47. Khalid

467 78 21
                                    

Sikap Nur yang tiba-tiba kembali merajuk dan berjalan dengan mengentak ke kamar, benar-benar mengejutkanku. Bahkan, dia tak menoleh sama sekali ketika aku memanggilnya.

Aku yang tadi sibuk dengan rekap penjualan, segera saja mengejarnya. Dan ketika ku buka pintu kamar, kulihat Nur sudah berbaring miring memeluk guling. Pun dia menutup kepala dengan bantal.

Aku berjalan pelan, mendekati istriku dan duduk di bibir ranjang. Di dekat punggungnya. Jujur saja, lagi-lagi cemas menyelimuti hati. Pun berbagai pertanyaan berkelebat tanpa henti di kepala. Aku sudah melakukan kesalahan apa lagi sampai Nur merajuk seperti ini?

"Nur, kamu marah sama Mas?" Perlahan, aku mendaratkan tangan di  lengannya. Menepuknya pelan. Sangat pelan.

Nur sama sekali tak menjawab. Hanya isak tangis yang masih kudengar.

"Kalau Mas ada salah, Mas minta maaf, ya? Kamu jangan ngambek gitu, dong! Ingat, Nur! Kamu sedang mengandung. Emosimu bakal berpengaruh besar sama bayi dalam kandunganmu." Kubuat nada suaraku pelan dan lembut.

Sebenarnya, Nur yang suka merajuk begini, membuatku sangat sebal. Bahkan, sikapnya yang semacam ini, bisa seketika menghilangkan dan membabat habis rasa yang telah tumbuh dan kurawat dengan susah payah.

Nur masih saja terdiam. Aku menghela napas dalam. Tanganku kembali membelai perlahan lengannya. "Nur ..."

Tiba-tiba, Nur menyingkirkan bantal yang menutup kepalanya. Lalu duduk bersila, menghadap padaku. "Udah tahu, kan, kalau aku stres bakal pengaruh sama bayi. Kalau udah tahu, kenapa Mas selalu bikin aku stres? Bisa enggak, yang usaha itu kita berdua. Enggak aku aja, Mas? Hubungan macam apa kalau yang berusaha hanya sepihak?"

"Maksud kamu apa, Nur? Aku enggak ngerti sama sekali."

"Mas! Enggak perlu pura-pura, deh! Mas coba ingat-ingat! Berapa kali Mas ingkar janji? Selain itu, akhir-akhir ini, Mas terlalu sibuk sampai mengabaikan kandunganku yang udah mepet HPL. Ini anak kamu, Mas. Kamu harus ingat itu."

"Siapa yang abai, Nur? Kita akan ke kota besok. Aku janji."

"Sudah, deh, Mas! Aku capek, tahu?Mas selalu janji dan pasti diingkari sesudahnya. Mas lebih mengutamakan kerjaan. Atau ... Mas masih punya perasaan sama Adam, kan? Makanya Mas lebih suka bareng dia daripada aku."

"Nur!" Nada suaraku meninggi. Kalimat terakhir Nur, sungguh membuatku marah. Dia tak tahu betapa sakitnya aku. Betapa kuat aku berusaha menghindar dan melalukan semua ini demi segera terbebas dari penderitaan ini. Aku memang masih memiliki perasaan kepada Adam. Dan kebersamaan kami dalam pekerjaan, sungguh merupakan ujian yang sangat berat.

"Apa, Mas? Sekarang gini aja, Mas tinggal pilih, antara aku dan bayi ini, atau Adam dan pekerjaanmu!"

"Nur! Kamu apa-apaan? Semua ini kulakukan demi kita, Nur. Demi keluarga kita. Calon buah hati kita. Kamu terlalu bernafsu dan memaksakan kehendak. Berharap apa yang kau inginkan, secepat kilat terwujud. Kau pikir, Tuhan hanyalah pesuruhmu? Pemuas egomu?"

"Yang penuh ego itu siapa, Mas? Aku apa Mas Khalid? Udah, deh, Mas! Mending sekarang kita mikir masing-masing. Siapa di antara kita yang egois? Aku hanya ingin dicintai, Mas. Enggak minta mobil atau uang. Semua lebih dari cukup. Aku hanya ingin Mas mencintaiku. Itu saja."

Aku terdiam, meski sebenarnya ingin menjawab segala ucapan istriku ini. Tapi, kupikir tak ada gunanya jika kami terus berdebat dalam kemarahan.

"Baiklah. Kamu tidur saja! Memang sebaiknya kita saling introspeksi diri."

Aku berdiri, lalu memutar tubuh dan keluar kamar. Kubiarkan istriku dengan kemarahannya. Berharap esok hari, semua akan lebih baik.

Aku membereskan pekerjaanku. Memasukkan berkas-berkas ke map penyimpanan. Lantas, melangkah ke dapur berniat membuat kopi. Aku ingin mendinginkan pikiran sejenak dengan meneguk kafein sembari duduk santai di ruang tamu.

***

Berulang kali kuhela napas dalam, berharap rasa sesak dan amarah di dada ini berkurang. Memandangi kopi di cangkir pada meja yang baru kunikmati sepertiganya. Ditemani bunyi detak jam dinding dan suara-suara kodok. Pertanda musim hujan akan segera datang.

Sungguh, apa yang dilakukan istriku kali ini sangat melukaiku. Aku berjuang mati-matian demi dia. Perjuanganku kali ini benar-benar bukan mudah. Tapi ... dia malah menganggapku abai.

Dia tak tahu bagaimana usahaku untuk terus menahan semua hasrat ketika harus bersama Adam. Terlebih lagi, jika kami harus menginap bersama. Tapi, Nur menyuruhku memilih antara dua hal yang sejatinya sama pentingnya.

Sejak awal, ketika kunjunganku pertama kali bersama Adam ke Jember, aku benar-benar ingin menyudahi semua. Aku ingin segera bisa menjauh dari Adam tanpa merusak hubungan pertemanan kami. Minimal, aku tak perlu menginap hanya berdua saja dengannya. Karenanya, aku berusaha keras membesarkan bisnis ini. Karena  nanti, jika bisnis telah stabil, kami bisa mencari CEO baru yang bisa meng-handle semua. Dan aku hanya bertindak sebagai pemilik resep dan investor.

Aku telah mengkonsultasikan semua dengan Adam. Mencari jalan keluar terbaik. Meskipun masalah keinginanku untuk menjauhinya tak pernah kubongkar. Aku beralasan ingin hidup lebih santai saja.

Dan keinginanku tentang mobil pun, bukanlah sekadar obsesi. Aku ingin andai bisnis ini belum bisa sepenuhnya kutinggal, maka aku bisa menjaga diri dengan mengajak Nur dan buah hati kami ikut serta tiap kali aku harus ke luar kota. Rasanya tak mungkin aku mengajak seluruh keluarga dengan mobil Adam. Sedangkan jika terlalu sering meminjam mobil Lek Narto, aku merasa sangat segan. Pun menyewa mobil bukan solusi tepat. Ada tenggat waktu yang harus dipatuhi. Bahkan, terkadang aku kesulitan menemukan mobil karena selalu menyewa ketika akhir pekan.

Mengapa Nur terlalu memaksakan diri dan menekanku sekeras ini?

Bahkan untuk persiapan bayi kami, sebenarnya aku telah memesan beberapa barang custom secara online untuk kejutan. Dan barang-barang itu akan tiba minggu depan. Tak bisakah Nur lebih sabar lagi dengan semua ini?

Aku terus saja larut dalam pikiran-pikiranku. Beberapa kali diselingi dengan sesapan kopi. Hingga ketika kutenggak lagi kopi di cangkir, aku baru tersadar kalau ternyata kopi telah tandas dan hanya tersisa ampas. Kulirik jam yang menempel di dinding. Hampir tengah malam. Segera saja aku beranjak. Mematikan lampu ruang tamu. Lalu kembali lagi ke kamar.

Saat kubuka pintu kamar, dengan cahaya temaram lampu tidur, kulihat istriku telah pulas. Kudekati perempuan yang sejatinya amanah dan karunia bagiku ini. Menatap wajahnya yang kini tenang dalam tidurnya. Lantas, bergumam lirih, "Andai kau bisa lebih sabar sebentar saja, Nur."

Meniti kasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang