22. Khalid

502 61 2
                                    

Aku mengambil jeda beberapa saat ketika kulihat warung sedikit lengang. Seperti biasa, duduk di kursi plastik yang berada di dekat gerobak. Membiarkan dua asistenku melayani pembeli.

Kunyalakan ponsel dan membuka kunci layar. Lantas, membuka aplikasi chat dan mencari kontak Adam. Belum ada chat sama sekali. Kami belum sempat berkirim pesan. Baru tadi pagi aku mendapat kontaknya.

Tak pernah kusangka sebelumnya, setelah sekian tahun berlalu, aku bertemu lagi dengan Adam. Sahabat lama yang dulu pernah mengisi hatiku. Adam adalah cinta pertamaku. Dulu, dia adalah sosok pemuda yang sangat baik. Kami sering menghabiskan waktu bersama. Berolah raga, bermusik, belajar, hampir semua hal. Dan hal itu menimbulkan rasa nyaman bagiku. Yang selanjutnya membuatku menginginkan lebih.

Tapi, perasaan itu hanya aku dan Tuhan saja yang tahu. Tak pernah kuutarakan sedikit pun pada Adam. Dia hanya menganggapku sahabat. Tak lebih. Adam adalah pemuda dengam orientasi seperti pada umumnya. Aku tahu itu. Sangat tahu. Buktinya, dia menceritakan tentang gadis-gadis yang disukainya padaku. Dan tentu saja, aku menanggapinya dengan antusias. Lebih tepatnya ... berpura-pura antusias.

Dan pertemuan kami kemarin, memantik kembali rasa yang sudah sejak lama menghilang. Bahkan, sampai membuatku lupa untuk mengenalkan Nur padanya. Bukan hanya lupa, seolah-olah aku ingin menyembunyikan Nur rasanya.

Oh, Tuhan ... kenapa rasa dan dorongan itu harus kembali hadir? Dan kemarin, kurasakan Nur tampak curiga tentang ini. Tapi ... untunglah tak bertahan lama. Sore ini dia mengantarku seperti biasa ketika aku hendak berangkat ke warung.

Kuperhatikan gambar profil kontak sahabat lamaku itu. Gambar bayi yang masih kecil. Bayi yang sepertinya masih berusia satu atau dua bulanan. Apakah ini anak Adam?

Oh, dia sudah berkeluarga rupanya. Tapi ... mengapa hatiku ngilu? Seolah-olah sedang patah hati saja.

Dan tanpa pikir panjang, kuketikkan pesan obrolan lalu segera mengirimnya kepada Adam.

[Foto bayi itu anakmu? Lucunya. Sudah umur berapa bulan?]

Beberapa menit menunggu, tanda masih saja terkirim, tak jua terbaca. Dan ... ada secuil rasa sakit dan kecewa di hati.

Aku menghela napas dalam, kemudian mengembuskannya perlahan. Menutup ruang obrolan dan mematikan layar ponsel. Lantas, kembali mengantunginya. Berdiri lagi untuk melayani pembeli yang tiba-tiba kembali ramai.

Dan ternyata ... rasa kecewa dan merasa diabaikan itu bertahan hingga aku menutup warung. Karena hingga aku naik ke jok motor dan bersiap pulang pun, kembli kulihat pesanku yang tak jua terbaca. Masih bertahan tanpa balasan.

Tentu saja, hal ini menjadi ganjalan cukup mengganggu di hati. Sepanjang perjalanan menuju rumah, hatiku sangat gelisah. Memikirkan ini dan itu. Mengapa tak jua terbaca? Apakah Adam sibuk? Atau ... apakah Adam tak suka jika aku mengiriminya pesan obrolan?

Dan ketika aku sampai di rumah, tampak Nur dari balik pintu dapur. Seperti biasa dia menyambutku. Mendekatiku dan mencium punggung tanganku, setelah aku menurunkan standar samping motor dan mulai menurunkan wadah-wadah kosong.

Selama hampir setahun ini, sebenarnya perasaanku kepada Nur mulai tumbuh. Ada rasa sayang dan posesif. Bahkan, aku terkadang merindukannya. Tapi kali ini, rasa resah dan pikiranku tentang Adam, seketika menghilangkan semua rasa yang sempat tumbuh itu. Bak badai yang meluluhlantakkan biduk dalam sekali terjang.

Nur membantuku membawa keranjang dan timba-timba kosong, sementara aku kembali menaikkan standar samping. Sekilas, pandanganku menangkap punggung istriku. Ada sejumput rasa bersalah di dada yang tiba-tiba hadir. Aku mematung sesaat. Menghela napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Aku menunduk, menjatuhkan pandangan ke tanah. Rasa bersalah itu sangat tak nyaman. Menghadirkan berbagai kejadian hampir setahun ini bersama Nur. Istriku yang menemani dalam aib dan cacatku. Menerimaku dengan tangan terbuka.

Tapi ... dorongan dan rasa berbeda terhadap Adam, mendapat porsi yang tak kalah besar di hati. Dorongan itu menyiksaku. Dan kali ini, seolah-olah aku sedang berada di antara dua jurang kehancuran. Harus bertahan agar tak terjatuh.

Aku meneruskan kegiatanku, melakukan rutinitas sepulang kerja seperti biasa. Melaksanakan salat, berencana memeriksa pekerjaan untuk besok, dan selanjutnya beristirahat.

Tapi ... pikiranku masih saja tak bisa lepas dari chat yang belum terbalas. Hatiku mulai mengenali dorongan itu sebagai kerinduan. Rindu pada sosok Adam yang sangat baik padaku dulu.

Aku berdiri menghadap salah satu sisi dinding musalla, setelah beranjak dari tempat salat. Membuka kembali ponsel dan ruang obrolan kontak Adam.

Ah, pesanku belum juga terbaca. Dan kulirik penunjuk jam, sudah lebih dari jam setengah sebelas malam.

"Mas! Ngapain aja lama banget? Enggak mau tidur? Udah malam banget, loh." Suara Nur mengagetkanku. Dia melongok dari pintu Musala

Seketika aku menoleh. Lalu, cepat-cepat mematikan ponsel dan mengantunginya.

"Eh, i-iya, Nur." Oh, Tuhan ... apa yang telah aku lakukan?

Kulihat Nur mengernyit. Tatapannya berbeda. Mirip seperti tatapan menyelidiknya tadi pagi.

Jangan lagi! Jangan sampai Nur curiga! Rumah tangga kami sudah mulai bahagia. Bahkan, aku berharap Nur bisa segera hamil sehingga kebahagiaan kami bisa makin lengkap.

Kulihat Nur menarik badannya, lalu terdengar langkah kaki yang semakin menjauh. Sementara aku, lagi-lagi terjebak dalam rasa yang berkecamuk di dada.

Aku melangkah keluar dari musalla, menuju kamar. Kulihat Nur sudah berbaring miring sembari memeluk guling. Tapi, kini dia menghadap tembok, setelah sekian lama selalu tidur menghadap padaku.

Kuurungkan niat untuk memeriksa pekerjaanku. Segera saja kuganti kemeja dengan kaos, lantas segera melangkah dan naik ke ranjang.

"Nur ..." Suaraku lirih dan lembut memanggilnya. Hatiku merasa sangat bersalah.

"Apa!" Nada suara Nur ketus. Dia marah padaku.

"Kenapa menghadap tembok?"

"Pingin aja. Udah malem, Mas. Tidur sana! Atau kalau Mas enggak bisa tidur, tinggal pilih aja! Aku yang tidur di tuang tamu atau Mas yang ke sana."

Deg ... Nur benar-benar marah.

Aku menghela napas dalam. Mengembuskannya sembari merebahkan badan. Untuk beberapa saat, aku tidur terlentang. Mengerjap beberapa kali memandang langit-langit kamar.

Nur perempuan karunia Tuhan untukku. Dia menerimaku dalam aib dan cacatku.

Kuubah posisi. Kini aku berbaring miring menghadap pada istriku. Mendekatkan diri padanya. Dan ... Tanganku memeluk pinggangnya dari belakang. Aku tak ingin Nur larut dalam amarah dan kecurigaan.

Tak ada kata. Hanya hatiku terus bergumam sendiri.

Nur ... doakan aku agar bisa mencintaimu seutuhnya.

Meniti kasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang