49. Nur

496 75 1
                                    

Aku mengenyakkan pantat di bibir ranjang kamarku. Baru beberapa jam di rumah emak, kenapa rasanya bosan banget? Bakda Maghrib begini, biasanya Mas Khalid di rumah. Dan, kalau bukan karena kesibukan yang padatnya kelewatan selama dua bulanan ini, kami biasanya ngobrol macam-macam di ruang tengah sambil nonton. Dia juga bakal ngobrol sama si Debay dalam perut.

Aaarrggh ... kenapa aku harus kangen sama Mas Khalid? Padahal juga hampir tiap minggu dalam dua bulan terakhir ini dia ke Jember, dan aku ditinggal. Tapi, aku enggak sekangen ini. Jarak antara rumah ini dan rumah kami cuma satu setengah kilometer saja, loh .... Tapi, rasanya sudah berabad-abad enggak ketemu.

Dasar Mas Khalid jahat. Kenapa dia enggak mau menyempatkan diri barang beberapa hari untuk persiapan kelahiran anaknya? Semalam saja, cuma dibelikan dua set baju bayi serta gurita dan popok kain, masing-masing cuma enam potong. Setidak peduli itukah dia sama anaknya sekarang?

Oke-oke. Memang aku ngebet dan ingin banget Mas Khalid bisa cinta sama aku. Aku salah. Enggak ada yang instan dan semua butuh proses. Tapi, sudah lebih dari satu setengah tahun barengan, masak enggak ada cinta-cintanya barang sedikit saja?

Kupikir, setelah rilis emosi dan bertemu bapak, aku enggak perlu menunggu lama untuk bikin Mas Khalid bisa mencintaiku. Tapi nyatanya, masih harus bersabar lagi.

Bisakah aku menahan diri untuk terus berusaha bersabar? Rasanya aku enggak mau bersabar lagi. Terlebih lagi Mas Khalid kayak yang apa-apa musyawarahnya sama Adam.

Ketukan di daun pintu kamar, bikin aku tersentak kaget dan seketika tersadar. Emak sudah berdiri di depan pintu dengan membawa talam dan mangkok-mangkok di atasnya.

"Ini ada kolak kacang hijau. Emak taruh di depan TV, ya?" Aku hanya mengangguk, dan emak berlalu dengan talamnya.

Ah, benar-benar menyebalkan. Aku terjebak dalam pernikahan ini. Tadi, pas makan malam, emak dan bapak memuji Mas Khalid habis-habisan. Sebangga itu mereka sekarang sama menantunya? Tentu saja, apa lagi yang mereka lihat selain warung yang semakin ramai dan ada beberapa cabang. Apalagi, kedua orangtuaku juga tahu kalau Mas Khalid juga ada warung di Jember dan sebentar lagi di Pasuruan.

Tapi, enggak mungkin juga aku bakalan cerita penderitaan batinku. Standar orang-orang tentang suami ideal, ada semua pada diri Mas Khalid. Makanya, aku bilang kalau aku benar-benar kejebak. Kalau aku memilih pergi, pasti aku yang bakal disalahkan.

"Nur ...!" Kudengar suara emak cukup lantang. Rupanya, aku cukup lama mematung saja di sini.

"Inggih, Mak." Aku segera berdiri dan melangkah menuju ruang tengah.

***

Kulempar HP begitu saja ke ranjang. Setelah barusan menerima panggilan suara dari Mas Khalid. Dia sudah berangkat dari rumah untuk menjemputku dan selanjutnya langsung ke rumah Adam. Barusan, terakhir kulihat penunjuk jam di HP sudah jam tiga lewat tujuh menit. Baru saja aku selesai melaksanakan salat Ashar.

Benar-benar menyebalkan. Kenapa harus ketemu si Adam lagi? Memangnya ada urusan apa lagi antara keluarga kami dan si Adam ini?

Aku duduk menjuntai di bibir ranjang. Mendengkus sekali. Lantas melemparkan pandangan ke arah ransel yang sudah siap kubawa kembali ke rumah.

Seantusias itukah aku untuk pulang? Kenapa aku enggak bisa lepas dari Mas Khalid? Padahal, tiga hari ini, mana ada dia menghubungiku? Dia membiarkanku begitu saja. Malah semalam aku yang menghubunginya untuk memastikan apakah dia benar-benar akan menjemputku.

Padahal, kalau ke luar kota, dia pasti menghubungiku untuk sekadar ngobrol sebelum tidur. Itu pun sampai lama banget. Tapi weekend kemarin, kan, Mas Khalid enggak ke mana-mana? Dia enggak ke luar kota. Dia cuma mengecek warung seperti biasa. Ucapannya sama emak dan bapak kemarin, kan, cuma alasan yang mengada-ada. Biar mereka enggak berpikiran buruk saja. Tapi, kenapa buat meneleponku saja susah?

Suara dehaman yang sangat kukenal, tiba-tiba membuatku tersentak kaget. Aku seketika mendongak. Ish ... menyebalkan banget. Mas Khalid sudah senyam-senyum sambil memandangku. Bersedekap dan bersandar pada ambang pintu.

Tentu saja, aku memandangnya dengan dahi berkerut dan bibir monyong. Tapi, Mas Khalid malah menggodaku dengan mengerling dan berisyarat kecupan jarak jauh.

"Kamu siap buat kejutannya, Kan?" Mas Khalid melangkah mendekat padaku.

Tentu saja, aku rada kaget. Menatap nyalang sama suamiku. Kejutan? Memangnya dia pernah bilang kalau mau kasih aku kejutan?

"Kejutan apaan? Aku enggak lagi ulang tahun." Mataku enggak beralih dari suamiku yang sekarang sudah meraih ransel dan menyampirkannya di pundak. Lantas mengambil ponsel dan memasukkannya ke sling bag yang berada di sampingku. Pun dia menyampirkan sling bag ke pundakku.

"Ayo, kita segera pamit sama emak dan bapak. Udah puas, kan, istirahatnya? Kepalanya udah adem dan enggak ngambek lagi, kan?" Mas Khalid meraih pergelangan tanganku, lalu menariknya.

Aku cuma pasrah saja, mengekorinya meski rada sebal. Tapi, tiba-tiba dia menghentikan langkah, lalu berbalik.

"Lupa. Senyum dulu, dong, Sayang! Biar emak sama bapak enggak curiga." Dia melepas tangannya dari pergelangan tanganku. Menarik kedua ujung bibirku. Lantas mengusap lembut bagian dahi yang ada di antara pangkal alis.

"Hii ...." Aku menyeringai dengan ekspresi yang kubuat rada sebal. Hal ini, sukses membuat suamiku terkekeh dan langsung mengusap kasar pucuk kepalaku yang berbalut hijab kaos instan.

"Nah, gitu, kan, cakep. Yuk, kita kemon!" Mas Khalid kembali menarik pergelangan tanganku.

Kami pamit sama bapak dan emak. Dan setelahnya, langsung berboncengan menuju ke rumah Adam.

Sepanjang perjalanan, aku diam seribu bahasa. Tapi, beribu cara juga dilancarkan Mas Khalid buat merayu. Mulai dari menarik tanganku biar lebih erat melingkar di pinggangnya, hingga melemparkan joke-joke garing. Dan yang terakhir sukses membuatku menahan tawa. Bukan karena joke-nya yang lucu, tapi karena terlalu garing dan ketidaklucuannyalah yang malah jadi lucu banget.

Aku penasaran banget, sebenarnya, kejutan apa, sih, yang sudah disiapin di rumah Adam. Lalu kenapa harus di rumah Adam? Kenapa enggak di rumah? Ini, nih, yang bikin aku masih kesal. Bahkan, tadi pas kami mampir ke rumah buat naruh tas, Mas Khalid melarangku untuk sekadar masuk ruang tamu. Malah tas ransel ditaruhnya begitu saja di dekat pintu.

Meniti kasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang