43. Khalid

453 76 3
                                    

Aku membuka satu persatu kancing koko, menggantinya dengan kemeja lengan pendek. Sementara Nur sudah duduk menghadap meja, memeriksa tugas siswa yang dibawanya dari sekolah. Kami baru saja usai melaksanakan salat Ashar.

"Nur ... Mulai minggu depan warung akan tutup dua minggu. Mau didekorasi ulang. Lalu, aku tadi ngobrol sama Adam tentang ... Bapak." Aku memelankan suara ketika menyebut bapak.

Nur menghentikan kegiatannya sesaat. Meletakkan pena yang tadi dipegangnya. Lantas, berbalik memandang padaku dengan mengernyit. "Ngobrolin hal itu sama Adam buat apa? Emang Adam sudah berubah jadi saudara sampai harus tahu masalah keluarga kita?"

Aku cukup terkejut dengan reaksi istriku ini. Karena itu, aku melangkah mendekatinya. Duduk di bibir ranjang, menghadap pada Nur. "Kok reaksi kamu gitu? Emangnya salah kalau aku cerita hal ini?"

Nur mengangkat bahu. Mendengkus kasar dengan bibir mencebik. "Entah."

"Kamu kenapa, Nur?" Nada suaraku kubuat sangat pelan dan lembut. Sepertinya Nur kesal sejak tadi. Apa ini karena panggilannya tadi yang kuabaikan, ya?

"Enggak. Aku enggak apa-apa. Emang kenapa?" Nur memutar tubuhnya, kembali menghadap meja. Meraih pena dan kembali berpura-pura sibuk dengan pekerjaannya.

Aku menggeser posisi, sedikit lebih mendekat pada istriku. "Nur, aku ngobrolin masalah bapak sama Adam, enggak ada maksud apa-apa. Malah tadi Adam ngasih solusi biar kita bisa sering-sering berkunjung ke rumah bapak." Aku menghela napas sesaat sebelum melanjutkan kalimatku.

Dan mendengar perkataanku, Nur seketika menghentikan kegiatannya lagi dan menoleh padaku. "Solusi?"

Aku mengangguk. "Benar. Kami akan membuka warung di sana. Adam masih menyiapkan proposal bisnis untuk menjaring investor. Copy proposalnya, mungkin akan kubawa ke Jember, siapa tahu ada kerabat di sana yang berminat. Bukankah kita jadi punya alasan yang kuat untuk ke sana tanpa membuat ibu curiga?"

Nur menjatuhkan pandangan ke lantai. Dia menghela napas dalam sebelum kemudian mendongak. "Maafin aku, ya, Mas? Mungkin, aku terlalu banyak berburuk sangka saja sama Mas."

"Sudahlah, Nur! Jangan lagi membahas masalah itu! Bukankah berkali-kali aku berusaha meyakinkanmu kalau semua ini demi kita. Dan aku enggak ingin merusak kebahagiaan rumah tangga kita."

Istriku tiba-tiba berdiri, lalu duduk di sebelahku dan memelukku sembari membisikkan permintaan maaf berkali-kali. Aku pun membalas pelukannya. Membelai lembut punggungnya. Hatiku menggumamkan hamdalah tanpa henti. Akhirnya, Nur sudah tak merajuk lagi.

Dan sore ini, Nur kembali mengantarku berangkat ke warung dengan senyumnya yang seperti biasa.

***

Pembukaan warung baru hari pertama. Sengaja dipilih hari Minggu, jam sembilan pagi. Kami memperpanjang kontrak sampai lima tahun ke depan kepada pemilik bangunan. Mendekorasi ulang warung dengan cat berwarna merah dan kuning. Menata lagi tempat bakso. Kini, tak ada lagi gerobak di depan warung, tapi sudah berganti etalase khusus dan tray-tray tempat gorengan dan segala perlengkapan bakso yang diletakkan di bagian dalam. Dan kini, macam bakso pum makin beragam. Uniknya, pembeli bisa memilih sendiri bakso yang mereka inginkan.

Pun dengan mie yang sekarang berwarna-warni. Mie dengan campuran sayur. Dengan resep mie lama yang dimodifikasi. Dan penjual es yang biasanya mangkal di depan warung, dengan hasil negosiasi yang cukup alot dengan Adam, akhirnya bisa tetap berjualan dengan menjadi mitra kami.

Proses pembuatan bakso dan mie juga  dilakukan di salah satu penggilingan daging dan mie yang bermitra dengan kami. Tentu saja, aku mulai mengembangkan biang dalam jumlah banyak. Lalu mendistribusikannya secara merata di dua warung ini. Karena untuk baso dan kaldu biang, ada karyawan yang mengolahnya hingga jadi. Sedangkan mie dan bakso, akan datang di pagi hari, bakda Subuh. Benar-benar pengaturan yang bagus sekali. Aku tak perlu lagi berangkat ke pasar di pagi buta. Pun tak perlu membuat Nur ikut-ikutan membantuku menyiapkan jualan.

Sungguh, antusiasme para pelanggan lama, tak kalah besar kali ini. Mereka yang memang sudah tahu kualitas mie dan baksoku, berbondong-bondong datang, karena ingin mencicipi nuansa baru daganganku di siang hari. Terlebih lagi, beberapa pelanggan sengaja kuhadiahi voucher dengan diskon yang lumayan besar.

Adam dan aku sibuk menyapa pelanggan. Sementara Nur dan istri Adam, duduk di salah satu sisi warung, membersamai kami.

Aku sangat senang dengan hal ini. Bisa bekerja bersama sahabat dan ada istriku membersamai, seolah-olah semua tampak sempurna.

Dan suasana ramai kali ini juga berkat bantuan pemilik video yang lalu. Wanita itu membantu kami mempromosikan warung. Kami melakukan kontrak dengannya sebagai promotor warung. Karena efek video yang kemarin, benar-benar menaikkan traffic media sosialnya.

***

"Hati-hati, ya, Mas! Kalau udah nyampe, segera telepon!" Nur memasangkan satu per satu kancing kemejaku. Wajahnya tampak sedikit murung. Aku tak tega dibuatnya.

Kuusap kasar pucuk kepalanya beberapa kali. Sementara mataku memandangnya hangat dan bibirku mengulas senyum tipis. "Sejak hamil kamu jadi makin kayak anak kecil saja, Nur."

Nur memajukan bibirnya dan memandangku tajam. Tapi, jelas dia bukannya merajuk. Hanya ingin bermanja. "Emang Mas Khalid enggak suka?"

"Suka, suka banget." Aku memeluknya cukup erat. Perempuan yang kusayangi. Peri pelindungku karunia Tuhan.

Rasa yang kerap hilang timbul kepada istriku selama lebih dari setahun ini, kini lebih sering hadir dan bertahan lebih lama. Ya ... proses yang harus kami jalani.

Seperti saat ini, ketika dia mengkhawatirkanku meski dengan cara yang dulu membuatku tak senang, yaitu bermanja dan bergantung, kini malah membuatku senang. Merasa dibutuhkan.

Dulu, aku kesulitan mempertahankan rasa ini padanya. Hal ini karena sikapnya yang terkadang manja, membuatku merasa kerepotan dan terbebani. Tapi, ketika kurasakan dia acap kali melindungiku, dan sesekali bersikap dominan, membuat rasa sayang itu datang dan bertahan lebih lama lagi.

Atau ... semua ini hanya karena hubunganku dan bapak yang semakin membaik? Entahlah, yang pasti, Sabtu siang ini, aku akan kembali mengunjungi bapak.

Nur mengantarku untuk pamit pada ibu, setelah sebelumnya membantuku memeriksa kembali beberapa barang bawaan termasuk proposal bisnis yang akan kubawa.

Seperti biasa, ibu mengusap punggung kepalaku sembari melangitkan doa. Dia pun memberi nasihat padaku agar berhati-hati di jalan. Aku berlalu dan melangkah ke ruang tamu, setelah ibu usai dengan segala pesannya itu. Tentu saja, ibu tak tahu kalau aku akan menemui bapak. Ibu hanya berpikir bahwa aku ke Jember untuk urusan pekerjaan.

Dan setelah menunggu beberapa menit, sebuah mobil MPV putih berbelok memasuki halaman. Aku dan Nur segera berdiri dan melangkah untuk menunggu di teras.

Setelah mobil itu diposisikan menghadap ke jalan, barulah Adam keluar dan melangkah ke arah teras.  "Ayo, Lid! Udah siang, Nih. Biar kita nyampenya enggak kemalaman."

Aku mengangguk, lantas berpamitan kepada istriku. Dan tak lupa, berpamitan dengan calon buah hati kami, yang kini sudah lima bulan dalam kandungan.

Aku sedikit membungkuk, merendahkan posisi kepala agar sedikit lebih dekat ke perut istriku. Berbisik cukup lirih seraya mengusap lembut perut Nur. "Ayah berangkat dulu, ya, Nak? Doakan Ayah. Dan jagain Bunda, loh!"

"Halah, masih sempat ngedrama si calon bapak. Ayo, Lid!" Adam sudah bersedekap ketika aku menoleh dan melihatnya.

Segera saja aku menegakkan badan. Mencium kening Nur dan kembali menoleh kepada Adam. "Iya, Bawel!"

Kami terkekeh bersama dengan candaan siang ini.

Aku melangkah, sembari melambai kepada istriku. Dan melihat tingkah kami, Adam menarik lengan bajuku sedikit keras dan kasar. "Ayo, Lid! Lebay banget, sih. Cuma ditinggal semalem doang."

Aku menepis tangan Adam, lantas kembali berbalik sembari terus melangkah, melambai lagi kepada istriku yang kini terkekeh melihat tingkah kami.

Ya ... ini kali pertama aku pergi ke luar kota tanpa Nur membersamai. Selama lebih dari setahun pernikahan kami, belum pernah sekali pun aku pergi sendiri untuk perjalanan jauh. Terlebih lagi, apa yang aku rasakan, adalah hal pertama kepada perempuan. Karenanya, langkah kakiku terasa sedikit lebih berat.

Meniti kasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang