Malah, kami berencana bertemu nanti malam di warung. Sekalian dia bikin video di warung, sih. Enggak ada masalah lagi. Tinggal menunggu saja, sebenarnya. Tapi, rencananya dengan Adam malah mengundang masalah lain.
"Pelan, dong, Mas!" Aku mencoba melepaskan tangannya dari pergelangan tanganku.
"Eh, iya. Maaf." Mas Khalid melepaskan tangannya. Segera saja aku memijat-mijat pelan pergelanangan tanganku sembari sedikit meringis. Sebenarnya, enggak sakit, sih. Aku hanya hiperbola saja. Habisnya, aku sebel banget sama suamiku ini.
"Ada apa lagi?" Nada suaraku kubikin agak ketus. Kasihan sebenarnya, dua hari ini dia kusuguhi wajah ngambek terus menerus. Bahkan, pas tadi di sekolah, saat dia berusaha bersikap manis pun, aku tetap saja cemberut.
"Ehm ... soal nyari bapak. Kupikir, kamu ada benarnya juga." Kalimat Mas Khalid terjeda sesaat. Dan mendengar pembukaan obrolan ini, seketika membuatku semringah. "Menurutku, ada baiknya juga kalau aku membuka komunikasi lagi sama beliau. Meskipun sebenarnya bukan salahku, tapi enggak ada salahnya minta maaf duluan."
"Hadeuh ... Mas Khalid ini lagi-lagi mikirin salah-salahan. Ini bukan masalah salah atau benar antara Mas sama bapak. Tapi, salah dan benar antara Mas dan diri Mas sendiri." Aku mendengkus sedikit kasar. Bibirku mencebik. Memutar bola mata sekali, lalu menjatuhkan pandangan kembali pada Mas Khalid.
Mas Khalid mengernyit. Kepalanya sedikit miring. Dia memandangku penuh tanya. "Maksud--"
"Gini, loh, Mas. Masalah siapa yang salah dan benar antara Mas Khalid dan bapak, itu bukan urusan kita lagi. Andai bapak yang salah, itu urusan bapak. Emosi dan rasa bersalah atau amarah pada diri bapak bakal berpengaruh pada bapak sendiri. Yang jadi urusan kita adalah Mas Khalid yang kecewa dan menginginkan sosok seorang ayah." Nada suaraku kubikin sejelas mungkin.
Mas Khalid mengangguk-angguk. Dia menggigit bibir bawahnya. Sepertinya mencoba memikirkan ucapanku.
"Nah, meski sebenernya emosi bapak dan ibu berpengaruh sama Mas Khalid, tapi enggak lebih besar daripada emosi Mas sendiri. Kalau Mas enggak menyimpan emosi negatif sama bapak, insyaallah urusan rumah tangga kita bakal segera kelar." Aku menjeda perkataanku. Memerhatikan raut wajah suamiku yang sekarang tampak serius.
"Mas mikir enggak, urusan fitnah warung ini? Kenapa cepat kelar? Padahal viral, loh. Cuma mengurangi omset dikit aja. Enggak fatal. Eh, malah, sampe bikin si temenmu itu ngajak kerja sama segala. Mas sadar enggak, sih, kalau masalah rezeki, Mas Khalid itu lancar banget?" Aku menatap mata keccokelatan itu lekat-lekat. Tapi ... Mas Khalid cuma menggeleng pelan.
"Entahlah. Mungkin memang rezekiku."
"Ya emang, sih. Tapi, kalau mau dicari faktornya, itu karena ibu. Mas Khalid itu berbakti banget sama ibu. Anak yang berbakti sama ibu, akan dilancarkan masalah rezekinya. Sedangkan ayah itu masalah cinta. Makanya, pantes Mas Khalid kesulitan kalau masalah cinta. Bener, kan?" Aku menenglengkan kepala. Masih menatap suamiku lekat-lekat.
"Ehm ... bener, sih. Tapi, itu teori dari mana? Kamu tahu dari siapa?"
"Tauk, lah. Aku lupa. Yang jelas aku pernah baca ini. Kalau enggak salah, ini urusannya dengan masalah psikologi. Pokok sejenis itu, deh. Makanya, aku maksa banget Mas Khalid buat hubungan baik sama bapak sebelum kandunganku berumur empat bulan. Mas Khalid paham, kan?"
Suamiku menghela napas dalam. Sangat dalam. Bahkan, dia sampai memejam beberapa saat. "Terima kasih, ya, Nur. Kupikir, kamu merajuk hanya karena cemburu. Tapi, sekarang aku baru paham maksudmu."
"Jadi?" Nada suaraku kini melembut.
"Okeh, kita cari bapak. Tapi, bagaimana kita akan mengatakan hal ini sama ibu?"
"Apakah semua hal, ibu harus tahu? Aku bukannya ingin Mas enggak terbuka sama ibu. Tapi, jika keterbukaan bisa bikin ibu kembali terluka, mending kita rahasiakan hal ini. Kita cuma menemui bapak, kok."
Mas Khalid hanya mengangguk-angguk. Kulihat dia bernapas dalam beberapa kali.
"Ya udah, Mas. Aku mau ganti baju dulu. Kita segera, salat, yuk!" Aku beranjak. Menepuk pelan pundak suamiku. Lantas menuju lemari untuk berganti pakaian.
***
Aku duduk di kursi plastik, enggak jauh dari gerobak bakso. Mengamati jalanan yang ramai dengan lalu lalang kendaraan. Maghrib baru saja tiba, sekitar setengah jam lalu.
Sementara itu, keadaan warung masih sepi. Tak seramai biasanya. Ada beberapa pelanggan yng sedang menikmati bakso dan mie di meja. Dan dua orang lagi sedang menunggu pesanan bakso untuk dibungkus dan dibawa pulang.
Malam ini, aku ikut Mas Khalid ke warung. Sengaja, karena sudah janjian sama pengunggah video untuk ketemuan di warung. Selain biar dia bikin video klarifikasi di sana, kami juga mau menjalin silaturahmi.
Pengunggah video itu adalah seorang perempuan. Rumahnya enggak jauh dari warung. Dia termasuk salah satu pelanggan lama.
Meski awalnya aku sempat sebal, tapi pas tahu alasan dia bikin videonya, jadi kasihan juga. Dia cuma kaget sama urat sapi yang ada pada bakso. Dipikirnya buntut tikus. Ah, ada-ada saja.
Kemarin, perempuan itu sempat takut, sih. Tapi, aku berusaha meyakinkan bahwa everything will be okay selama dia mau bekerja sama. Dan hari ini, dia bakal datang bareng suami dan anaknya.
Aku menunggu enggak terlalu lama. Kulihat sepasang suami istri dan seorang anak perempuannya, turun dari motor. Aku segera mengenali perempuan itu, soalnya tahu dari foto profilnya di media sosial. Karenanya, aku segera berdiri buat menyambut mereka.
Aku melangkah melewati gerobak bakso, menepuk halus pundak suamiku yang sedang berdiri di depan gerobak menyiapkan bakso untuk pelanggannya. "Mas, mereka datang."
Mas Khalid menoleh dan mengangguk. "Oh, iya."
Mas Khalid memamggil salah satu asistennya untuk melanjutkan pekerjaannya. Lalu, berjalan bersamaku menyambut tiga tamu kami.
Kami bersalaman, lalu mempersilakan tamu kami itu untuk duduk di kursi kosong yang ada. Kulihat Mas Khalid berbicara sebentar kepada asistennya untuk menyiapkan bakso bagi tamu-tamu kami ini. Lalu menyusul dan duduk bersama.
Kami mengobrol dan berbasa basi sebentar. Terjeda oleh datangnya asisten yang membawa bakso. Lalu, perempuan cantik berambut lurus itu, mulai merekam untuk kepentingan video. Sementara itu, sang suami menyuapi anak perempuan mereka yang kira-kira berumur tiga tahunan. Enggak lupa, aku menyodorkan kertas hasil tes laboratorium agar diikut sertakan dalam videonya nanti.
Kami menemani mereka menikmati bakso sembari terus bercakap-cakap. Sesekali, si istri merekam video. Tiba-tiba, dengungan HP sedikit mengagetkan Mas Khalid. Dia merogoh saku kemeja, dan memeriksa HP-nya.
"Sebentar, ya, saya mau menjawab telepon dulu." Mas Khalid beranjak dari kursi dan berlalu ke samping gerobak bakso. Menerima panggilan masuk dan mulai mengobrol. Sementara itu, aku terus menemani tamu kami ini tanpa menghiraukan Mas Khalid.
Beberapa menit kemudian, Mas Khalid kembali. Rupanya dia cuma ngobrol sebentar sama si penelepon. Dan, belum juga Mas Khalid duduk, aku sudah bertanya padanya. Tujuannya sih hanya untuk basa basi. "Siapa yang menelepon?"
Dan, seketika air muka Mas Khalid berubah. Membuatku bisa menebak siapa yang berbicara dengannya barusan.
"Oh, A-adam." Seperti biasa, Mas Khalid kayak ketakutan kalau kutanya perihal Adam.
"Oh." Aku cuma menjawab singkat. Ekspresi wajahku pun kubuat sebiasa mungkin. Enggak mungkin, dong, aku cemberut di depan orang lain karena suamiku ngobrol sama temannya. Sesama lelaki pula. Meskipun, ada sedikit sebal di hati. Padahal, Adam enggak tahu tentang ini. Ini cuma perasaan sepihak suamiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meniti kasih
RomanceKhalid, lelaki penyuka sesama jenis yang ingin menjauhi maksiat dengan memutuskan untuk sendiri. Hingga, suatu kejadian membuatnya menikahi Nur, rekan kerjanya. Awalnya, Khalid bertekad menyembunyikan orientasi seksualnya, ingin membahagiakan Nur. T...